Saturday, February 6, 2021

KISAH SANG (G.O.A.T) SEJATI, {BAG, 5}. PEMBAI'ATAN SECARA KHUSUS DI TSAQIFAH BANI SA'IDAH.

 

Bismillah…

Apa kabar teman-teman semua ?, semoga semuanya selalu dalam perlindungan Allah (Azza Wa Jalla) dan senantiasa di beri keistiqomahan agar tetap berada di atas agama yang lurus (Islam) hingga akhir hayat.

Sesuai janji pada minggu lalu, maka saya pada kesempatan kali ini akan membahas tentang: pembai’atan Abu Bakar (Radhiyallahu Anhu). Akan tetapi setelah mendalami kembali tentang sejarah kehidupan beliau maka masalah pembai’atan ini saya putuskan untuk membaginya dalam 2 bagian, bagian pertama adalah bagian yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini yang bertema: suasana kota Madinah pasca meninggalnya Nabi dan pembai’atan Abu Bakar secara khusus (yang hanya hadiri oleh para sahabat yang berkumpul pada hari naas itu di Tsaqifah Bani Saidah).

Suasana Sore Hari Kota Madinah, Gambar diambil dari Pixabay.com.


1). SUASANA KOTA MADINAH PASCA MENINGGALNYA NABI (SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM).

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ‘Aisyah (Radhiyallahu Anha) berkata: “Kebiasaan Rasulullah (Shallallahu Alaihi Wa Sallam) jika melewati rumahku beliau senantiasa mengucapkan kata-kata yang bermanfaat untukku. Suatu hari beliau melewati rumahku namun tidak mengatakan apapun sebagaimana biasanya, kemudian beliau lewat lagi di kesempatan yang lain namun tidak kunjung mengatakan apapun, kejadian ini berlangsung 2 hingga 3 kali. Maka suatu hari kukatakan kepada pembantuku: “Letakkanlah bantal tempat dudukku di depan pintu!”, kemudian aku melilit kepalaku dengan kain, tak lama kemudian beliaupun lewat dan berkata: {“Wahai ‘Aisyah!, ada apa denganmu?”}, kujawab: “Aku merasa sakit kepala”, beliau menimpalinya dengan berkata: {“Namun kepalakulah yang lebih sakit”}. Kemudian beliau pergi dan tak lama kemudian ternyata beliau di bawa pulang dalam keadaan di gotong, kemudian beliau mengutus seseorang kepada para istrinya untuk mengatakan kepada mereka: {“Aku sedang sakit keras dan tidak dapat lagi berkeliling ke rumah-rumah kalian maka izinkanlah aku agar dirawat di rumah ‘Aisyah”}. Maka sejak itu akulah yang merawatnya. Padahal sebelumnya hal ini tidak pernah kulakukan kepada seorangpun.

BACA JUGA: KISAH SANG (G.O.A.T) SEJATI, {BAG, 4}. PEMBAI'ATAN MENJADI KHALIFAH; PEMBUKTIAN.

BACA JUGA: KISAH SANG (G.O.A.T) SEJATI, {BAG, 6}. PEMBAI'ATAN SECARA UMUM DI MASJID NABAWI.

suatu ketika (kejadian ini terjadi pada hari Senin) tatkala kepala beliau berada di atas pundakku, tiba-tiba kepalanya miring ke arah kepalaku. Aku mengira beliau hanya ingin bersandar di kepalaku, akan tetapi tak lama kemudian keluar dari mulut beliau setetes ludah dingin yang jatuh mengenai leherku dan membuatku menggigil, maka aku yakin bahwa beliau pasti sedang pingsan, maka kututupi beliau dengan kain. Kemudian datanglah Umar dan al-Mughirah bin Syu’bah, mereka berdua minta izin agar diperbolehkan untuk masuk dan aku mengizinkan keduanya setelah hijab kuturunkan, seketika Umar memandang kepada Rasulullah dan berkata: “Alangkah beratnya pingsan yang diderita Rasulullah”, akan tetapi tatkala keduanya mendekati beliau, al-Mughirah sontak berkata: “Wahai Umar!, sesungguhnya Rasulullah telah wafat!”. Umarpun menimpali: “Engkau bohong, engkau adalah orang yang cepat termakan fitnah, sebab Rasulullah tidak akan mati hingga Allah membinasakan seluruh orang-orang munafik!”. ‘Aisyah melanjutkan: “Setelah itu datanglah Abu Bakar, ia mengangkat hijab sambil memandang ke arah Rasulullah (Shallallahu Alaihi Wa Sallam) dan berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, sesungguhnya Rasulullah telah wafat!”. Kemudian ia mendekati kepala Rasulullah (Shallallahu Alaihi Wa Sallam) dan mencium keningnya sambil berkata: “Aduhai Nabi”, kemudian ia mengangkat kepalanya dan kembali mencium kening Nabi sambil berkata: “Aduhai pilihan Allah”, kemudian ia mengangkat kepalanya dan kembali mencium keningnya seraya berkata: “Aduhai kekasih Allah…Rasulullah telah wafat”. Lantas ia keluar menuju masjid, sementara Umar sedang berpidato di sana, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah tidak akan mati hingga Allah membinasakan orang-orang munafik”.

