Gambar oleh Tim Hill dari Pixabay |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.
Pada artikel yang lalu saya telah membahas
mengenai peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan pihak Thulaihah
al-Asadiy, dan pada artikel kali ini saya akan membahas mengenai nasib Uyainah
bin Hishn yang tidak sempat kabur dari medan perang sebagaimana Thulaihah.
Kisah mengenai Uyainah di sebutkan oleh
Ibnu Katsir, al-Ya’qubiy, juga Ibnul Atsir secara ringkas di kitab mereka.
BACA JUGA:
“APAKAH (MALAIKAT) JIBRIL TELAHMENDATANGIMU ?”.
KHALID MENGHUKUM ORANG-ORANG MURTAD.
Berkata Ibnu Katsir (Rahimahullah): “Dahulu Thulaihah al-Asadiy murtad pada saat Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) masih hidup. Dan ketika beliau di wafatkan oleh Allah (‘Azza Wa Jalla), muncullah Uyainah bin Hishn yang langsung berpihak kepada Thulaihah dan gerakannya. Dan sama dengan Thulaihah, dia juga murtad dari agama Islam.
Pada saat dia (Uyainah) murtad, dia berkata
kepada kaumnya: ‘Demi Allah, seorang Nabi yang muncul dari kalangan suku Bani
Asad (walaupun jelas bahwa Nabi tersebut adalah Nabi palsu dan hanya sekedar
penipu belaka) lebih aku sukai daripada seorang Nabi yang muncul di
tengah-tengah suku Bani Hasyim (yakni Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam)). Sungguh Muhammad telah wafat, dan ini adalah Thulaihah maka
sekarang ikutilah dia!’.
Maka karena pengaruh Uyainah di
tengah-tengah kaumnya sangatlah luar biasa (karena dia adalah pemimpin mereka),
kaumnya pun langsung menerima seruannya dan murtad secara bersama-sama dan
kemudian mengikuti Thulaihah dan ajakannya.
Dan ketika akhirnya gerakan Thulaihah berhasil
di tumpas oleh Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu), Thulaihah langsung kabur ke
negeri Syam bersama istrinya untuk kemudian tinggal di tengah-tengah suku Bani
Kalb.
Adapun Uyainah (maka nasibnya tidak seindah
Thulaihah), dia di tawan oleh Khalid dan pasukannya, dimana Khalid
memerintahkan agar dia di antar menuju kota Madinah sembari di ikat tangannya
beserta lehernya sekaligus…”.
Al-Ya’qubiy (Rahimahullah) berkata
dalam kitabnya: “Khalid menawan Uyainah bin Hishn untuk kemudian dia
memerintahkan agar orang ini diantarkan menuju kota Madinah agar dia bersama 30
orang tawanan lainnya bisa berjumpa langsung dengan Abu Bakar (Radhiyallahu
‘Anhu). Khalid juga memerintahkan agar dirinya di ikat dengan rantai…”.
Ibnu Katsir (Rahimahullah)
melanjutkan: “…Maka ketika rombongan Uyainah memasuki kota Madinah, tiba-tiba
dalam sekejap mereka telah dikerumuni oleh anak-anak kecil yang dimana mereka
semua menusuk-nusukkan tangan mereka ke tubuh Uyainah sembari berkata
kepadanya: ‘Wahai musuh Allah, engkau murtad dari agama Islam?’.
Uyainah menjawab: ‘Demi Allah, aku sama
sekali tidak pernah beriman (kepada Allah dan RasulNya) walau sekejap mata’.
Dan ketika dia telah dihadapkan kepada Abu
Bakar ash-Shiddiq (Radhiyallahu ‘Anhu), beliau pun langsung mengajaknya
untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus, dan Uyainah pun setuju untuk
kembali memeluk Islam. Mendengar persetujuan ini, Abu Bakar pun segera
menjanjikan keamanan bagi darahnya pada saat itu juga.
Keimanan dan keislaman Uyainah setelah itu
semakin bertambah baik dari waktu ke waktu. Tawaran untuk kembali ke jalan yang
lurus juga ajakan untuk bertaubat di tawarkan pula oleh Abu Bakar kepada salah
seorang bekas petinggi gerakan Thulaihah yang bernama Qurrah bin Hubairah,
dimana orang ini juga setuju untuk kembali ke jalan yang lurus, dan karena
kesetujuannya tersebut lah Abu Bakar pun menjanjikan pula baginya keamanan bagi
darah dan nyawanya (artinya mereka berdua tidak boleh dibunuh dan ditumpahkan
darahnya tanpa hak).
Adapun Thulaihah, maka dia juga akhirnya
tersadarkan dan kembali ke jalan yang benar (sebagaimana yang telah saya
sebutkan pada artikel yang lalu).
Suatu hari, ketika Abu Bakar (Radhiyallahu
‘Anhu) masih hidup, Thulaihah keluar dari perkampungan suku Bani Kalb
menuju kota Makkah untuk melaksanakan ibadah umrah, akan tetapi (walaupun dia
memiliki kesempatan untuk berjumpa dengan Abu Bakar, karena siapa saja yang
ingin pergi ke kota Makkah, maka dia harus melewati kota Madinah terlebih
dahulu) dia malu untuk berkunjung ke kota Madinah, karena dia tidak tahan untuk
bertatap muka dengan Abu Bakar karena malu kepada beliau (atas kisah buruk yang
pernah dituliskannya di atas lembaran-lembaran cemerlang sejarah Islam di
masa-masa awal kepemimpinan ash-Shiddiq (Radhiyallahu ‘Anhu))…”.
