This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Friday, July 30, 2021

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN, ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 16).

 

Hujan Badai, Gambar diambil dari Pixabay.com.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Allah (‘Azza Wa Jalla) berfirman dalam surat al-Fil (ayat 1-5): {“Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? (1) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? (2) Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung (Ababil) yang berbondong-bondong (3) yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar (4) sehingga mereka dijadikanNya seperti daun-daun yang dimakan (ulat) (5)”}.

Ibnu Ishaq berkata: “Keesokan harinya Abrahah segera bersiap-siap untuk memasuki Makkah, dia juga mempersiapkan gajahnya yang bernama Mahmud beserta pasukannya sembari memperkuat tekadnya untuk menghancur leburkan Ka’bah, setelah Ka’bah hancur barulah dia puas dan segera kembali ke Yaman”. Setidaknya itulah yang sedang bergumul dalam pikirannya pagi itu.

BACA JUGA:

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 15).

“DAN SI SAKIT TIDAK MAMPU HIDUP SETELAH DIA TIBA DI NEGERINYA…”.

Ibnu Ishaq melanjutkan: “Ketika gajah bernama Mahmud tadi telah diposisikan menuju ke arah Makkah, Nufail bin Habib langsung mendatangi gajah tersebut dan berdiri di samping telinganya, dan sembari memegang telinga gajah tersebut dia berkata: “Duduklah engkau wahai Mahmud, atau kalau tidak pulanglah engkau secara baik-baik menuju tempat asalmu, karena sungguh engkau sekarang ini sedang berada di negeri Allah yang mulia!”.

Setelah itu dia mengembalikan telinga gajah tadi ke tempatnya sebagaimana sediakala, dan segera berlari menuju pegunungan tempat orang-orang Quraisy bersembunyi dan ikut bersembunyi disana (semua ini tentunya dia lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang Habasyah yang sedang sibuk mempersiapkan serangan).

Ketika waktu yang ditentukan oleh Abrahah telah tiba, para pasukan segera mencambuki gajah Mahmud agar dia bangun dan berdiri, akan tetapi ternyata gajah itu menolak untuk berdiri. Oleh karena itu mereka memakai cara lain, yaitu dengan memukuli kepala gajah tadi dengan besi bengkok, akan tetapi lagi-lagi gajah tersebut menolak untuk berdiri.

Maka mereka-pun memakai cara ketiga, yaitu dengan cara memasukkan tongkat bengkok ke kulit yang berada di bagian bawah perut gajah tadi dan menusuk-nusukkannya hingga mengalirlah darah dari perut si gajah. Akan tetapi ternyata gajah tersebut tetap tidak mau berdiri.

Melihat bahwa gajah tersebut tetap tidak mau berdiri walau dengan cara kekerasan, mereka-pun memutuskan untuk mencoba mengarahkan gajah tadi ke arah Yaman, dan betapa kagetnya mereka ketika melihat gajah tadi secara tiba-tiba langsung loncat dan berlari, begitu pula jika diarahkan ke arah Syam dan negeri-negeri timur. Akan tetapi ketika gajah tersebut diarahkan kembali ke Makkah, tiba-tiba dia langsung terjatuh dan kembali duduk sebagaimana semula”.

Dan ketika para pasukan Habasyah sedang sibuk memaksa gajah Mahmud berdiri, mereka sama sekali tidak memperhatikan bahwa ada sekelompok burung yang besarnya semacam kelelawar dan burung jalak sedang bergerak dari arah pantai menuju ke tempat mereka berada, dan rupanya burung-burung ini adalah burung-burung yang dikirim oleh Allah (‘Azza Wa Jalla) untuk melindungi rumahNya yang mulia Ka’bah dan negeri Makkah yang Dia berkahi dari niat buruk Abrahah dan pasukannya.

As-Suhailiy berkata: “Berkata an-Naqqasy bahwa burung-burung ini memiliki gigi taring laksana gigi taring hewan-hewan buas, dan kakinya laksana kaki anjing. Dan dikatakan pula bahwa Ibnu Abbas berkata (mengenai bebatuan yang dibawa oleh burung-burung tadi): “Batu terkecilnya sebesar kepala manusia, dan yang terbesar sebesar unta”. Adapun Ibnu Ishaq mengatakan bahwa batu-batu tersebut hanya sebesar kacang arab dan kacang Adas, yang dimana bebatuan tersebut berada di paruh dan cengkraman kaki burung-burung Ababil.

Ibnu Katsir menyebutkan beberapa perkataan ulama yang menjelaskan perihal ciri-ciri burung-burung ini, beliau berkata: “Dan Ikrimah berkata: “Kepala burung-burung tersebut laksana kepala hewan buas, burung-burung ini datang dari arah laut dan tubuhnya berwarna hijau”.

Dan Ubaid bin Umair berkata pula: “Bahwa burung-burung tersebut berwarna kehitam-hitaman laksana burung-burung laut, dan di paruh juga kedua kakinya terdapat batu-batu (panas)”. Wallahu A’lam.   