(dalam riwayat lain dari az-Zuhri dia meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata: “Abu Bakar keluar menuju masjid sementara Umar sibuk berargumen dihadapan orang-orang, Abu Bakar berkata kepadanya: “Duduklah wahai Umar!”, namun ia enggan untuk duduk, Abu Bakar berkata untuk kedua kalinya: “Duduklah engkau wahai Umar!”, namun ia masih tetap enggan untuk duduk. Lantas Abu Bakar mengucapkan tasyahhud dan akhirnya orang-orangpun mengalihkan perhatian mereka kepada Abu Bakar”).

Abu Bakar-pun angkat suara sambil memuji Allah dan membuka pidatonya dengan membaca ayat: {Sesungguhnya kamu (Muhammad) akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula}, (az-Zumar: 30). Kemudian ia melanjutkan dengan membaca ayat: {Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad) barangsiapa yang berbalik ke belakang, makai ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur}, (Ali Imran: 144). Setelah itu ia berkata: “Barangsiapa menyembah Allah maka Allah Mahahidup dan tidak akan mati, dan barangsiapa menyembah Muhammad maka ketahuilah sesungguhnya Muhammad telah wafat!”.

Spontan Umar bertanya: “Apakah yang engkau bacakan tadi terdapat dalam Kitabullah?”. (Az- Zuhri meriwayatkan bahwa Umar berkata: “Demi Allah, aku tidak sadar hingga aku dengar Abu Bakar membaca ayat tersebut, maka aku yakin bahwa itulah yang benar, tanpa sadar aku jatuh terduduk karena kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku, dan yakinlah aku pada saat itu bahwa Rasulullah benar-benar telah wafat”).

Ibnu Abbas berkata (perkataan beliau diriwayatkan oleh az-Zuhri): “Demi Allah, seolah-olah kami tidak pernah tahu bahwa Allah telah menurunkan ayat ini hingga Abu Bakar membacakannya untuk kami, dan akhirnya kami-pun menerima ayat tersebut dan selalu membacanya tatkala tertimpa musibah”.

Al-Hafidz al-Bayhaqi meriwayatkan bahwa ‘Aisyah berkata kepada Abdurrahman: “Abu Bakar datang dengan kudanya dari Sanuh (nama sebuah desa). Ketika turun ia masuk ke kamarku dan langsung menghampiri jasad Rasulullah yang diselimuti dengan kain hibrah, lantas ia menyingkap kain yang menutupi wajah beliau kemudian menciumnya sambil menangis, dan berkata: “Kutebus dirimu dengan ayah dan ibuku. Demi Allah, Allah tidak akan mengumpulkan 2 kematian untukmu selamanya, adapun kematian yang Allah tuliskan atasmu kini telah engkau rasakan”.

Rasulullah (Shallallahu Alaihi Wa Sallam) wafat pada tengah hari (hari itu adalah hari Senin), dan ada yang mengatakan bahwa beliau wafat sebelum matahari tergelincir. Wallahu a’lam. (Sahabat yang menghampiri Abu Bakar di Sanuh dan yang memberitakan kepadanya bahwa Nabi telah wafat adalah: Salim bin Ubaid (Radhiyallahu Anhu)).

