This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday, October 24, 2021

KISAH ‘AMR BIN AL-‘ASH (RADHIYALLAHU ‘ANHU) BERSAMA QURRAH BIN HUBAIRAH.

 

Gambar oleh Albrecht Fietz dari Pixabay 

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Setelah menjelaskan mengenai suku Bani Sulaim dan bagaimana sikap mereka dalam menghadapi gempuran badai kemurtadan, juga setelah menjelaskan mengenai kisah Abu Syajarah bin Abdil Uzza. Ibnul Atsir (Rahimahullah) melanjutkan pembahasannya dengan mengangkat tema mengenai kembalinya sahabat ‘Amr bin al-‘Ash (Radhiyallahu ‘Anhu) ke kota Madinah seusainya beliau menjalankan tugas yang diembankan oleh Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) kepadanya…

Kisahnya sendiri sebagaimana berikut…

BACA JUGA:

KISAH ABU SYAJARAH BIN ABDIL UZZA.

KISAH SUKU BANI TAMIM.

Ibnul Atsir (Rahimahullah) berkata dalam kitabnya: “Pembahasan mengenai kedatangan ‘Amr bin al-‘Ash dari negeri Oman. Dahulu di saat Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) telah selesai melaksanakan ibadah haji Wada’, beliau mengutus ‘Amr menuju negeri Oman untuk mendakwahi penduduk negeri tersebut, dan pada saat itu yang memimpin negeri Oman adalah seorang lelaki bernama Jaifar bin Abdillah bin Malik.

‘Amr menetap di negeri Oman hingga Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) wafat. Dan setelah beliau wafat, ‘Amr tetap menjalankan tugasnya di negeri Oman yaitu mengajak masyarakat Oman untuk memeluk Islam, dimana beliau terus berdakwah hingga dakwahnya menjangkau negeri Bahrain. Dan setibanya beliau di negeri tersebut, beliau mendapati raja yang memerintah negeri tersebut telah wafat, raja ini bernama al-Mundzir bin Sawi.

Kemudian setelah itu beliau keluar dari negeri Bahrain dan pergi menuju perkampungan suku Bani Amir, dimana beliau memutuskan untuk tinggal di bagian yang di pimpin oleh Qurrah bin Hubairah.

Pada saat ‘Amr (Radhiyallahu ‘Anhu) tiba di tengah-tengah suku Bani Amir, Qurrah ini masih berada di atas kemurtadan. Akan tetapi walaupun begitu, Qurrah bersama segenap kaum dan pasukannya tetap menjamu ‘Amr dengan baik di tempat mereka.

Dan pada saat ‘Amr (Radhiyallahu ‘Anhu) akhirnya memutuskan untuk kembali ke kota Madinah, Qurrah menemuinya dan berkata kepadanya: ‘Wahai engkau, ketahuilah bahwa sesungguhnya bangsa arab itu tidak akan rela untuk di pimpin oleh kalian (kaum muslimin). Akan tetapi jika kalian pada akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengambil harta mereka (yang di maksud olehnya adalah bayaran sedekah dan zakat), maka aku bisa pastikan bahwa mereka pasti akan mendengar dan taat kepada kalian. Akan tetapi jika kalian tetap bersikeras untuk mengambil harta mereka, maka mereka pun pasti selamanya tidak akan mendengar dan tunduk kepada kalian!’.

Mendengar ocehannya tersebut, ‘Amr pun menimpalinya dengan berkata: ‘Wahai Qurrah, apakah engkau telah kufur?. Apakah engkau ingin menakut-nakuti kami dengan bangsa arab?. Demi Allah (jika engkau benar-benar telah kufur) aku akan menginjak-injakmu dengan kudaku walaupun engkau bersemubunyi di bilik ibumu!’.

Setelah itu berangkatlah ‘Amr (Radhiyallahu ‘Anhu) menuju kota Madinah, dan sesampainya beliau di sana, beliau segera memberitahu kaum muslimin perihal apa yang di dengarnya (di perkampungan suku Bani Amir) kepada mereka, dan beliau juga sekaligus memberitahu mereka bahwa pasukan milik orang-orang murtad telah mendirikan pos-pos dan perkemahan yang menjangkau seluruh daerah yang terletak antara kota Daba atau Dibba dengan kota Madinah (jarak antara kota Dibba dengan kota Madinah sendiri adalah 2.028,8 km!).

Maka ketika para sahabat dan kaum muslimin mendengar berita yang sangat mengkhawatirkan ini, mereka pun berpisah sembari membuat kelompok-kelompok kecil (karena terpaan ujian yang menimpa mereka sangatlah teramat berat).

Dan ketika kaum muslimin sedang dalam keadaan seperti itu, datanglah Umar karena dia ingin mengucapkan salam kepada ‘Amr yang baru tiba dari perjalanan panjang. Dan di tengah jalan Umar berjumpa dengan Ali, Utsman, Thalhah, az-Zubair, Abdurrahman (bin Auf), dan Sa’ad (Radhiyallahu ‘Anhum) yang sedang duduk berkumpul dalam sebuah kelompok kecil.

Umar pun bertanya kepada mereka: ‘Sedang apa kalian?’.

Akan tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaannya.

Umar pun berkata kembali: ‘Sungguh pasti kalian sedang mengatakan ‘apa yang lebih kami takutkan atas orang Quraisy dari orang arab’’.

Mereka pun menjawab: ‘Iya, betul apa yang engkau katakan’.

Umar pun berkata kembali: ‘Maka jalan keluar satu-satunya adalah janganlah kalian takut kepada mereka!. Karena sungguh demi Allah aku lebih khawatir jika kalianlah yang menyerang orang-orang arab, dan bukan mereka yang menyerang kalian!. Demi Allah jika kalian sekalian orang Quraisy memasuki sebuah lubang, maka pasti orang-orang arab akan mengikuti kalian masuk ke dalam lubang itu pula. Maka oleh karena itu hendaknya kalian lebih takut kepada Allah dari mereka!’.

Setelah itu Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) pun berlalu meninggalkan mereka.

Dan ketika akhirnya Qurrah bin Hubairah berhasil di tangkap dan di bawa menghadap Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) sebagai tawanan perang, dia (Qurrah) pun bersaksi dengan membawa nama ‘Amr (Radhiyallahu ‘Anhu) bahwa dirinya adalah seorang muslim.

Maka untuk memastikan kebenaran sumpahnya, Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) pun memanggil ‘Amr bin al-‘Ash (Radhiyallahu ‘Anhu). Dan sesampainya ‘Amr di hadapan Abu Bakar, Abu Bakar segera bertanya kepadanya mengenai apakah benar Qurrah adalah seorang muslim?.

Maka ‘Amr pun menjawab pertanyaan ini dengan membeberkan seluruh perkataan Qurrah yang dahulu pernah dikatakannya kepada dirinya hingga beliau sampai kepada perkataan Qurrah yang menyinggung masalah syariat zakat, dan sontak Qurrah pun berkata kepada ‘Amr: ‘Tenanglah dan diamlah engkau wahai ‘Amr!’.

‘Amr (Radhiyallahu ‘Anhu) pun menjawab: ‘Aku tidak akan diam, karena demi Allah aku akan benar-benar membeberkan seluruh perkataanmu padanya!’.

Akan tetapi pada akhirnya Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) tetap memaafkan Qurrah dan menerima keislamannya”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah pada artikel selanjutnya saya akan membahas mengenai kisah Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) bersama suku Bani Tamim.

Was-Salam.      

  

  

 

  

Saturday, October 23, 2021

KISAH ABU SYAJARAH BIN ABDIL UZZA.

 

Gambar oleh Manoj Badola dari Pixabay 

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Setelah membahas mengenai kisah suku Bani Amir, Ibnu Jarir dan Ibnul Atsir (Rahimahumallah) melanjutkan pembahasan mereka berdua dengan menceritakan kisah mengenai Ummu Ziml dan Fujaah yang dimana kedua kisah ini telah saya tuliskan pada beberapa artikel yang lalu. Kemudian beliau berdua pun melanjutkan kembali pembahasannya dengan membahas mengenai suku Bani Sulaim, mengenai sikap apa yang mereka ambil pada saat kemurtadan sangatlah marak di tengah-tengah bangsa arab, apakah mereka mengambil sikap yang sama dengan yang diambil oleh suku Amir, ataukah mereka memutuskan untuk mengikuti Thulaihah secara terang-terangan sebagaimana Uyainah dan kaumnya suku Ghathafan?.

Kisah mengenai suku Sulaim berbunyi sebagaimana berikut…

BACA JUGA:

KISAH KEMBALINYA SUKU BANI AMIR KE DALAMNAUNGAN ISLAM.

KISAH ‘AMR BIN AL-‘ASH (RADHIYALLAHU ‘ANHU) BERSAMA QURRAH BIN HUBAIRAH.

Berkata Ibnu Jarir (Rahimahullah) di dalam kitabnya: “Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Abdullah bin Abi Bakr, dia berkata: ‘Dahulu sebagian dari anggota suku Sulaim bin Manshur memutuskan untuk membelot dan memihak kepada orang-orang murtad, dan oleh karenanya mereka sendiri pun murtad dari agama Islam dan kembali kepada kekufuran.

Adapun sebagian yang lain, mereka masih tetap memegang teguh agama yang benar ini bersama seorang gubernur yang ditunjuk oleh Abu Bakar untuk memimpin mereka.

Gubernur ini bernama Ma’n bin Hajiz, dia berasal dari suku Bani Haritsah.

Ketika Khalid bersama pasukannya sedang bergerak menuju daerah Buzakhah untuk menumpas Thulaihah dan pengikutnya, Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) mengirimkan sepucuk surat kepada Ma’n bin Hajiz yang isinya adalah perintah agar dia dan semua anggota suku Bani Sulaim yang masih bertahan di atas Islam dan belum murtad agar segera bergabung bersama pasukan Khalid menuju daerah Buzakhah.

Maka setelah Ma’n membaca surat dari Abu Bakar ini, dia segera berangkat bersama anggota suku Bani Sulaim yang masih beriman menuju daerah Buzakhah untuk bergabung bersama Khalid dan pasukannya.

Sebelum dia berangkat, dia menunjuk saudaranya yang bernama Tharifah bin Hajiz untuk menggantikan dirinya sebagai gubernur selama absennya dia dalam rangka memerangi Thulaihah.

Dan diantara tokoh Bani Sulaim yang memilih untuk murtad keluar dari agama Islam adalah seseorang yang bernama Abu Syajarah bin Abdil Uzza, anaknya al-Khansa’”.

Di dalam kitab Ibnu Jarir dan Ibnul Atsir (Rahimahumallah) di sebutkan bahwa pada saat Abu Syajarah murtad dia melantunkan beberapa bait syair, yang dimana diantara bait tersebut ada yang dia khususkan untuk membangga-banggakan kesuksesannya ketika dia berhasil membunuh banyak dari pasukan Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu).

Ibnu Jarir (Rahimahullah) melanjutkan: “Kemudian pada akhirnya (sebagaimana yang dilakukan oleh Uyainah, Thulaihah, dan kebanyakan pembesar-pembesar gerakan kemurtadan Thulaihah) Abu Syajarah pun memutuskan untuk kembali memeluk agama Islam.

Dan ketika Umar bin Khaththab (Radhiyallahu ‘Anhu) naik menjadi khalifah (pengganti Abu Bakar dalam memimpin kaum muslimin), Abu Syajarah datang ke kota Madinah.

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdurrahman bin Anas as-Sullamiy, dari beberapa orang kaumnya (suku Bani Sulaim).

Dan telah menceritakan kepada kami pula as-Sirriy, dimana dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu’aib, dari Saif, dari Sahl dan Abi Ya’qub dan Muhammad bin Marzuq, dan dari Hisyam, dari Abu Mikhnaf, dari Abdurrahman bin Qais as-Sullamiy, mereka berkata: ‘Sesampainya dia (Abu Syajarah) di kota Madinah, dia menderumkan untanya di daerah milik Bani Quraizhah.

Kemudian dia mendatangi Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) yang pada saat itu sedang membagi-bagikan harta sedekah untuk para faqir miskin suku-suku arab.

Sesampainya dia di hadapan Umar, dia berkata kepada beliau: ‘Wahai Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang yang beriman), berilah aku sebagian dari harta sedekah itu, karena aku ini termasuk ke dalam golongan orang-orang yang membutuhkan’.

Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) bertanya kepadanya: ‘Siapakah gerangan engkau ini?’.

Dia menjawab: ‘Aku adalah Abu Syajarah bin Abdil Uzza as-Sullamiy’.

Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) pun kaget dan lantas berkata: ‘Abu Syajarah!, wahai musuh Allah, bukankah engkau yang melantunkan bait syair berikut?...

Maka sungguh aku telah membuat kenyang tombakku dengan darahnya para pasukan Khalid…

Dan sungguh aku benar-benar berharap bahwa setelahnya tombakku ini pun bisa kenyang dari darahnya para pasukan Umar…’.

Kemudian setelah itu Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) mengusirnya memakai cambuk miliknya yang beliau ayun-ayunkan di atas kepala Abu Syajarah hingga dia pergi sambil terbirit-birit.

Dia terus berlari hingga sampai di tempat dimana dia menambatkan untanya, setelah itu dia segera memacu untanya kabur dari kota Madinah menuju kampung halamannya, desa tempat tinggal suku Bani Sulaim”.

Setelah itu Ibnu Jarir (Rahimahullah) menyebutkan bait syair yang di lantunkan oleh Abu Syajarah.

Ibnul Atsir (Rahimahullah) menyebutkan secara ringkas bait syair tersebut di dalam kitabnya, dimana bunyinya adalah sebagaimana berikut…

Abu Hafsh (Umar bin Khaththab) telah berbuat bakhil ketika bertemu dengan kami dan tidak mau memberikan sebagian dari harta sedekah yang ada di tangannya…

Dan setiap batang pohon pada suatu hari nanti pasti akan memiliki dedaunan…”.

Inilah beberapa kisah mengenai Abu Syajarah sang pemuka suku Bani Sulaim yang murtad karena mengikuti Thulaihah al-Asadiy. Wallahu A’lam Bish-Shawab.  

Insya Allah kisah akan berlanjut ke artikel selanjutnya.

Was-Salam.               

  

 

Thursday, October 21, 2021

KISAH KEMBALINYA SUKU BANI AMIR KE DALAM NAUNGAN ISLAM.