Adapun Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Ibnu Abi Hatim ketika mensifati serangan yang dilakukan oleh burung-burung tadi terhadap para pasukan bergajah, berkata Ibnu Abi Hatim: “Burung-burung ini datang dengan cepatnya hingga mereka semua berbaris diatas kepala para pasukan bergajah, kemudian burung-burung tadi memekikkan suara sembari melemparkan bebatuan yang mereka bawa di paruh dan kedua kakinya. Dan tidaklah batu tadi mengenai kepala seseorang dari pasukan bergajah, kecuali batu tersebut akan tembus hingga keluar kembali lewat kemaluannya. Dan juga jika batu-batu tadi mengenai satu sisi dari badan para pasukan bergajah, maka batu tersebut akan tembus hingga muncul dan keluar dari sisi badan yang lain.

Tidak cukup sampai disitu, Allah (‘Azza Wa Jalla) juga mengirim tiupan angin yang sangat kencang yang mendorong batu-batu tadi dan membuat siksaannya dan cabikannya terhadap anggota tubuh pasukan bergajah semakin terasa pedih hingga membuat mereka semua binasa saat itu juga”.

Ibnu Ishaq berkata: “Tidak semua dari anggota pasukan bergajah terkena batu-batu tersebut, dan mereka yang selamat ini segera berlarian mencari jalan pulang sembari berteriak memanggil nama Nufail bin Habib agar memandu mereka kembali menuju Yaman. Nufail sendiri ketika melihat hukuman yang Allah (‘Azza Wa Jalla) turunkan kepada pasukan bergajah, dia melantunkan bait sya’ir berikut:

Kemanakah jalan keluar dan demi Tuhan tempat meminta pertolongan…

Dan al-Asyram yang terkalahkan dan bukan pemenang…”.  

Nufail juga melantunkan bait sya’ir berikut:

Rudainah jikalau saja engkau melihat akan tetapi sayangnya engkau tidak melihat…

Apa yang terjadi di sekitar daerah al-Mahashshab sebagaimana yang telah kami lihat…

Jikalau saja engkau melihatnya, maka engkau pasti akan memujiku dan memaafkanku…

Dan engkau belum juga memperbaiki apa yang telah terjadi diantara kita…

Aku memuji Allah ketika kulihat segerombolan burung…

Dan aku khawatir jika batu-batu tersebut juga dilemparkan kepada kami…

Dan semua orang bertanya akan Nufail…

Seakan-akan aku memiliki hutang kepada orang-orang Habasyah…”.

Setelah burung-burung tersebut pergi, Allah (‘Azza Wa Jalla) mengirimkan air mengalir yang membawa jasad-jasad pasukan bergajah ke laut. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Atsir dan an-Naqqasy, dimana perkataan an-Naqqasy disebutkan oleh as-Suhailiy dan Ibnu Katsir di kitab mereka berdua.

Ibnu Ishaq melanjutkan: “Para pasukan bergajah yang tersisa segera kabur menuju Yaman, dan ditengah jalan mereka tumbang satu persatu, dimana mayoritas dari mereka tumbang di tempat penampungan air (mungkin karena saking hausnya mereka berteduh disana untuk mencari air, akan tetapi tetap saja mereka juga meninggal akibat luka-luka sobekan dan cacahan yang diakibatkan oleh batu-batu burung Ababil).

Dan Abrahah sendiri terkena lemparan batu di salah satu bagian tubuhnya, dan ketika dia sedang diangkat oleh pasukannya yang selamat menuju Yaman, anggota badannya terlepas satu demi satu di tengah jalan, dimana setiap jatuh satu anggota tubuh akan ada jeda selama beberapa waktu yang membuat anggota tubuhnya yang tersisa dipenuhi oleh nanah dan darah, dan setelah jeda tersebut selesai anggota tubuh yang dipenuhi nanah dan darah tadi ikut jatuh, dan begitu seterusnya hingga mereka tiba di Shan’a.

Ketika memasuki Shan’a, tubuh Abrahah telah menjadi laksana anak unggas yang belum memiliki bulu, dan tidak lama kemudian dadanya pecah dan terbelah hingga membuat hatinya tersingkap (dan bisa dilihat oleh orang-orang), dan setelah itu barulah dia meninggal”.

Berkata Ibnu Ishaq: “Telah menceritakan kepadaku Ya’qub bin ‘Atabah, bahwa: pada tahun terjadinya peristiwa pasukan bergajah itulah pertama kalinya muncul di tanah arab penyakit campak dan cacar, dan juga tanaman-tanaman merambat, tanaman Peganum, tanaman Handhalah dan tanaman al-’Asyr”.

Setelah itu beliau menyebutkan perihal diturunkannya surat al-Fil kepada Nabi Muhammad (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).

Kemudian beliau berkata mengenai nasib para pengendali gajah: “Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abi Bakr dari Umrah bintu Abdirrahman bin Sa’ad bin Zurarah dari ‘Aisyah (Radhiyallahu ‘Anha), bahwa beliau berkata: “Sungguh aku telah melihat para pengendali gajah di kota Makkah, dimana mereka dalam keadaan buta dan sedang duduk meminta makanan kepada orang-orang yang lewat”. Yakni mereka telah menjadi gelandangan dan peminta-minta. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah di artikel selanjutnya saya akan menjelaskan perihal apa yang terjadi di Yaman setelah meninggalnya Abrahah.