2). PEMBAI’ATAN ABU BAKAR (RADHIYALLAHU ‘ANHU) SECARA KHUSUS DI TSAQIFAH BANI SA’IDAH.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas (Radhiyallahu Anhuma) suatu ketika bertemu dengan Abdurrahman bin Auf (Radhiyallahu Anhu), dan ia menceritakan kepadanya bahwa seseorang pernah mengatakan kepada Umar bahwa dia telah diberitahu oleh seseorang dimana orang tersebut mengatakan: “Jika Umar wafat maka bai’atlah si fulan” (peristiwa ini terjadi di Makkah, pada saat Umar melaksanakan hajinya yang terakhir), maka Umar berjanji akan berpidato pada malam harinya untuk membantah klaim tersebut. Akan tetapi Abdurrahman bin Auf mewanti-wantinya dari hal tersebut (disebabkan banyaknya orang awam di sekeliling Ka’bah, dan dikhawatirkan nanti pidato Umar akan ditafsirkan secara sembarangan) dan ia memberikan masukan agar pidato tersebut lebih baik disampaikan di Madinah saja.

Maka ketika Umar telah sampai di Madinah (kedatangannya bertepatan dengan hari Jum’at) ia langsung menuju ke masjid dan naik ke atas mimbar, ketika muadzin selesai mengumandangkan adzan ia berdiri dan memuji Allah, kemudian berkata: “Amma ba’du, wahai saudara-saudara sekalian, aku akan mengatakan suatu perkataan yang telah di takdirkan oleh Allah untuk aku sampaikan, dan aku tidak tahu namun aku merasa bahwa ajalku telah dekat. Maka oleh karena itu barangsiapa yang memahami perkataanku dengan baik hendaknya ia sampaikan perkataanku ini kepada siapapun yang ia jumpai, dan siapa yang tidak memahaminya dengan baik maka aku haramkan baginya berdusta atas namaku.

 Hingga perkataannya: “Ketika Rasulullah (Shallallahu Alaihi Wa Sallam) wafat, Ali, az-Zubair, dan orang-orang yang bersama mereka tidak ikut (pembai’atan) sebab pada saat itu mereka sedang berada dirumah Fatihmah. Kaum Anshar tidak semuanya hadir di Tsaqifah Bani Sa’idah, sementara kaum Muhajirin datang menemui Abu Bakar dan kukatakan kepadanya: “Wahai Abu Bakar mari kita berangkat menuju saudara-saudara kita kaum Anshar!”. Maka kami-pun berangkat menuju tempat perkumpulan mereka, ditengah jalan kami bertemu dengan 2 orang shalih dari kalangan Anshar (Imam Malik meriwayatkan bahwa Urwah berkata: “Dua orang yang berpapasan dengan kaum Muhajirin tersebut adalah Uwaim bin Sa’idah dan Ma’an bin Adi), mereka berdua menceritakan perihal apa yang sedang diperbincangkan oleh orang-orang Anshar, kemudian mereka berdua bertanya: “Hendak ke manakah kalian wahai kaum Muhajirin?”. Aku menjawab: “Kami hendak menemui saudara-saudara kami kaum Anshar”, maka keduanya berkata: “Janganlah kalian mendekati mereka tetapi selesaikanlah urusan kalian sendiri”, aku menjawab: “Demi Allah kami akan menemui mereka”. Maka kami meneruskan perjalanan hingga tiba di Tsaqifah Bani Sa’idah, ternyata mereka sedang berkumpul dan diantara mereka ada seseorang yang sedang berselimut, aku bertanya: “Siapa ini?”, mereka menjawab: “Sa’ad bin Ubadah”, aku bertanya lagi: “Ada apa dengannya?”, mereka menjawab: “Dia sedang sakit”.

Tatkala kami telah duduk, berdirilah salah seorang dari mereka, setelah memuji Allah dia berkata: “Amma ba’du, kami adalah kaum Anshar para penolong Allah dan pionir-pionir Islam, dan kalian wahai kaum Muhajirin dari kalangan Nabi, dan sungguh telah muncul tanda-tanda dari kalian bahwa kalian akan mendominasi kami disini, di tempat tinggal kami dan akan mengambil alih kekuasaan dari kami”.