Ibnul Atsir dan Ibnul Jauziy (Rahimahumallah)
menyebutkan dalam kitab mereka berdua kisah mengenai lewatnya Thulaihah di
samping kota Madinah ketika dia berangkat ke Makkah karena ingin melaksanakan
ibadah umrah, kisahnya sebagaimana berikut…
Ketika Thulaihah lewat di samping kota
Madinah, orang-orang berkata kepada Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu):
“Lihat, itu Thulaihah!”.
Abu Bakar menimpali perkataan mereka dengan
berkata: “Kalau begitu, apa yang perlu kulakukan padanya?, biarkanlah dia dan
jangan ganggu dia, karena dia telah kembali ke pangkuan Islam!”.
Ibnul Jauziy (Rahimahullah)
menambahkan: “Keislaman Thulaihah sendiri semakin membaik dengan berlalunya
waktu, dan dia pun turut bergabung ke dalam pasukan Islam yang berjuang di
daerah-daerah musuh, dimana dia terus berjihad menegakkan kalimat Allah yang
haq (benar) hingga akhirnya dia terbunuh di daerah Nahawan (Rahimahullah)”.
Kembali ke kisah yang dibawakan oleh Ibnu
Katsir, beliau berkata: “…Setelah melaksanakan ibadah umrah, Thulaihah kembali
ke rumahnya, yang dimana pada akhirnya dia memutuskan untuk ikut bergabung ke
dalam pasukan Khalid bin Walid (Radhiyallahu ‘Anhu) yang berkeliling ke
berbagai negeri demi menegakkan agama Allah di atas muka bumi. Dimana ketika
Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu)
mendengar akan keputusannya tersebut, beliau menulis surat kepada Khalid
yang berbunyi: ‘Mintalah saran-sarannya dalam masalah (strategi) perang, dan
janganlah engkau mengangkatnya menjadi seorang komandan pasukan’…”.
Dikisahkan oleh Ibnul Atsir (Rahimahullah)
dalam kitabnya bahwa pada saat Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) wafat dan
Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) diangkat menjadi khalifah menggantikan Abu
Bakar, Thulaihah datang ke Madinah untuk membai’at Umar, dan setelah dia membai’atnya,
Umar berkata kepadanya: “Engkau adalah orang yang membunuh Ukkasyah dan
Tsabit?, demi Allah aku tidak akan memaafkanmu selamanya!”.
Mendengar perkataan Umar (Radhiyallahu ‘Anhu)
tersebut, Thulaihah berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kenapa engkau masih
mengurusi 2 orang yang pada hakikatnya mereka berdua telah di muliakan oleh
Allah dengan perantara kedua tanganku (maksudnya adalah: Allah (‘Azza Wa
Jalla) memuliakan Ukkasyah dan Tsabit dengan mengaruniakan kepada keduanya
kematian sebagai seorang yang syahid (meninggal di medan perang) karena
yang membunuh keduanya adalah Thulaihah yang pada saat itu telah murtad), sementara
pada waktu yang sama Allah tidak berkehendak untuk merendahkanku dengan kedua
tangan mereka?, (maksudnya adalah: jikalau saja pada saat itu Ukkasyah dan
Tsabit (Radhiyallahu ‘Anhuma) berhasil membunuh Thulaihah, maka tentu
saja hal tersebut sangat berbahaya bagi Thulaihah, karena dengan kata lain dia
telah meninggal di atas kekufuran)”.
Maka ketika Umar (Radhiyallahu ‘Anhu)
mendengar argumennya tersebut, beliau berkata kepadanya: “Pada saat ini apa saja
trik-trik yang masih tersisa dari kemampuan perdukunanmu?”.
Thulaihah menjawab: “Satu atau dua tiupan
(pada tungku api)”.
Kemudian setelah itu Thulaihah kembali
kepada kaumnya (Bani Asad) dan tinggal di tengah-tengah mereka hingga dia
memutuskan untuk pergi ke Iraq dan bergabung dengan pasukan Islam yang berjuang
di sana.
Al-Muthahhir bin Thahir al-Maqdisiy (Rahimahullah)
menyebutkan dalam kitabnya bahwa dalam rangka menyesali perbuatannya ketika
membunuh sahabat Ukkasyah dan Tsabit (Radhiyallahu ‘Anhuma), Thulaihah
melantunkan bait-bait syair berikut:
“Aku sungguh menyesal atas perbuatanku
dahulu ketika aku membunuh Tsabit…
Dan Ukkasyah al-Ghanamiy kemudian Ibnu Ma’bad…
Adapun musibah yang menurutku lebih besar
dampaknya dari hal itu (membunuh kedua sahabat tadi)…
Adalah keluarnya (murtadnya) aku dari agama
Islam secara sengaja…
Maka apakah ash-Shiddiq berkenan untuk
menerima diriku yang telah bertaubat ini…
Dan yang telah memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua tanganku…
Dan sungguh aku yang telah keluar dari
jerat kesesatan ini bersaksi…
Dengan memakai kesaksian yang haq bahwa
diriku pada saat ini bukanlah lagi seseorang yang melampaui batas…
Dan aku juga bersaksi bahwa Tuhan seluruh
manusia adalah Tuhanku (yakni Allah) dan bahwa aku…
Hanyalah seorang manusia yang hina dina dan
bahwa satu-satunya agama yang benar hanyalah agamanya Muhammad (agama Islam)…”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Insya Allah kisah akan berlanjut di artikel
selanjutnya.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment