This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tuesday, November 30, 2021

UPAYA PENYERANGAN IKRIMAH (RADHIYALLAHU ‘ANHU) TERHADAP MUSAILAMAH AL-KADZDZAB.

 

Gambar oleh Dreamy_Photos dari Pixabay.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Alhamdulillah pada artikel yang lalu saya telah menyelesaikan kisah mengenai asal-muasal kemunculan Musailamah al-Kadzdzab, juga kisah mengenai hal-hal pendukung yang telah mendukung gerakan Musailamah untuk menjadi besar pamornya dikalangan masyarakat jazirah arab, terkhusus suku Bani Hanifah.

Dan Insya Allah pada artikel kali ini saya akan melanjutkan kisah mengenai pergerakan Khalid bin Walid (Radhiyallahu ‘Anhu) bersama pasukannya demi melaksanakan misi yang diembankan oleh Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) kepada mereka, yaitu menumpas gerakan kemurtadan.

Setelah Khalid bertemu dengan Abu Bakar di kota Madinah, dan juga setelah Abu Bakar memaafkan kesalahan yang diperbuat oleh Khalid dan pasukannya terhadap Malik bin Nuwairah dan sahabat-sahabatnya. Beliau yakni Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu), mendapatkan kabar dari Tsumamah bin Utsal, dimana Tsuamamah memberitahu beliau bahwa gerakan kemurtadan Musailamah semakin membesar dari hari ke hari. Selain itu, Tsumamah juga meminta agar pasukan Islam segera diberangkatkan menuju negeri Yamamah demi menumpas gerakan kesesatan tersebut…

BACA JUGA:

AWAL-MULA KEMUNCULAN MUSAILAMAH AL-KADZDZAB (BAG, 2).

IKRIMAH (RADHIYALLAHU ‘ANHU) MENYERANG MUSAILAMAH AL-KADZDZAB.

Berkata Ibnul Jauziy (Rahimahullah) di dalam kitabnya mengenai surat pemberitahuan Tsumamah diatas, beliau berkata: “Dan sebelumnya (yakni sebelum kedatangan Khalid ke hadapan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma)) Tsumamah bin Utsal al-Hanafiy telah mengirimkan surat kepada Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) yang berisikan kabar bahwa gerakan kemurtadan Musailamah telah semakin menguat dari hari ke hari.

Maka oleh karenanya Abu Bakar pun mengutus Ikrimah bin Abi Jahl bersama pasukannya, kemudian beliau mengutus kembali (sebagai pasukan tambahan untuk Ikrimah dan Tsumamah) Syarhabil bin Hasanah bersama pasukannya…”.

Kedua pasukan ini beliau utus sebelum Khalid bin Walid. Ibnu Katsir (Rahimahullah) berkata dalam kitabnya mengenai hal ini: “…Dan sebelumnya (sebelum keberangkatan Khalid menuju negeri Yamamah) Abu Bakar telah mengutus Ikrimah bin Abi Jahl dan Syarhabil bin Hasanah menuju Musailamah al-Kadzdzab…”.

Ibnul Jauziy (Rahimahullah) melanjutkan kisahnya: “…Disaat Abu Bakar mengutus Syarhabil bin Hasanah, beliau berkata kepadanya: ‘Bergeraklah engkau hingga engkau dan pasukanmu menyusul Ikrimah, untuk kemudian satukanlah pasukan kalian berdua dan segeralah berangkat menuju Musailamah, dan hendaknya Ikrimahlah yang menjadi pemimpin dalam penyerbuan ini.

Dan jika kalian telah menyelesaikan misi ini, maka setelah itu berangkatlah kalian berdua menuju suku Qudha’ah, dan dalam penyerbuan tersebut engkaulah yang menjadi pemimpin atas kedua pasukan’.

Ikrimah sendiri ketika beliau mendengar akan keberangkatan Syarhabil bin Hasanah bersama pasukannya, beliau pun segera mempercepat laju pasukannya menuju negeri Yamamah.