Was-Salam.

 

 

 

 

 

Thursday, July 29, 2021

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN, ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 15).

 

Hujan Badai, Gambar diambil dari Pixabay.com.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Setelah mengutus al-Aswad bin Maqshud, Abrahah kembali mengutus seseorang yang lain, akan tetapi kali ini bukan untuk merampas harta-harta milik orang Quraisy, melainkan untuk membawa ke hadapannya pemuka dan pemimpin suku Quraisy sekaligus penanggung jawab atas terjaganya Ka’bah dari segala macam gangguan.

Berkata Ibnu Ishaq: “Abrahah mengutus seseorang untuk kedua kalinya, orang tersebut bernama Hunathah al-Himyariy. Dia berkata kepada Hunathah: “Sesampainya engkau di tengah-tengah suku Quraisy, tanyakanlah kepada mereka perihal siapakah pemimpin negeri ini. Dan jika orang tersebut telah menunjukkan diri, katakanlah kepadanya “Sesungguhnya raja mempunyai pesan untukmu, dia berkata: Sungguh aku tidak datang untuk memerangi kalian, akan tetapi tujuan kedatanganku hanyalah demi menghancurkan rumah suci ini. Oleh karena itu jika kalian tidak menghalangi jalanku dan tidak memerangiku, maka aku-pun sama sekali tidak membutuhkan darah kalian”. Dan jika dia tidak ada niat untuk berperang, maka bawalah dia ke hadapanku!”.

BACA JUGA:

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 14).

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 16).

Setelah itu Hunathah-pun bergerak untuk menjalankan misinya, dan sesampainya dia di Makkah, dia segera bertanya mengenai siapakah pemimpin suku Quraisy. Mendengar pertanyaan tersebut, orang-orang yang ditemuinya menjawab: “Dia adalah ‘Abdul Muththalib bin Hasyim”. Dan setelah mengetahui alamat ‘Abdul Muththalib dari orang-orang tadi, dia segera mendatangi kediamannya, sesampainya disana dia segera menyampaikan pesan Abrahah kepada ‘Abdul Muththalib, setelah mendengarkan dengan seksama pesan tersebut, ‘Abdul Muththalib menjawab dengan tenang, dia berkata: “Demi Allah, kami sama sekali tidak ingin memeranginya karena kami sendiri tidak mempunyai kekuatan sedikitpun untuk berhadapan dengannya di medan perang. Sungguh rumah suci ini adalah rumah Allah yang mulia juga rumah kekasihNya Ibrahim ‘Alaihis Salam, maka jika Dia berkenan untuk menjaganya, maka sudah sewajarnya karena rumah itu adalah rumahNya. Akan tetapi jika Dia tidak berkenan untuk menjaganya, maka demi Allah kami sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk menjaganya”.

Mendengar jawaban tersebut, Hunathah berkata kepadanya: “Baiklah, kalau begitu ikutlah denganku, karena raja menyuruhku untuk membawamu ke hadapannya”.

‘Abdul Muththalib-pun ikut bersamanya menuju kemah Abrahah bersama beberapa orang anaknya, sesampainya di perkemahan tentara, dia segera bertanya mengenai keadaan temannya Dzu Nafar apakah dia baik-baik saja ataukah tidak?.

Akan tetapi tidak ada seorangpun yang menjawabnya hingga dia diantarkan ke sebuah kemah tempat Dzu Nafar di tahan, ketika melihatnya ‘Abdul Muththalib langsung bertanya kepadanya: “Wahai Dzu Nafar, apakah engkau mempunyai kemampuan untuk menolong kami menghadapi cobaan yang akan segera menimpa kami?”.

Dzu Nafar menjawab: “Kekuatan apakah yang sekiranya dimiliki oleh seseorang yang sedang berada dalam tawanan seorang raja yang sedang menunggu waktu tepat untuk membunuhnya di pagi maupun sore hari?. Sungguh kami sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolongmu menghadapi cobaan yang akan menimpamu. Kecuali mungkin masih tersisa padaku sebuah kemampuan yang terwujud pada pertemananku dengan Unais sang pengendali gajah. Aku akan mengirim seorang utusan kepadanya demi memberitahukan kepadanya perihal kedudukanmu dan bahwa engkau perlu untuk bertemu dengan raja dalam waktu dekat, maka jika engkau telah bertemu dengannya maka ceritakanlah seluruh keluh kesahmu padanya, karena mungkin saja dia bisa memberikan sedikit pertolongan kepadamu dan kaummu jika raja berkenan mengabulkan permohonannya”.

‘Abdul Muththalib menimpali perkataan kawannya tersebut dengan berkata: “Itu semua cukup bagiku”.

Setelah itu Dzu Nafar segera mengirim utusan kepada Unais sembari membawa pesan darinya yang berbunyi: “Sesungguhnya Abdul Muththalib adalah pemuka dan pemimpin suku Quraisy sekaligus pemilik rombongan kafilah dagang Makkah. Dia senantiasa memberi makan orang-orang di lembah-lembah Makkah, begitu juga dengan hewan-hewan liar, dia memberi makan hewan-hewan tersebut di puncak-puncak gunung. Dan sungguh sang raja telah merampas 200 ekor unta miliknya, maka mintalah kepadanya agar ia berkenan mengembalikan unta-unta tersebut kepada Abdul Muththalib sang pemilik sah dari unta-unta tersebut, dan jika bisa tolonglah dia dihadapan raja semampumu”.