Ketika dia telah selesai maka aku ingin bicara, aku sendiri telah mempersiapkan kata-kata yang kuanggap sangat baik dan menakjubkan, dan aku ingin mengatakannya di hadapan Abu Bakar, aku sendiri terkesan sedikit lebih keras darinya, maka kukhawatirkan dia akan mengalah dariku. Namun ia lebih lembut dariku dan lebih disegani, dia mencegahku berbicara sambil mengatakan: “Tahanlah sebentar!”, dan aku enggan membuatnya marah, sebab ia lebih berilmu dariku dan lebih disegani, dan demi Allah tidak satupun kalimat yang kupersiapkan dan kuang-gap baik kecuali dia sampaikan dengan ekspresi yang sangat baik dan lancar bahkan lebih baik dariku, hingga akhirnya ia diam.

Kemudian dia berkata: “Amma ba’du, adapun mengenai kebaikan yang telah kalian sebutkan maka benar adanya dan kalianlah orangnya, namun bangsa Arab hanya mengenal kabilah ini yakni Quraisy, secara nasab merekalah yang paling mulia dian-tara bangsa-bangsa Arab. Demikian pula halnya dengan tempat tinggal mereka, karena itu aku rela jika urusan ini diserahkan kepada salah seorang dari 2 orang ini, terserah kalian memilih antara keduanya”. Kemudian dia menarik tanganku dan tan-gan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, aku sendiri tidak benci kepada apa yang ia katakan kecuali satu hal ini, dan demi Allah jika aku maju dan dipenggal kepalaku namun tidak menanggung beban ini, maka itu lebih kusukai daripada aku memimpin suatu kaum yang di dalamnya terdapat Abu Bakar, kecuali jika pendirianku ini kelak berubah sebelum mati.

Kemudian salah seorang Anshar berkata: “Akulah pemimpin yang tertinggi, dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin wahai orang-orang Quraisy” (Ibnu Syihab berkata: “Telah berkata kepadaku Sa’id bin Musayyib bahwa yang mengatakan perkataan tersebut adalah al-Hubab bin al-Mundzir). Maka mulailah orang-orang mengangkat suara dan timbul keributan, hingga kami khawatir akan terjadi perselisihan (Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Umar mendatangi mereka (kaum Anshar) dan berkata: “Wahai kaum Anshar, bukankah kalian mengetahui bahwa Rasulullah (Shallallahu Alaihi Wa Sallam) telah memerintahkan kepada Abu Bakar untuk menjadi imam manusia?, siapa diantara kalian yang mengakui bahwa hatinya lebih mulia dari hati Abu Bakar?”. Maka orang-orang Anshar berkata: “Na’udzubillah bila kami mengaku lebih mulia dari Abu Bakar), maka kukatakan: “Berikan tangan-mu wahai Abu Bakar!”, maka ia memberikan tangannya dan aku segera membai’atnya, kemudian seluruh kaum Muhajirin turut membai’atnya, yang kemudian diikuti oleh kaum Anshar, dan kami tinggalkan Sa’ad bin Ubadah hingga ada yang berkomentar: “Kalian telah membinasakan Sa’ad”, akupun menimpalinya dengan mengatakan: “Allah-lah yang telah membinasakan Sa’ad”.

Kemudian Umar melanjutkan pidatonya dan berkata: “Demi Allah, kami tidak pernah menemui permasalahan yang lebih besar dari permasalahan bai’at terhadap Abu Bakar. Kami sangat takut jika meninggalkan mereka tanpa ada yang dibai’at, maka mereka kembali membuat bai’at. Jika seperti itu maka kami harus memilih antara mematuhi bai’at mereka padahal kami tidak merelakannya, atau menentang bai’at yang mereka buat yang pasti akan menimbulkan kehancuran, maka barangsi-apa yang membai’at seorang pemimpin tanpa musyawarah terlebih dahulu, bai’atnya dianggap tidak sah. Dan tidak ada bai’at terhadap orang yang mengangkat bai’at terhadapnya, dan keduanya harus dibunuh”.

Inilah sedikit gambaran tentang suasana kota Madinah pasca meninggalnya Nabi (Shallallahu Alaihi Wa Sallam) dan juga suasana pembai’atan Abu Bakar menjadi khalifah yang dilaksanakan secara khusus bagi yang hadir pada hari naas itu di Tsaqifah Bani Sa’idah, semoga penjelasan ini bisa membawa manfaat untuk Islam dan kaum muslimin.

Dan saya rasa cukup sekian dulu untuk pekan ini, dan sampai jumpa di pekan selanjutnya dengan judul: pembai’atan Abu Bakar di masjid dan pidatonya.

Was-salam.  

 

 

 

 

 

0 comments:

Post a Comment