Dan sesampainya disana, beliau segera membantu Tsumamah bin Utsal (yang saat itu sedang kekurangan pasukan karena masalah internal yang terjadi ditengah-tengah suku Bani Tamim).

(ketika beliau bertemu dengan Tsumamah tersebut, beliau menyampaikan niatnya untuk menyerbu Musailamah secara langsung tanpa menunggu kedatangan Syarhabil bin Hasanah bersama pasukannya).

Tsumamah berkata kepada Ikrimah: ‘Janganlah engkau lakukan (atau wujudkan niatmu tersebut), karena kekuatan Musailamah tidak bisa lagi dianggap enteng pada saat ini. Dan sungguh aku telah mendengar kabar bahwa dibelakangmu ada sebuah pasukan tambahan yang sedang bergerak menuju ke sini (maka tunggulah mereka)’.

Akan tetapi Ikrimah menolak saran dan nasehat dari Tsumamah, dimana beliau segera menyiapkan pasukannya dan setelahnya beliau langsung menyerbu Musailamah dan pasukannya. Maka pecahlah peperangan yang sangat dahsyat diantara kedua belah pihak, hingga sebagian dari pasukan Islam terluka akibat peperangan tersebut (yang tidak direstui oleh Abu Bakar, karena bagaimanapun tingginya derajat seseorang, jika mereka tidak menuruti titah pemimpinnya, maka kehancuranlah yang akan mereka dapatkan pada akhirnya. Dan hal tersebutlah yang didapatkan oleh sahabat Rasulullah yang mulia ini).

Dan Abu Bakar sendiri ketika mendengar akan apa yang menimpa pasukan Islam akibat ketergesa-gesaan Ikrimah ini, beliau pun segera menulis sebuah surat yang beliau peruntukkan bagi Ikrimah, dimana dalam surat tersebut beliau memerintahkan Ikrimah untuk menjauh dari negeri Yamamah dan bergerak menuju negeri lainnya yang sedang membutuhkan bantuan juga dalam menghadapi gerakan kemurtadan…”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.  

Inilah kisah mengenai upaya penyerangan Ikrimah (Radhiyallahu ‘Anhu) kepada Musailamah dan pengikutnya yang dibawakan oleh Imam Ibnul Jauziy (Rahimahullah) di dalam kitabnya. Dan Insya Allah pada artikel selanjutnya, saya akan menuliskan kisah serupa yang dibawakan atau yang dituliskan oleh Ibnul Atsir dan Ibnu Jarir (Rahimahumallah) dalam kitab mereka.

Was-Salam.

     

 

 

 

Sunday, November 28, 2021

AWAL-MULA KEMUNCULAN MUSAILAMAH AL-KADZDZAB (BAG, 2).

 

Gambar oleh jplenio dari Pixabay.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Pada artikel yang lalu saya telah menuliskan kisah mengenai perjalanan hidup singkat seorang tangan kanan Musailamah al-Kadzdzab yang bernama ar-Rihal bin ‘Unfuwwah.

Perjalanan hidup singkat yang dimulai di tahun 9 hijriyyah disaat dia dan beberapa orang dari kaumnya suku Bani Hanifah mendatangi kota Madinah dengan tujuan yang teramat mulia, yakni mempelajari agama Islam langsung dari Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam). Akan tetapi rupanya takdir Allah (‘Azza Wa Jalla) berkata lain, dimana Allah (‘Azza Wa Jalla) Mempertemukan kembali orang ini dengan Musailamah di kesempatan dan keadaan yang berbeda, mereka bertemu kembali disaat Musailamah mengumumkan kenabian palsunya, dan semenjak hari ketika mereka berdua bertemu itulah, ar-Rihal murtad dan mengikuti ajaran sesat Musailamah.

Dan pada artikel kali ini, Insya Allah saya akan melanjutkan kisah mengenai awal-mula kemunculan Musailamah yang sempat tertunda penyampaiannya di artikel yang lalu.