Unais menjawab pesan tersebut dengan mengatakan: “Baiklah, akan aku lakukan”.

Setelah itu Unais segera menemui Abrahah dan berkata kepadanya: “Wahai raja, sang pemimpin suku Quraisy telah menunggu untuk dipersilahkan masuk di depan pintumu, dan dia juga sekaligus sebagai pemilik kafilah dagang Makkah. Dia senantiasa memberi makan manusia di lembah-lembah, sementara hewan-hewan liar dia memberi mereka makan di atas puncak-puncak gunung. Maka izinkanlah dia untuk menemuimu agar dia bisa menyampaikan hajat dan kebutuhannya”. Abrahah-pun mengizinkan Abdul Muththalib untuk masuk.

Abdul Muththalib adalah seseorang yang sangat tampan dan memiliki tubuh tinggi besar, dan ketika Abrahah melihatnya dia langsung menghormatinya dan menganggap bahwa dia tidak berhak untuk duduk di singgasananya akan tetapi dia harus duduk bersama Abdul Muththalib sama tinggi dan sama rendah.

Dan karena dia khawatir akan perbuatan dan prasangka buruk para pengawalnya yang berkebangsaan Habasyah jika mereka sampai melihat bahwa Abdul Muththalib telah dengan berani duduk di singgasana raja, maka dia memutuskan untuk duduk bersama Abdul Muththalib di karpet, kemudian dia berkata kepada penerjemah yang dibawanya: “Katakan kepadanya: apa kebutuhanmu?”.

Si penerjemah-pun menanyakannya kepada Abdul Muththalib, Abdul Muththalib sendiri segera menjawab: “Kebutuhanku adalah agar raja mengembalikan 200 ekor unta milikku yang telah dirampasnya”.

Mendengar jawaban ini, Abrahah berkata kepada penerjemahnya: “Katakan kepadanya: ketika pertama kali melihatmu engkau membuatku takjub, akan tetapi setelah berbicara denganmu seketika rasa hormatku kepada dirimu hilang. Apakah tujuan kedatanganmu ini hanya demi membicarakan 200 ekor unta milikmu yang aku rampas, sementara aku hendak menghancurkan rumah suci yang selama ini engkau dan nenek moyangmu agung-agungkan dan engkau sama sekali tidak membahasnya?!”.

Abdul Muththalib berkata kepadanya: “Sungguh diriku ini hanyalah seorang pemilik unta, dan sungguh rumah suci itu juga memiliki sang pemilik yang akan menjaganya!”.

Abrahah menimpali perkataan Abdul Muththalib dengan mengatakan: “Si pemilik rumah suci itu tidak akan bisa menjaga rumahnya dari seranganku!”.

Abdul Muththalib menjawab: “Baiklah, kalau begitu kita tunggu saja apa yang akan terjadi!”.

Dikatakan juga oleh sebagian ulama bahwa konon ada 2 orang yang ikut bersama Abdul Muththalib menghadap Abrahah, yang pertama bernama Ya’mur Nufatsah bin Adi bin ad-Du’l bin Bakr bin Manat bin Kinanah pemimpin suku Bani Bakr.

Dan yang kedua bernama Khuwailid bin Wailah al-Hudzaliy pemimpin suku Hudzail, mereka bertiga menawarkan kepada Abrahah sepertiga dari harta perbendaharaan Tihamah dengan syarat dia harus pulang kembali ke Yaman dan jangan sekali-kali menghancurkan Ka’bah. Akan tetapi Abrahah menolak tawaran mereka bertiga. Dan Allah (‘Azza Wa Jalla) lebih mengetahui apakah hal ini benar-benar terjadi atau tidak, akan tetapi yang pasti adalah bahwa Abrahah mengembalikan ke-200 ekor unta yang dirampasnya kepada Abdul Muththalib setelah dialog antara mereka berdua”.

Berkata Ibnul Atsir: “Ketika Abdul Muththalib menerima unta-untanya, dia segera mengikat unta-unta tersebut dan berniat untuk menjadikannya sebagai hewan sembelihan kurban, kemudian setelah itu dia menyebar unta-untanya tersebut disekitar Ka’bah, agar jika sekiranya ada diantara pasukan Abrahah yang mengambilnya maka Allah (‘Azza Wa Jalla) akan marah (dan tentunya akan menurunkan adzab bagi orang tersebut beserta seluruh temannya)”.

Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya: “Ketika mereka bertiga telah selesai berbicara dengan Abrahah, mereka semua segera pergi menuju suku masing-masing, sementara Abdul Muththalib pergi ke sukunya suku Quraisy.

Ketika sampai di tengah-tengah suku Quraisy, dia memberitahu mereka perihal apa yang telah terjadi di kemah Abrahah sekaligus menyuruh mereka untuk segera keluar dari Makkah menuju pegunungan dan lembah yang mengelilingi kota demi berlindung dari tentara Abrahah.

Ketika semuanya telah pergi menuju pegunungan, Abdul Muththalib segera pergi ke depan Ka’bah bersama beberapa orang yang tersisa dari suku Quraisy. Sembari memegang gagang pintu Ka’bah, Abdul Muththalib beserta kawan-kawannya berdo’a meminta pertolongan kepada Allah (‘Azza Wa Jalla) untuk menjaga Ka’bah dari keburukan yang hendak ditimpakan kepadanya oleh Abrahah dan pasukannya.

Abdul Muththalib berkata sembari memegang gagang pintu Ka’bah:

Ya Allah, sesungguhnya seorang hamba senantiasa mempertahankan harta bendanya…

Maka oleh karena itu pertahankanlah olehMu kehormatan-kehormatanMu…

Jangan sampai salib dan kekuatan mereka…

Mampu mengalahkan kekuasaanMu pada esok hari…

Jika Engkau meninggalkan mereka beserta kiblat kami…

Maka lakukanlah apa yang memang menjadi ketentuanMu…”.

Berkata Ibnul Atsir dan Ibnu Jarir bahwa Abdul Muththalib melantunkan pula bait-bait berikut:

Wahai Tuhanku aku sama sekali tidak mengharapkan pertolongan selain darimu…

Wahai Tuhanku oleh karena itu halangilah mereka dengan kekuasaanMu…

Sungguh siapa saja yang memusuhi rumah suci maka pasti dia juga memusuhiMu…

Halangilah mereka dari menghancurkan kotaMu…”.

Juga bait-bait berikut:

Ya Allah, sesungguhnya seorang hamba senantiasa mempertahankan harta bendanya…

Maka oleh karena itu pertahankanlah olehMu kehormatan-kehormatanMu…

Jangan sampai salib dan kekuatan mereka…

Mampu mengalahkan kekuasaanMu pada esok hari…

Dan jika Engkau berbuat…

Sesuatu maka pasti Engkau menyelesaikannya…

Engkaulah yang jika kami di datangi oleh penjahat…

Menjadi tempat kembali kami…

Maka seketika mereka berpaling dan tidak mendapatkan kecuali…

Kehinaan dan Engkau menghancurkan mereka di sana…

Aku tidak pernah mendengar sekalipun sekelompok orang yang lebih hina…

Dari mereka yang berkeinginan untuk memerangimu…

Mereka membawa pasukan yang sangat besar dari negeri mereka…

Bersama serombongan gajah hanya demi mengganggu keluargaMu…

Mereka hendak menyasar kekuasaanMu dengan makar mereka…

Secara bodoh dan mereka sama sekali tidak gentar terhadap kebesaranMu…”.

Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya: “Setelah itu Abdul Muththalib melepaskan gagang pintu Ka’bah dan segera bergerak menuju pegunungan tempat orang-orang Quraisy berlindung bersama sekelompok orang yang tadi berdo’a bersamanya.

Dan akhirnya mereka semua berdiam diri disana sembari menunggu apa yang akan dilakukan oleh Abrahah ketika dia memasuki Makkah nantinya”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah cerita akan berlanjut di artikel selanjutnya.

Was-Salam.

 

 

 

 

 

 

Wednesday, July 28, 2021

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN, ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 14).

 

Hujan Badai, Gambar diambil dari Pixabay.com.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Berkata Ibnu Ishaq ketika menjelaskan mengenai apa saja yang ditemui oleh Abrahah selama perjalanannya menuju Makkah, beliau berkata: “Ketika Abrahah bergerak bersama pasukan bergajahnya, seketika kabar mengenai keberangkatannya tersebut tersebar dengan sangat cepat ke seluruh penjuru jazirah arab. Dan hal ini sangat membuat takut bangsa arab, dan sangat membuat mereka gentar (karena Abrahah membawa gajah, yang dimana orang-orang arab pada waktu itu tidak pernah sekalipun melihat gajah sebelumnya. Dan jikalau saja Abrahah tidak membawa gajah, maka sudah pasti pasukannya akan habis tidak tersisa bahkan sebelum dia sampai di Makkah, karena bangsa arab adalah bangsa pemberani). Akan tetapi bersamaan dengan munculnya rasa takut tersebut, muncullah juga rasa peduli terhadap rumah suci Ka’bah, karena mereka mendengar bahwa tujuan dari berangkatnya Abrahah menuju Makkah adalah demi menghancurkan Ka’bah. Oleh karena itu, mereka melihat bahwa sudah menjadi sebuah kewajiban bagi mereka untuk membela Ka’bah rumah Allah (‘Azza Wa Jalla) yang mulia.

BACA JUGA:

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 13).

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 15).

Maka demi membela kehormatan Ka’bah keluarlah salah seorang petinggi dan orang mulia di kalangan rakyat Yaman, orang ini bernama: Dzu Nafar. Dia keluar bersama kaumnya juga sebagian suku-suku arab yang menjawab ajakannya untuk membela rumah Allah (‘Azza Wa Jalla) yang mulia Ka’bah dari niat buruk Abrahah yang hendak meluluh lantakkannya.

Dan ketika kedua pasukan bertemu, mereka semua langsung saling menyerang, akan tetapi sayangnya Dzu Nafar bersama seluruh pasukannya berhasil dikalahkan oleh Abrahah. Maka orang-orang Habasyah segera menangkap mereka semua dan menjadikan mereka sebagai tawanan. Dzu Nafar sendiri dia diikat dan dibawa ke hadapan Abrahah untuk dibunuh karena perlawanannya tersebut, akan tetapi sebelum pedang Abrahah menyapa lehernya, dia angkat suara dan berkata: “Wahai raja, janganlah engkau membunuhku. Karena mungkin saja hidupku lebih berharga bagimu dari matiku”. Ketika mendengar perkataan ini, Abrahah menurunkan kembali pedangnya dan tidak jadi membunuh Dzu Nafar, dan sebagai gantinya dia mengikat Dzu Nafar disisinya, dan dia Abrahah adalah seseorang yang sangat lembut.

Kemudian Abrahah kembali melanjutkan perjalanannya, hingga ketika dia sampai di sebuah gunung yang bernama Khuts’am, dia dihadang oleh seseorang yang bernama Nufail bin Habib al-Khuts’amiy, orang ini membawa bersamanya 2 suku arab yang menghuni gunung Khuts’am, kedua suku tersebut adalah: suku Syahran dan suku Nahis. Selain kedua suku tersebut dia juga membawa beberapa suku arab lain yang bersedia ikut bersamanya menghalangi Abrahah dari rumah suci Ka’bah.

Dan ketika kedua pasukan bertemu, mereka langsung saling menyerang, dan lagi-lagi untuk kedua kalinya Abrahah berhasil mengalahkan bangsa arab yang berani menghalangi jalannya. Adapun Nufail dan pasukannya, mereka semua bernasib sama dengan Dzu Nafar dan pasukannya. Mereka semua berakhir dalam keadaan tangan terikat dan Nufail sendiri dibawa ke hadapan Abrahah untuk membayar perbuatannya. Sesampainya dia di hadapan Abrahah, Abrahah segera mengangkat pedangnya hendak memenggal kepala Nufail, akan tetapi suara Nufail ternyata lebih cepat keluar dari ayunan pedang Abrahah, Nufail berkata: “Wahai raja, janganlah engkau membunuhku. Karena sebagai gantinya, aku akan menjadi penunjuk jalan bagimu di tanah arab ini. Dan kedua suku yang ikut bersamaku, yakni suku Syahran dan Nahis akan senantiasa tunduk dan patuh kepada perintahmu”.

Melihat bahwa tawaran ini adil, Abrahah-pun memutuskan untuk tidak membunuh Nufail dan melepaskan ikatannya, karena dia akan menjadi penunjuk jalan baginya ketika bepergian di jazirah arab (dan bukan menjadi penunjuk jalan bagi Abrahah menuju Makkah).

Setelah itu Abrahah bersama pasukannya kembali meneruskan perjalanan dengan Nufail sebagai penunjuk jalan. Hingga ketika mereka sampai di tanah Thaif, tiba-tiba ada seseorang yang bernama Mas’ud bin Mu’tib bin Malik bin Ka’ab bin ‘Amr bin Sa’ad bin ‘Auf bin Tsaqif yang keluar dari negeri Thaif bersama sekelompok orang dari anggota suku Tsaqif.

Dan nasab Tsaqif sendiri sebagai berikut: Namanya adalah Qasiy bin an-Nabit bin Munabbih bin Manshur bin Yaqdum ibn Afsha bin Da’ma bin Iyad bin Nizar bin Ma’ad bin ‘Adnan”.

Apa yang hendak dilakukan oleh sekelompok orang dari suku Tsaqif tadi?, apakah mereka juga ingin mengajak duel Abrahah?, atau ingin melakukan sesuatu yang lain?, dan lagipula kenapa mereka hanya keluar dengan sekelompok orang bukannya dengan sepasukan penuh?, jawabannya sebagai berikut…

Ibnu Ishaq melanjutkan: “Sesampainya orang-orang Bani Tsaqif tadi dihadapan Abrahah, mereka langsung berkata: “Wahai raja, sungguh kami ini hanyalah para bawahanmu yang senantiasa taat dan patuh kepadamu. Antara kami dan engkau sama sekali tidak ada percekcokan, karena engkau tidak menginginkan rumah suci kami ini -maksudnya adalah patung al-Latt-, dan yang engkau inginkan hanyalah rumah suci yang ada di Makkah. Oleh karena itu, kami akan mengutus seseorang dari suku kami yang akan menjadi penunjuk jalan bagimu menuju Makkah”. Mendengar hal ini, Abrahah-pun membiarkan mereka dan tidak memerangi mereka.

Al-Latt sendiri adalah sebuah patung yang sangat diagung-agungkan oleh masyarakat Thaif, yang bahkan penghormatan mereka kepada patung tersebut setara dengan penghormatan bangsa arab kepada Ka’bah.

Orang yang diutus oleh masyarakat Thaif sebagai penunjuk jalan bagi Abrahah adalah seseorang yang bernama Abu Rigal. Setelah itu Abrahah kembali melanjutkan perjalanan bersama Abu Rigal dan pasukan bergajah, hingga mereka sampai di daerah al-Mugammas. Sesampainya mereka disana, secara tiba-tiba Abu Rigal meregang nyawa, dan jasadnya dikuburkan oleh Abrahah di daerah tersebut. Dan kubur Abu Rigal inilah yang menjadi objek rajam di daerah al-Mugammas, dimana orang-orang arab benci kepadanya karena dia bersedia menjadi penunjuk jalan bagi Abrahah menuju Makkah.

Ketika Abrahah sampai di daerah al-Mugammas ini yang hanya berjarak beberapa farsakh dari Makkah, dia memutuskan untuk tidak memasuki Makkah terlebih dahulu, akan tetapi dia mengutus seseorang yang berasal dari Habasyah sama sepertinya menuju Makkah dengan mengendarai kuda, orang ini bernama: al-Aswad bin Maqshud.

Orang ini bergerak menuju Makkah dengan misi mengambil semua harta yang ditemuinya di tengah jalan milik orang-orang Quraisy untuk kemudian dibawa ke hadapan Abrahah. Maka dia-pun melaksanakan dengan baik misinya tersebut, dan diantara harta yang diambilnya adalah 200 ekor unta milik Abdul Muththalib bin Hasyim (kakek Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)) sang pemimpin dan petinggi suku Quraisy.

Sebenarnya orang-orang Quraisy menyaksikan perbuatan al-Aswad ini ketika dia mengambili harta mereka secara terang-terangan dan mereka hendak membunuhnya, akan tetapi ketika mereka ingat akan pasukan Abrahah yang sangat besar beserta seluruh gajah-gajah yang dibawanya, mereka-pun sadar bahwa jika mereka membunuh al-Aswad dan Abrahah memutuskan untuk langsung menyerang mereka, maka pastinya mereka tidak mempunyai kekuatan untuk mempertahankan tanah air beserta rumah suci Ka’bah. Oleh karena itu, mereka menahan diri dan membiarkan al-Aswad bebas hilir mudik di tengah-tengah mereka sembari mengambil secara bebas dan membabi buta harta benda yang mereka cintai”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Cerita Insya Allah akan berlanjut di artikel selanjutnya.

Was-Salam.

 

 

Tuesday, July 27, 2021

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN, ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 13).

 

Hujan Badai, Gambar diambil dari Pixabay.com.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Berkata Ibnu Jarir ath-Thabariy ketika menjelaskan perihal apa saja yang terjadi dalam kurun waktu antara peristiwa buang air besarnya salah seorang dari suku Bani Fuqaim di gereja al-Qullais, dan keberangkatan Abrahah bersama pasukan bergajahnya menuju Makkah. Beliau berkata: “Dan dahulu di sisi Abrahah ada sekelompok orang yang berasal dari bangsa arab, dimana mereka semua ini bekerja untuknya demi mendapatkan kebaikan-kebaikan dan apa saja yang mungkin mereka dapatkan dari seorang raja. (dari hak-hak khusus karena dekat dengan raja dan sebagainya).

Diantara orang-orang yang loyal kepada Abrahah adalah seorang lelaki bernama Muhammad bin Khuza’iy bin Hazzabah adz-Dzakwaniy as-Silmiy. Orang ini datang  bersama saudaranya yang bernama Qais bin Khuza’iy dan juga sekelompok orang dari suku mereka berdua demi mendekatkan diri kepada Abrahah.

BACA JUGA:

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 12).

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 14).

Dan pada suatu hari, Muhammad beserta seluruh anggota sukunya bangun tidur dan mendapati diri mereka sedang berada di tengah-tengah orang-orang Habasyah yang sedang berpesta demi merayakan sebuah hari raya. Dan ternyata karena hubungan mereka yang sangat dekat dengan Abrahah (terlebih mereka adalah orang-orang yang sebangsa dengan para tuan rumah, karena Abrahah dan segenap orang-orang Habasyah berasal dari tanah afrika, sementara Muhammad beserta seluruh anggota sukunya sebangsa dengan orang-orang Yaman. Maka karena hal ini Abrahah ingin memuliakan mereka sebagai para tuan rumah yang dengan baik hati bersedia bekerja sama dengan para tamu dalam menertibkan kawasan Yaman dan sekitar), Abrahah memuliakan mereka dengan mengirimkan kepada mereka makanan yang diperuntukkan khusus untuknya, makanan khusus ini bahan utamanya adalah testis atau buah zakar hewan ternak (kambing atau sapi).

Ketika makanan ini telah sampai di kediaman Muhammad bersama teman-temannya, mereka berkata kepada sang kurir: “Demi Allah, jika kami bersedia memakan makanan yang engkau bawa ini, maka pasti kami akan senantiasa menjadi bahan olok-olokan bangsa arab selama kami hidup!”.

Karena merasa jijik, Muhammad-pun berdiri hendak pergi dari rumah tersebut. Akan tetapi bertepatan dengan berdirinya dia, tiba-tiba Abrahah muncul. Melihat bahwa si pengirim telah datang, Muhammad segera berkata kepadanya: “Wahai raja, jika hari ini adalah hari raya kalian, maka hari ini juga adalah hari raya kami. Dan yang perlu engkau ketahui adalah jika datang hari raya maka kami tidak akan memakan dari daging hewan kecuali bagian pinggirnya yang dipenuhi daging juga kaki-kakinya”.