 

Gambar oleh Quang Le dari Pixabay 

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Berkata Ibnul Atsir (Rahimahullah) dalam kitabnya setelah beliau bercerita mengenai penangkapan ‘Alqamah bin ‘Ulatsah: “Orang-orang yang berasal dari suku Banu Amir berkata setelah mereka melihat apa yang menimpa penduduk Buzakhah dari kehinaan: ‘Kami akan kembali masuk ke dalam agama yang dahulu kami keluar darinya (murtad darinya)’.

Mereka juga bersegera mendatangi Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) untuk membai’atnya dan juga untuk bersumpah setia di hadapannya, dan Khalid sendiri menerima dengan baik sumpah setia mereka sekaligus membai’at mereka dengan bai’at yang diberikannya kepada penduduk Buzakhah.

Bai’at tersebut berbunyi: ‘Dengan dasar janji kalian kepada Allah, maka kalian harus benar-benar beriman kepadaNya dan juga kepada RasulNya. Dan kalian juga harus senantiasa mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan hendaknya kalian menyertakan dalam bai’at kalian ini nama-nama istri dan anak-anak kalian’. Mereka menjawab: ‘Baik’.

BACA JUGA:

KISAH ‘ALQAMAH BIN ‘ULATSAH.

KISAH ABU SYAJARAH BIN ABDIL UZZA.

Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) memberikan persyaratan kepada orang-orang yang ingin bersumpah setia kepadanya baik itu mereka berasal dari suku Asad, Ghathafan, Thayyi’, Sulaim, ataupun Amir agar hendaknya mereka membawa ke hadapannya orang-orang yang dahulu pada saat murtad pernah membakar, mencincang, ataupun membunuh dan berbuat melampaui batas terhadap Islam dan kaum muslimin.

Dimana ketika orang-orang tersebut telah membawa ke hadapannya para pelaku yang di maksud, maka Khalid pun (sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir (Rahimahullah)) segera menghukum mereka dengan memakai tata cara yang dipakai oleh mereka dahulu ketika mereka berbuat dzalim kepada kaum muslimin pada saat mereka murtad.

Dimana sebagian dari mereka ada yang Khalid cincang tubuhnya, sebagiannya lagi ada yang beliau eksekusi dengan cara di bakar, sebagiannya lagi ada yang beliau pecahkan kepalanya dengan batu, sebagiannya lagi ada yang beliau lempar dari atas gunung, dan sebagiannya lagi ada yang beliau ceburkan ke dalam sumur dengan kepalanya terlebih dahulu (masing-masing di hukum dengan cara yang dahulu pernah mereka terapkan kepada kaum muslimin pada saat mereka murtad).

Setelah itu Khalid mengirimkan surat kepada Abu Bakar, dimana beliau memberitahunya dalam surat tersebut mengenai apa yang telah dilakukannya kepada para pelaku yang telah membantai kaum muslimin di masa-masa awal kemurtadan.

Beliau juga mengirimkan kepada Abu Bakar bersamaan dengan surat tersebut pemimpin suku Ka’ab yang bernama Qurrah bin Hubairah dan sekelompok orang dari kaumnya sambil terikat dan juga seseorang yang bernama Zuhair”.

Inilah apa yang di tuliskan oleh Ibnul Atsir (Rahimahullah) di dalam kitabnya mengenai kembalinya para anggota suku Asad, Ghathafan, Thayyi’, Sulaim, dan Amir kepada naungan Islam.

Ibnu Jarir ath-Thabariy (Rahimahullah) menyebutkan dalam kitabnya isi dari surat yang dikirimkan Khalid kepada Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma), dimana isinya berbunyi sebagaimana berikut…

Berkata Ibnu Jarir (Rahimahullah): “Khalid menulis surat kepada Abu Bakar: ‘Sungguh anggota suku Bani Amir telah bersedia untuk menerima ajakan kebaikan setelah dahulu mereka menolaknya, dan mereka juga telah kembali ke dalam naungan Islam setelah mereka melalui masa-masa sulit yang dipenuhi oleh penantian dan kebingungan. Dan sungguh aku juga telah mensyaratkan kepada semua orang yang mendatangiku baik itu untuk berdamai ataupun untuk bersumpah setia, agar mereka membawa bersamanya orang-orang yang dahulu telah banyak berbuat kejahatan kepada kaum muslimin di masa-masa awal kemurtadan, dimana aku mengeksekusi mereka semua. Dan aku juga telah mengirimkan kepadamu Qurrah dan sahabat-sahabatnya’”.

Setelah itu Ibnu Jarir (Rahimahullah) menyebutkan isi surat yang dikirimkan oleh Abu Bakar kepada Khalid (Radhiyallahu ‘Anhuma), isi surat ini telah disebutkan pula oleh Ibnu Katsir (Rahimahullah) dalam kitabnya, dimana artian dari surat tersebut telah saya tuliskan di dalam salah satu artikel saya yang telah berlalu.

Isi dari surat itu sendiri kurang lebih adalah doa agar Allah (‘Azza Wa Jalla) memberikan keberkahan kepada semua nikmat yang telah di anugerahkanNya kepada Khalid, dan juga anjuran agar Khalid senantiasa bertaqwa kepada Allah (‘Azza Wa Jalla).

Kemudian setelah itu Abu Bakar menugaskan Khalid agar memburu orang-orang yang dahulu di masa-masa awal kemurtadan telah banyak berbuat kejahatan kepada kaum muslimin, untuk kemudian menghukum mereka semua dengan memakai tata cara yang sama dengan tata cara yang dahulu mereka pakai untuk membantai kaum muslimin. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah kisah akan berlanjut ke artikel selanjutnya.

Was-Salam.             

 

Wednesday, October 20, 2021

KISAH ‘ALQAMAH BIN ‘ULATSAH.

 

Gambar oleh Юлия Зяблова dari Pixabay 

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Sesuai dengan wasiat yang di pesankan oleh Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) kepada dirinya di awal pengutusannya ke medan pertempuran untuk melawan orang-orang murtad (wasiat tersebut adalah agar Khalid bergerak terlebih dahulu bersama pasukannya menuju perkampungan suku Thayyi’ kemudian setelah itu menumpas Thulaihah dan pengikutnya di daerah Buzakhah, kemudian setelah itu bergerak menuju perkampungan suku Bani Tamim), Khalid segera berangkat menuju perkampungan suku Bani Tamim setelah beliau menumpas Thulaihah beserta pengikutnya sekaligus di Buzakhah. Akan tetapi sebelum masuk ke kisah tersebut, saya ingin mengisahkan terlebih dahulu mengenai suku Bani ‘Amir yang tinggal di dekat daerah Buzakhah.

Kisah mengenai kemurtadan suku Bani ‘Amir disebutkan oleh Imam Ibnu Jarir dan Imam Ibnul Atsir (Rahimahumallah) di dalam kitab mereka berdua. Kisahnya sebagaimana berikut…

BACA JUGA:

KISAH UMMU ZIML DAN FUJAAH.

KISAH KEMBALINYA SUKU BANI AMIR KE DALAM NAUNGAN ISLAM.

Berkata Ibnu Jarir (Rahimahullah) di dalam kitabnya: “Telah menceritakan kepada kami as-Sirriy, dari Syu’aib, dari Saif, dari Sahl dan Abdullah, dimana keduanya berkata: ‘Adapun suku Banu ‘Amir (ketika suku-suku yang lain mengumumkan secara gamblang mengenai langkah mereka, yakni apakah mereka akan murtad atau tetap memegang teguh agama Islam setelah wafatnya Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)), maka terkadang mereka memajukan satu kaki menuju kemurtadan dan adapun kaki yang satunya mereka tarik ke belakang (artinya mereka ragu-ragu dalam mengambil sikap, terkadang mereka mengumumkan bahwa mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang murtad, dan di lain waktu mereka menampakkan seakan-akan mereka tidak termasuk ke dalam golongan mereka. Contohnya adalah ketika mereka tidak ikut bertempur bersama Thulaihah ketika Thulaihah dan pengikutnya di gempur oleh Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu)).

Dimana mereka tidak mampu mengambil keputusan yang berani dalam hal ini, dan yang mereka kerjakan hanyalah mengamati seluruh kejadian yang terjadi di sekitar mereka dari balik layar. Mereka menunggu di balik layar mengenai keputusan apakah yang akan diambil oleh suku Asad dan Ghathafan.

Maka ketika akhirnya suku Asad dan Ghathafan sedang berada dalam situasi genting, suku Banu ‘Amir tetap berdiam diri bersama pemuka-pemuka mereka (menunggu kabar mengenai perkembangan terkini dari konflik antara kaum muslimin dengan suku Asad dan Ghathafan).

Diantara pemuka-pemuka suku Banu ‘Amir pada saat itu adalah seseorang yang bernama Qurrah bin Hubairah, dimana orang ini memimpin suku Banu Ka’ab (salah satu cabang dari suku ‘Amir).

Dan ada juga seseorang yang lain yang bernama ‘Alqamah bin ‘Ulatsah, dimana dia memimpin salah satu suku cabang (dari suku induk, suku ‘Amir) pula yang bernama suku Banu Kilab.

‘Alqamah ini awal mulanya dia adalah seorang muslim, akan tetapi dia memutuskan untuk murtad di saat Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) masih hidup. Dimana pada saat kaum muslimin berhasil menaklukan suku Thaif, dia keluar dari jazirah arab menuju negeri Syam.

Dan ketika Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) wafat, dia segera kembali ke kampung halamannya untuk kemudian menetap di tengah-tengah suku Ka’ab sembari memajukan satu kaki dan memundurkan kaki yang lainnya (ragu-ragu dalam mengambil keputusan).

Maka ketika Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) mendengar akan kedatangannya tersebut, beliau pun mengirimkan sebuah pasukan di bawah komando seorang sahabat yang mulia bernama al-Qa’qa’ bin ‘Amr (Radhiyallahu ‘Anhu), dimana beliau berkata kepadanya saat mengirimnya bersama pasukannya: ‘Wahai Qa’qa’, berjalanlah engkau bersama pasukanmu hingga kalian tiba di tempat ‘Alqamah bin ‘Ulatsah, maka ketika engkau telah bertemu dengannya, tangkaplah dia untukku atau bunuhlah dia…!’.

Maka setelah di beri wasiat oleh Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu), berangkatlah al-Qa’qa’ bersama pasukannya menuju tempat persembunyian ‘Alqamah.

Dan sesampainya mereka di sana, mereka mendapati ‘Alqamah senantiasa dalam keadaan siap siaga untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Maka oleh karenanya ketika dia melihat kedatangan al-Qa’qa’ bersama pasukannya, dia langsung menaiki kudanya dan memacunya sekuat-kuatnya hingga akhirnya dia berhasil kabur dan selamat dari jangkauan pasukan Islam.

Akan tetapi walaupun dia sendiri berhasil kabur, tidak begitu halnya dengan seluruh keluarganya, dimana mereka tidak sempat mengikuti ‘Alqamah untuk melarikan diri. Al-Qa’qa’ sendiri berhasil mengumpulkan mereka semua untuk kemudian membawa mereka menuju kota Madinah untuk menghadap Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu).

Tidak sama dengan ‘Alqamah, keluarganya bersedia untuk memeluk agama Islam. Dan mereka juga membantah segala tuduhan yang mengatakan bahwa mereka sama saja dengan ‘Alqamah (yaitu murtad dan kemudian melarikan diri ke negeri Syam), Abu Bakar sendiri akhirnya mendapatkan konfirmasi mengenai kebenaran pengakuan mereka.

Mereka berkata kepada Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu): ‘Kami sama sekali tidak bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat oleh ‘Alqamah’. (karena mereka tidak mengikuti ‘Alqamah ketika dia melakukan aksinya).

Setelah itu Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) membebaskan mereka semua, dan ketika ‘Alqamah mendengar bahwa keluarganya telah dibebaskan, dia pun memutuskan untuk kembali kepada pangkuan Islam, dan Abu Bakar menerima dengan baik keputusannya tersebut”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah kisah akan berlanjut ke artikel selanjutnya.

Was-Salam.   

 

 

 

 

Sunday, October 17, 2021

KISAH UMMU ZIML DAN FUJAAH.

 

Gambar oleh Siggy Nowak dari Pixabay 

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Setelah Ibnu Katsir (Rahimahullah) menuntaskan pembahasan mengenai Thulaihah, beliau melanjutkan pembahasannya dengan menceritakan 2 kisah lagi sebelum berpindah ke pembahasan mengenai suku-suku arab lain yang murtad. Adapun kedua kisah tersebut berbunyi sebagaimana berikut…

Beliau (Rahimahullah) berkata: “Pada saat banyak kejadian penting yang tengah berlangsung di daerah Buzakhah, berkumpullah sekelompok orang yang berasal dari suku Bani Ghathafan yang dimana dahulunya mereka juga termasuk ke dalam pengikut Thulaihah al-Asadiy.

BACA JUGA:

KHALID MENGHUKUM ORANG-ORANG MURTAD.

KISAH ‘ALQAMAH BIN ‘ULATSAH.

Sekelompok orang ini berkumpul dan tunduk kepada seorang wanita yang di kenal dengan sebutan: Ummu Ziml, adapun nama wanita ini adalah: Salma bintu Malik bin Hudzaifah.

Wanita ini termasuk ke dalam golongan elite bangsa arab, karena ibunya yang di kenal dengan sebutan: Ummu Qirfah dahulunya adalah seorang wanita yang istimewa. Dimana dahulu bangsa arab gemar mengaitkan nama ibunya tersebut dengan kemuliaan, hal tersebut dikarenakan Ummu Qirfah memiliki anak yang sangat banyak, dan juga karena suku dan keluarga besarnya sendiri sangat di segani dan di muliakan oleh banyak kalangan pada masanya.

Maka ketika sekelompok orang dari suku Ghathafan tadi tunduk di bawah perintah Ummu Ziml, wanita ini segera memanfaatkan dengan baik pengaruhnya dengan cara memanas-manasi mereka untuk segera menyerang Khalid dan pasukannya. Maka setelah di panas-panasi oleh seorang wanita yang dipercaya memiliki keberkahan karena keturunan langsung dari Ummu Qirfah, sekelompok orang dari Ghathafan tadi langsung membara semangatnya untuk memerangi Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) dan pasukannya.

Dan tidak membutuhkan waktu lama hingga kelompok-kelompok pembangkang lain yang tidak mau mengambil pelajaran dari apa yang telah menimpa Thulaihah dan Uyainah beserta pasukan mereka berdua pun akhirnya ikut menggabungkan diri ke dalam kelompok Ummu Ziml, kelompok-kelompok ini berasal dari suku Bani Sulaim, Thayyi’, Hawazin, dan Asad.

Maka dengan bergabungnya mereka ke dalam kelompok Ummu Ziml, maka terkumpullah di bawah pimpinan wanita ini sebuah pasukan yang memiliki jumlah yang sangat besar, dan seakan-akan mengikuti besarnya jumlah mereka, pamor dan aura menakutkan mereka pun ikut membesar.

Adapun Khalid ketika beliau mendengar akan gerakan Ummu Ziml dan pasukannya, beliau segera berangkat menuju markas mereka bersama pasukannya pula…

Dan pada saat kedua pasukan ini bertemu, meletuslah dengan dahsyatnya peperangan antara kedua belah pihak, dimana Ummu Ziml pada saat itu mengendarai unta milik ibunya dalam rangka menyemangati pasukannya, orang-orang arab percaya bahwa siapa saja yang mengendarai unta milik Ummu Qirfah maka pasti orang tersebut akan dianugerahi dengan 100 ekor unta.

Akan tetapi rupanya segala kepercayaan tidak berdasar tersebut sama sekali tidak memiliki pengaruh di hadapan Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) dan pasukannya, dimana beliau akhirnya berhasil menumpas dan mengalahkan mereka semuanya, menyembelih unta milik Ummu Qirfah tersebut, sekaligus membunuh si pengendara unta yakni Ummu Ziml.

Setelah itu, Khalid segera menuliskan kabar gembira mengenai kemenangan yang Allah (‘Azza Wa Jalla) berikan kepada kaum muslimin ini kepada Abu Bakar ash-Shiddiq (Radhiyallahu ‘Anhu)”. Wal-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

Kemudian Ibnu Katsir (Rahimahullah) melanjutkan pembahasannya dengan membahas kisah Fujaah, beliau berkata: “Nama Fujaah adalah Iyas bin Abdillah bin Abdi Yalail bin ‘Umairah bin Khufaf, orang ini berasal dari suku Bani Sulaim. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq.

Fujaah ini hidupnya berakhir di tangan Abu Bakar ash-Shiddiq (Radhiyallahu ‘Anhu), adapun tempat dia di eksekusi adalah daerah al-Baqi’ di kota Madinah al-Munawwarah, dimana beliau membakar orang ini di tempat itu.

Adapun sebab yang menyebabkan dia di bakar oleh Abu Bakar adalah: karena pada suatu hari, dia datang menghadap Abu Bakar sembari mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim sekaligus meminta sebuah pasukan yang akan dia bawa untuk memerangi orang-orang murtad.

Maka karena Abu Bakar percaya kepadanya (karena dia mengaku sebagai seorang muslim, maka beliau percaya kepadanya atas dasar keislamannya), beliau pun menyiapkan sebuah pasukan untuknya.

Dan setelah pasukan tersebut siap, dia segera berangkat membawa pasukannya, dan di tengah perjalanan tidaklah dia bertemu dengan seorang pun kecuali dia membunuhnya. Orang ini membunuh secara sembarangan dan membabi buta, dimana dia sama sekali tidak memperhatikan apakah orang yang dibunuhnya adalah seorang muslim ataukah seorang murtad. Selain membunuh dia juga merampas harta korbannya.

Maka ketika Abu Bakar mendengar akan ulah berbahayanya tersebut, beliau segera mengirimkan sebuah pasukan yang beliau tugaskan untuk mengejar orang tersebut dan menangkapnya.

Dan ketika orang ini telah tertangkap, beliau segera mengirimnya ke daerah al-Baqi’. Dan di tempat itu, beliau mengikat kedua tangannya ke bagian belakang tubuhnya, dan kemudian melemparkannya ke dalam api yang menyala-nyala”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Inilah 2 kisah yang dibawakan oleh Ibnu Katsir (Rahimahullah), dan Insya Allah pada artikel selanjutnya saya akan melanjutkan pembahasan mengenai kisah orang-orang yang murtad.

Was-Salam.

 

 

    

 

 

 

Saturday, October 16, 2021

KHALID MENGHUKUM ORANG-ORANG MURTAD.

 

Gambar oleh ELG21 dari Pixabay 

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Ibnu Katsir (Rahimahullah) mengisahkan dalam kitabnya bahwa ketika Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) mendengar bahwa Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) dan pasukannya telah berhasil menumpas gerakan Thulaihah, beliau menulis sebuah surat kepada Khalid yang berbunyi sebagaimana berikut…

“Semoga Allah senantiasa menambahkan kebaikan di dalam nikmat-nikmat yang telah Dia anugerahkan kepadamu, dan hendaknya engkau senantiasa bertaqwa kepada Allah di setiap urusanmu, karena sungguh Allah senantiasa bersama orang-orang yang bertaqwa lagi berbuat baik. Hendaknya juga engkau senantiasa mengambil sikap tegas terhadap orang-orang yang murtad, dimana jika engkau berhasil menawan ataupun menangkap seseorang dari mereka yang dahulu memiliki sejarah gelap akibat pernah membunuh jiwa seorang muslim, maka engkau harus membalaskan darah saudaramu yang telah dibunuhnya tersebut. Begitu juga halnya jika engkau berhasil menangkap seseorang dari mereka yang memiliki pemikiran bahwa tidak mengapa bagi seseorang untuk melanggar perintah dan tuntunan Allah jika pelanggaran tersebut berbuah kebaikan, maka jika engkau menangkap seseorang yang memiliki pemikiran seperti ini, maka hendaknya engkau segera membunuhnya”.