Kisahnya sebagaimana berikut…

BACA JUGA:

KISAH AR-RIHAL BIN ‘UNFUWWAH, SANG TANGAN KANAN MUSAILAMAH AL-KADZDZAB.

UPAYA PENYERANGAN IKRIMAH (RADHIYALLAHU ‘ANHU) TERHADAP MUSAILAMAH AL-KADZDZAB.

Imam al-Muthahhir al-Maqdisiy (Rahimahullah) berkata: “…Maka setelah seseorang yang bernama ar-Rihal bin ‘Unfuwwah mendukung pernyataannya (yakni pernyataan Musailamah bahwa dirinya telah diangkat menjadi Nabi) sekaligus bersaksi bahwa dia adalah seorang Nabi, orang-orang Bani Hanifah pun mulai terfitnah dengan ajaran sesat sekaligus penipuan yang dilancarkan oleh Musailamah.

Semakin bertambah banyaknya pengikut yang dimilikinya, Musailamah pun memutuskan untuk menulis sebuah surat kepada Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam). Dimana dalam suratnya tersebut dia berkata: ‘Kepada Muhammad utusan Allah, dari Musailamah utusan Allah. Semoga kedamaian selalu menyertaimu. Amma ba’du…

Sesungguhnya aku telah dijadikan sekutu (dan pembantu) bagimu di dalam perkara (kenabian) ini (pernyataannya ini dia nyatakan setelah mendengar persaksian palsu yang diberikan oleh ar-Rihal kepadanya, dimana ar-Rihal memberikan kesaksian palsu kepadanya demi mendapatkan harta benda, bahwa Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) telah mengangkatnya menjadi sekutunya dalam perkara kenabian).

Dan oleh karenanya, maka kami (suku Bani Hanifah) menguasai setengah dari jazirah arab, dan kalian (suku Quraisy) menguasai setengahnya yang lain. Akan tetapi orang-orang Quraisy telah berbuat melampaui batas’.

(karena pada saat itu, Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) dan para sahabat secara umum, baik itu yang berasal dari suku Quraisy maupun yang berasal dari kaum Anshar ataupun yang berasal dari suku-suku lainnya, telah dikaruniai kekuasaan atas jazirah arab secara keseluruhan oleh Allah (‘Azza Wa Jalla) karena ketaatan mereka kepadaNya dan kepada NabiNya. Adapun Musailamah dan sukunya, karena mereka hanyalah sekelompok orang yang mengikuti ajaran sesat seorang penipu, maka mustahil Allah (‘Azza Wa Jalla) Memberikan kekuasaan atas jazirah arab kepada mereka. Dan karena mereka tidak mendapat bagian, maka mereka terkhusus Musailamah iri kepada Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) dan kaum muslimin secara umum, dan keirian mereka inilah yang menyebabkan Musailamah menuliskan perkataannya dalam suratnya diatas).

Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) sendiri segera membalas suratnya dengan berkata: {“Dari Muhammad utusan Allah, kepada Musailamah sang pembohong. Sungguh keselamatan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk (Islam). Amma ba’du…

Sesungguhnya Bumi ini adalah milik Allah, yang akan Dia Wariskan kepada siapa saja yang Dia Kehendaki. Dan akhir yang baik akan selalu menjadi milik orang yang bertakwa”}.

(Walaupun maksud dari surat Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) ini sudah teramat jelas, yakni untuk memutuskan harapan Musailamah yang ingin menguasai jazirah arab sebagaimana kaum muslimin menguasainya) akan tetapi dengan kebodohannya, Musailamah memahami bahwa surat balasan ini berisi penegasan dari Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam), bahwa dirinyalah yang akan naik menjadi seorang Nabi sepeninggal beliau.

(Dan sejak kedatangan surat itulah, khayalan-khayalan Musailamah semakin menjadi-jadi).

Dimana Musailamah juga mengklaim bahwa malaikat Jibril telah mendatanginya dan memberikan wahyu Allah (‘Azza Wa Jalla) kepadanya.

Diantara bait syair buatannya yang dia klaim sebagai wahyu adalah:

Pujilah nama Rabbmu Yang Maha Besar…

Yang telah Menaruh janin di perut seorang wanita hamil…

Untuk kemudian Dia Mengeluarkan darinya seorang manusia yang sempurna…

Dari antara usus-usus yang basah…

Maka diantara bayi-bayi itu ada yang meninggal kemudian ditimbun di dalam tanah…

Dan diantaranya juga ada yang tetap hidup hingga waktu yang telah ditetapkan…

Dan Allah Maha Mengetahui segala yang disembunyikan…’.

Dan masih ada beberapa bait syair lainnya (yang rata-rata susunan kalimatnya ataupun kalimat itu sendiri, dia curi dari susunan kalimat al-Qur’an al-Karim. Sungguh Musailamah hanyalah seorang pembohong lagi tidak mempunyai kreativitas).

Dan ketika Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) wafat, Khalid bin Walid (Radhiyallahu ‘Anhu) bersama pasukannya pun mendatanginya (untuk membungkam mulutnya untuk selama-lamanya)…”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Inilah sedikit kisah mengenai awal-mula kemunculan Musailamah. Dan Insya Allah pada artikel selanjutnya, saya akan melanjutkan kisah mengenai Khalid dan pasukannya yang bergerak menuju negeri Yamamah demi menumpas gerakan kemurtadan Musailamah dan pengikutnya.

Was-Salam.

   

 

  

 

 

 

Saturday, November 27, 2021

KISAH AR-RIHAL BIN ‘UNFUWWAH, SANG TANGAN KANAN MUSAILAMAH AL-KADZDZAB.

 

Gambar oleh skyrider74 dari Pixabay.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Kisah mengenai awal-mula kemunculan Musailamah al-Kadzdzab telah saya tuliskan pada artikel yang lalu. Dan pada artikel ini, Insya Allah saya akan melanjutkan kisah tersebut. Adapun yang akan saya sampaikan pada artikel kali ini dan artikel selanjutnya adalah mengenai perkembangan gerakan kesesatan Musailamah yang sangat pesat, juga surat menyuratnya orang ini dengan Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).

Dan sebagaimana artikel yang lalu, artikel kali ini saya ambil juga kisahnya dari kitab al-Badu wat-Tarikh, karangan seorang ulama bernama al-Muthahhir bin Thahir al-Maqdisiy (Rahimahullah).

Al-Muthahhir bin Thahir al-Maqdisiy (Rahimahullah) berkata: “…Maka setelah seseorang yang bernama ar-Rihal bin ‘Unfuwwah mendukung pernyataannya (yakni pernyataan Musailamah bahwa dirinya telah diangkat menjadi Nabi), orang-orang Bani Hanifah pun mulai terfitnah dengan ajaran sesat sekaligus penipuan yang dilancarkan oleh Musailamah…”. (dan berkat hal tersebut, dia pun semakin sombong dari hari ke hari).

Imam al-Muthahhir al-Maqdisiy (Rahimahullah) menyebutkan dalam perkataannya diatas nama seseorang, yakni ar-Rihal bin ‘Unfuwwah…, siapakah orang itu?, dan kenapa orang-orang mengikuti jejaknya ketika dia memilih untuk mendukung ajaran sesat Musailamah?.

BACA JUGA:

AWAL-MULA KEMUNCULAN MUSAILAMAH AL-KADZDZAB (BAG, 1).

AWAL-MULA KEMUNCULAN MUSAILAMAH AL-KADZDZAB (BAG, 2).

Disebutkan dalam kitab al-Mufashshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam, karangan seorang ulama bernama Jawwad ‘Ali yang wafat pada tahun 1408 hijriyyah, beliau berkata di dalam jilid kesebelas dalam kitabnya: “…Ketika para utusan Bani Hanifah tersebut telah kembali ke negeri mereka, Musailamah pun langsung mengumumkan bahwa dirinya adalah seorang Nabi yang diutus. Dan ternyata ada seseorang yang bersaksi bahwa pengakuannya tersebut adalah pengakuan yang benar, orang ini adalah ar-Rihal bin ‘Unfuwwah.

