Friday, October 15, 2021

AKHIR DARI THULAIHAH DAN UYAINAH BIN HISHN.

 

Gambar oleh Tim Hill dari Pixabay 

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Pada artikel yang lalu saya telah membahas mengenai peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan pihak Thulaihah al-Asadiy, dan pada artikel kali ini saya akan membahas mengenai nasib Uyainah bin Hishn yang tidak sempat kabur dari medan perang sebagaimana Thulaihah.

Kisah mengenai Uyainah di sebutkan oleh Ibnu Katsir, al-Ya’qubiy, juga Ibnul Atsir secara ringkas di kitab mereka.

BACA JUGA:

“APAKAH (MALAIKAT) JIBRIL TELAHMENDATANGIMU ?”.

KHALID MENGHUKUM ORANG-ORANG MURTAD.

Berkata Ibnu Katsir (Rahimahullah): “Dahulu Thulaihah al-Asadiy murtad pada saat Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) masih hidup. Dan ketika beliau di wafatkan oleh Allah (‘Azza Wa Jalla), muncullah Uyainah bin Hishn yang langsung berpihak kepada Thulaihah dan gerakannya. Dan sama dengan Thulaihah, dia juga murtad dari agama Islam.

Pada saat dia (Uyainah) murtad, dia berkata kepada kaumnya: ‘Demi Allah, seorang Nabi yang muncul dari kalangan suku Bani Asad (walaupun jelas bahwa Nabi tersebut adalah Nabi palsu dan hanya sekedar penipu belaka) lebih aku sukai daripada seorang Nabi yang muncul di tengah-tengah suku Bani Hasyim (yakni Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)). Sungguh Muhammad telah wafat, dan ini adalah Thulaihah maka sekarang ikutilah dia!’.

Maka karena pengaruh Uyainah di tengah-tengah kaumnya sangatlah luar biasa (karena dia adalah pemimpin mereka), kaumnya pun langsung menerima seruannya dan murtad secara bersama-sama dan kemudian mengikuti Thulaihah dan ajakannya.

Dan ketika akhirnya gerakan Thulaihah berhasil di tumpas oleh Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu), Thulaihah langsung kabur ke negeri Syam bersama istrinya untuk kemudian tinggal di tengah-tengah suku Bani Kalb.

Adapun Uyainah (maka nasibnya tidak seindah Thulaihah), dia di tawan oleh Khalid dan pasukannya, dimana Khalid memerintahkan agar dia di antar menuju kota Madinah sembari di ikat tangannya beserta lehernya sekaligus…”.

Al-Ya’qubiy (Rahimahullah) berkata dalam kitabnya: “Khalid menawan Uyainah bin Hishn untuk kemudian dia memerintahkan agar orang ini diantarkan menuju kota Madinah agar dia bersama 30 orang tawanan lainnya bisa berjumpa langsung dengan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu). Khalid juga memerintahkan agar dirinya di ikat dengan rantai…”.

Ibnu Katsir (Rahimahullah) melanjutkan: “…Maka ketika rombongan Uyainah memasuki kota Madinah, tiba-tiba dalam sekejap mereka telah dikerumuni oleh anak-anak kecil yang dimana mereka semua menusuk-nusukkan tangan mereka ke tubuh Uyainah sembari berkata kepadanya: ‘Wahai musuh Allah, engkau murtad dari agama Islam?’.

Uyainah menjawab: ‘Demi Allah, aku sama sekali tidak pernah beriman (kepada Allah dan RasulNya) walau sekejap mata’.

Dan ketika dia telah dihadapkan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq (Radhiyallahu ‘Anhu), beliau pun langsung mengajaknya untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus, dan Uyainah pun setuju untuk kembali memeluk Islam. Mendengar persetujuan ini, Abu Bakar pun segera menjanjikan keamanan bagi darahnya pada saat itu juga.

Keimanan dan keislaman Uyainah setelah itu semakin bertambah baik dari waktu ke waktu. Tawaran untuk kembali ke jalan yang lurus juga ajakan untuk bertaubat di tawarkan pula oleh Abu Bakar kepada salah seorang bekas petinggi gerakan Thulaihah yang bernama Qurrah bin Hubairah, dimana orang ini juga setuju untuk kembali ke jalan yang lurus, dan karena kesetujuannya tersebut lah Abu Bakar pun menjanjikan pula baginya keamanan bagi darah dan nyawanya (artinya mereka berdua tidak boleh dibunuh dan ditumpahkan darahnya tanpa hak).

Adapun Thulaihah, maka dia juga akhirnya tersadarkan dan kembali ke jalan yang benar (sebagaimana yang telah saya sebutkan pada artikel yang lalu).

Suatu hari, ketika Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) masih hidup, Thulaihah keluar dari perkampungan suku Bani Kalb menuju kota Makkah untuk melaksanakan ibadah umrah, akan tetapi (walaupun dia memiliki kesempatan untuk berjumpa dengan Abu Bakar, karena siapa saja yang ingin pergi ke kota Makkah, maka dia harus melewati kota Madinah terlebih dahulu) dia malu untuk berkunjung ke kota Madinah, karena dia tidak tahan untuk bertatap muka dengan Abu Bakar karena malu kepada beliau (atas kisah buruk yang pernah dituliskannya di atas lembaran-lembaran cemerlang sejarah Islam di masa-masa awal kepemimpinan ash-Shiddiq (Radhiyallahu ‘Anhu))…”.

Ibnul Atsir dan Ibnul Jauziy (Rahimahumallah) menyebutkan dalam kitab mereka berdua kisah mengenai lewatnya Thulaihah di samping kota Madinah ketika dia berangkat ke Makkah karena ingin melaksanakan ibadah umrah, kisahnya sebagaimana berikut…

Ketika Thulaihah lewat di samping kota Madinah, orang-orang berkata kepada Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu): “Lihat, itu Thulaihah!”.

Abu Bakar menimpali perkataan mereka dengan berkata: “Kalau begitu, apa yang perlu kulakukan padanya?, biarkanlah dia dan jangan ganggu dia, karena dia telah kembali ke pangkuan Islam!”.

Ibnul Jauziy (Rahimahullah) menambahkan: “Keislaman Thulaihah sendiri semakin membaik dengan berlalunya waktu, dan dia pun turut bergabung ke dalam pasukan Islam yang berjuang di daerah-daerah musuh, dimana dia terus berjihad menegakkan kalimat Allah yang haq (benar) hingga akhirnya dia terbunuh di daerah Nahawan (Rahimahullah)”.

Kembali ke kisah yang dibawakan oleh Ibnu Katsir, beliau berkata: “…Setelah melaksanakan ibadah umrah, Thulaihah kembali ke rumahnya, yang dimana pada akhirnya dia memutuskan untuk ikut bergabung ke dalam pasukan Khalid bin Walid (Radhiyallahu ‘Anhu) yang berkeliling ke berbagai negeri demi menegakkan agama Allah di atas muka bumi. Dimana ketika Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu)  mendengar akan keputusannya tersebut, beliau menulis surat kepada Khalid yang berbunyi: ‘Mintalah saran-sarannya dalam masalah (strategi) perang, dan janganlah engkau mengangkatnya menjadi seorang komandan pasukan’…”.

Dikisahkan oleh Ibnul Atsir (Rahimahullah) dalam kitabnya bahwa pada saat Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) wafat dan Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) diangkat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar, Thulaihah datang ke Madinah untuk membai’at Umar, dan setelah dia membai’atnya, Umar berkata kepadanya: “Engkau adalah orang yang membunuh Ukkasyah dan Tsabit?, demi Allah aku tidak akan memaafkanmu selamanya!”.

Mendengar perkataan Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) tersebut, Thulaihah berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kenapa engkau masih mengurusi 2 orang yang pada hakikatnya mereka berdua telah di muliakan oleh Allah dengan perantara kedua tanganku (maksudnya adalah: Allah (‘Azza Wa Jalla) memuliakan Ukkasyah dan Tsabit dengan mengaruniakan kepada keduanya kematian sebagai seorang yang syahid (meninggal di medan perang) karena yang membunuh keduanya adalah Thulaihah yang pada saat itu telah murtad), sementara pada waktu yang sama Allah tidak berkehendak untuk merendahkanku dengan kedua tangan mereka?, (maksudnya adalah: jikalau saja pada saat itu Ukkasyah dan Tsabit (Radhiyallahu ‘Anhuma) berhasil membunuh Thulaihah, maka tentu saja hal tersebut sangat berbahaya bagi Thulaihah, karena dengan kata lain dia telah meninggal di atas kekufuran)”.

Maka ketika Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) mendengar argumennya tersebut, beliau berkata kepadanya: “Pada saat ini apa saja trik-trik yang masih tersisa dari kemampuan perdukunanmu?”.

Thulaihah menjawab: “Satu atau dua tiupan (pada tungku api)”.

Kemudian setelah itu Thulaihah kembali kepada kaumnya (Bani Asad) dan tinggal di tengah-tengah mereka hingga dia memutuskan untuk pergi ke Iraq dan bergabung dengan pasukan Islam yang berjuang di sana.

Al-Muthahhir bin Thahir al-Maqdisiy (Rahimahullah) menyebutkan dalam kitabnya bahwa dalam rangka menyesali perbuatannya ketika membunuh sahabat Ukkasyah dan Tsabit (Radhiyallahu ‘Anhuma), Thulaihah melantunkan bait-bait syair berikut:

Aku sungguh menyesal atas perbuatanku dahulu ketika aku membunuh Tsabit…

Dan Ukkasyah al-Ghanamiy kemudian Ibnu Ma’bad…

Adapun musibah yang menurutku lebih besar dampaknya dari hal itu (membunuh kedua sahabat tadi)…

Adalah keluarnya (murtadnya) aku dari agama Islam secara sengaja…

Maka apakah ash-Shiddiq berkenan untuk menerima diriku yang telah bertaubat ini…

Dan yang telah memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua tanganku…

Dan sungguh aku yang telah keluar dari jerat kesesatan ini bersaksi…

Dengan memakai kesaksian yang haq bahwa diriku pada saat ini bukanlah lagi seseorang yang melampaui batas…

Dan aku juga bersaksi bahwa Tuhan seluruh manusia adalah Tuhanku (yakni Allah) dan bahwa aku…

Hanyalah seorang manusia yang hina dina dan bahwa satu-satunya agama yang benar hanyalah agamanya Muhammad (agama Islam)…”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah kisah akan berlanjut di artikel selanjutnya.

Was-Salam.

 

     

0 comments:

Post a Comment