BACA JUGA:

AKHIR DARI THULAIHAH DAN UYAINAH BIN HISHN.

KISAH UMMU ZIML DAN FUJAAH.

Setelah Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) membaca surat dari Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) tersebut, beliau memutuskan untuk tinggal terlebih dahulu di Buzakhah sebelum berangkat menuju daerah lain bersama pasukannya selama 1 bulan lamanya. Dimana dalam kurun waktu tersebut beliau sibuk memburu orang-orang yang memiliki kecocokan dengan apa yang telah di singgung oleh Abu Bakar dalam suratnya.

Diantara orang-orang yang beliau tangkap dan telah beliau pastikan bahwa orang tersebut pada saat dia murtad dia benar-benar telah dengan sengaja membunuh seorang muslim, ada yang beliau hukum dengan cara membakarnya di dalam api yang menyala-nyala, diantaranya juga ada yang beliau hukum dengan cara memecahkan kepalanya memakai batu, diantara mereka juga ada yang beliau hukum dengan cara melemparkannya dari atas puncak gunung.

Semua bentuk hukuman yang beliau laksanakan ini bertujuan agar orang-orang yang murtad di seluruh penjuru jazirah arab gemetar ketakutan di rumah-rumah mereka sembari menunggu giliran masing-masing untuk di hukum oleh Khalid, selain itu Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) juga berharap agar mereka bisa mengambil pelajaran dan bersedia untuk masuk kembali ke agama Islam.

Kemudian Ibnu Katsir (Rahimahullah) menyebutkan perkataan Imam Sufyan ats-Tsauriy (Rahimahullah), dimana beliau berkata: “Dari Qais bin Muslim, dari Thariq bin Syihab, dia berkata: ‘Ketika suatu hari berdatangan ke kota Madinah utusan-utusan dari kota Buzakhah menghadap Abu Bakar untuk meminta perdamaian (utusan-tusan tersebut berasal dari suku Asad dan Ghathafan), beliau memberikan tawaran kepada mereka, apakah mereka menginginkan peperangan tiada akhir ataukah rencana yang menghinakan?.

Mereka bertanya kepada beliau: ‘Wahai Khalifah Rasulullah, adapun peperangan yang tiada akhir maka kami telah mengetahuinya, akan tetapi kami belum mengerti akan apa yang engkau maksud dari rencana yang menghinakan?’.

Beliau menjawab: ‘Kami akan mengambil seluruh persenjataan berikut kuda-kuda perang kalian, dan kami hanya akan menyisakan bagi kalian unta-unta peliharaan. Kalian akan tetap dalam keadaan seperti itu (tidak memiliki persenjataan) sampai Allah memperlihatkan kepada pengganti NabiNya juga kepada kaum muslimin sesuatu yang membuat kami memaafkan perbuatan kalian. Kalian juga hendaknya menyerahkan kepada kami semua hal yang pernah kalian rampas dari kami, sementara kami sendiri tidak wajib untuk mengembalikan kepada kalian semua hal yang pernah kami rampas dari kalian. Dan hendaknya kalian juga bersaksi bahwa seluruh korban jiwa yang berasal dari pihak kami tempatnya adalah Surga, sementara korban jiwa kalian tempatnya adalah Neraka. Dan yang terakhir hendaknya kalian membayar harga diat (darah) dari seluruh orang-orang kami yang telah kalian bunuh, sementara kami tidak wajib untuk membayar harga diat dari seluruh korban jiwa kalian’.

Ketika Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) mendengar syarat yang terakhir, beliau berkata kepada Abu Bakar: ‘Aku ingin mengoreksi perkataanmu yang berbunyi ‘hendaknya kalian membayar harga diat seluruh korban jiwa yang berasal dari pihak kami’, menurutku mereka tidak harus membayarkan harga diat korban-korban kaum muslimin kepada kita, karena sejatinya korban-korban yang berasal dari pihak kita itu terbunuh karena melaksanakan perintah Allah, dan karena hal itulah kita tidak perlu di beri bayaran diat (karena seluruh kaum muslimin telah menjual jiwa dan harta mereka kepada Allah dengan bayaran gantinya adalah Surga)’.

Abu Bakar sendiri setuju akan koreksi Umar itu dan beliau pun memperbaiki persyaratannya.

Setelah itu Umar kembali berkata kepada Abu Bakar: ‘Sungguh ide-idemu itu sangatlah baik”.

Ibnu Katsir berkata: “Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan nomor: 7221, dari Imam Sufyan ats-Tsauriy (Rahimahullah)”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah kisah akan berlanjut ke artikel selanjutnya.

Was-Salam.