Mendengar hal ini, Abrahah ingin mengoreksi kesalahannya dengan mengatakan: “Baiklah, kalau begitu kami akan mengirim kepada kalian makanan-makanan yang kalian suka. Sungguh aku tadi tidak berniat merendahkan kalian, karena yang kuinginkan hanyalah memuliakan kalian dengan mengirimkan kepada kalian makanan yang diperuntukkan khusus untukku, dimana segala penghormatanku ini dikarenakan jasa-jasa dan kedekatan kalian kepadaku”.

Setelah itu, Abrahah tidak mencukupkan diri dengan hanya memperbaiki keadaan dengan kata-kata. Akan tetapi dia juga hendak mengangkat kembali semangat orang-orang arab yang bersamanya dengan cara memahkotai pemimpin mereka Muhammad bin Khuza’iy dan melantiknya menjadi salah satu petinggi kerajaan.

Ketika acara pelantikan telah usai, Abrahah memberikan tugas pertama bagi Muhammad, tugas tersebut adalah hendaknya dia berangkat menuju perkampungan anak cucu Mudhar dengan misi mengajak seluruh cabang-cabang suku Mudhar agar bersedia untuk berhaji ke gereja al-Qullais sebagai ganti dari berhaji ke tanah suci dan rumah suci Ka’bah al-Musyarrafah. (sebenarnya orang yang berasal dari suku Bani Fuqaim yang dengan nekad telah berani membuang hajat di dalam gereja al-Qullais adalah salah satu dari anak cucu Mudhar. Silsilah nasab orang bernama Fuqaim sendiri telah disebutkan oleh Ibnu Ishaq, beliau berkata: “Fuqaim bin ‘Adi bin ‘Amir bin Tsa’labah bin al-Harits bin Malik bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar”).  

Maka setelah menerima mandat pertamanya sebagai petinggi kerajaan, Muhammad bin Khuza’iy segera berangkat bersama saudaranya menuju perkampungan anak cucu Mudhar.

Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya Muhammad bin Khuza’iy tiba di sebagian daerah tempat tinggal suku Bani Kinanah. Dan ketika anggota suku Bani Kinanah mengetahui tujuan dari kedatangannya, mereka mengutus salah seorang dari suku Hudzail yang bernama: Urwah bin Hiyadh al-Mallashiy dengan misi membunuh Muhammad bin Khuza’iy.

Maka berjalanlah Urwah, sesampainya dia di tempat yang cocok untuk melaksanakan misinya, dia segera memanah Muhammad bin Khuza’iy dan berhasil membunuhnya. Dan Qais saudara Muhammad yang saat itu bersamanya segera kabur menuju Yaman setelah melihat saudaranya jatuh tersungkur tidak berdaya karena sebuah anak panah.

Sesampainya di Yaman, dia segera menemui Abrahah dan memberitahunya perihal kematian saudaranya dan bahwa saudaranya itu mati di bunuh. Mendengar hal ini, Abrahah-pun semakin naik pitam dan bersumpah akan benar-benar menghancur leburkan suku Bani Kinanah (sebagai suku yang salah seorang anggotanya telah berani buang hajat di dalam gereja al-Qullais, juga yang telah berani membunuh utusan yang dikirimnya dengan damai tanpa pasukan dan tanpa senjata) juga rumah suci Ka’bah al-Musyarrafah”.

Setelah itu Abrahah segera berangkat menuju Makkah bersama pasukan bergajahnya.

Akan tetapi berhubung pada artikel selanjutnya saya akan membahas perihal pasukan bergajah, maka ada baiknya kita mendengar penjelasan Ibnu Katsir berikut…

Berkata Ibnu Katsir: “Dikatakan bahwa orang yang pertama kali mengendarai gajah adalah Fereydun bin Atsfiyan, dia adalah orang yang telah berhasil mengalahkan adh-Dhahhak. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh ath-Thabariy, Fereydun ini juga dikatakan bahwa dialah yang pertama kali memakai pelana ketika mengendarai kuda.

Adapun yang pertama kali mengendarai kuda adalah Tahmuras, dia adalah sang raja ketiga dari raja-raja yang menguasai dunia pada zamannya.

Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa justru orang yang pertama kali mengendarai kuda adalah Nabi Ismail bin Ibrahim (‘Alaihima as-Salam). Dan yang menjadi kemungkinan terkuat adalah bahwa Nabi Ismail merupakan orang arab pertama yang mengendarai kuda. Wallahu Ta’ala A’lam”.

Kemudian beliau melanjutkan penjelasan dengan menyebutkan cara yang dipakai oleh sebagian panglima perang untuk menghalau gajah-gajah yang dibawa oleh pasukan India ketika mereka berperang dengan orang-orang India, cara tersebut adalah dengan membawa semacam lonceng ke medan perang agar para pasukan bisa membuat suara-suara gaduh yang dengannya gajah-gajah tersebut akan lari. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah kisah mengenai keberangkatan Abrahah dan apa saja yang ditemuinya di tengah jalan akan saya ceritakan di artikel selanjutnya.

Was-Salam.