Ar-Rihal bin ‘Unfuwwah berkata kepada segenap masyarakat Yamamah bahwa Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) telah merestui Musailamah (sang penipu) untuk menjadi sekutunya (sekaligus Nabi pengganti disaat beliau wafat, yang padahal apa yang diklaim baik oleh Musailamah ataupun ar-Rihal ini adalah sebuah kesalahan yang sangat serius, karena Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) tidak pernah merestui seorang pun untuk menjadi Nabi pengganti bagi beliau disaat beliau meninggal, sebagaimana apa yang telah saya sampaikan pada artikel yang lalu). Maka karena persaksiannya tersebutlah, akhirnya masyarakat Yamamah pun mengikuti ajaran sesat Musailamah.

Dan konon ar-Rihal ini sempat mempelajari beberapa surat dari al-Qur’an (langsung dari mulut Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)), akan tetapi pada akhirnya (layaknya orang yang tidak tahu diuntung, juga layaknya orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu) dia menisbatkan surat-surat yang telah dipelajarinya tadi kepada Musailamah (sang penipu). Dan karenanya, dia pun menjadi pendukung terkuat gerakan kesesatan Musailamah, dan juga sebab utama dan penanggung jawab utama dari tersebarnya fitnah di tengah-tengah masyarakat Yamamah dan Bani Hanifah. Orang ini berhasil dibunuh oleh Zaid bin al-Khaththab (saudara Umar bin al-Khaththab (Radhiyallahu ‘Anhuma) di perang Yamamah”.

Disebutkan juga di dalam kitab ath-Thabaqat al-Kubra, karangan seorang ulama bernama Ibnu Sa’ad yang wafat pada tahun 230 hijriyyah, beliau berkata dalam kitabnya: “Telah mengkabarkan kepada kami Muhammad bin Umar al-Aslamiy, dia berkata: ‘Telah menceritakan kepadaku adh-Dhahhak bin Utsman, dari Yazid bin Ruman. Telah berkata Muhammad bin Sa’ad: ‘Dan telah mengkabarkan kepada kami pula Ali bin Muhammad al-Qurasyiy, dari beberapa orang gurunya, dimana mereka berkata: ‘Dahulu telah datang menghadap Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) beberapa orang utusan dari suku Bani Hanifah, diantara mereka adalah: Rihal bin ‘Unfuwwah, Salma bin Handzalah as-Suhaimiy, Thalq bin Ali bin Qais, Humran bin Jabir dari suku Bani Syamir, Ali bin Sinan, al-Aq’as bin Maslamah, Zaid bin Abdi Amr, dan Musailamah bin Habib. Kepala atau pemimpin rombongan mereka adalah Salma bin Handzalah.

Mereka semua disambut kedatangannya oleh para sahabat dan diberi tempat menginap di rumah milik Ramlah binti al-Harits (Radhiyallahu ‘Anha), dan semenjak kedatangan mereka, mereka senantiasa dijamu dan dimuliakan sebagai tamu.

Jamuan makan siang dan makan malam mereka bervariasi, terkadang terdiri dari roti dan daging, terkadang juga terdiri dari roti dan susu, dan terkadang juga roti dan minyak, dan terkadang juga buah kurma yang bisa mereka santap sepuasnya.

Disaat kedatangan mereka, mereka langsung masuk ke dalam Masjid Nabawi dan menemui Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) sekaligus mengucapkan salam untuk beliau, dan kemudian mereka mengucapkan persaksian Islam atau kalimat syahadat.

Dan ketika mereka datang tersebut, Musailamah tidak ikut bersama mereka menemui Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam). mereka berdiam di kota Madinah selama beberapa hari, dimana mereka menghabiskan waktu dengan bolak-balik menemui Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) (dalam rangka mempelajari agama Islam). Dan Rihal bin ‘Unfuwwah sendiri mempelajari al-Qur’an dari sahabat Ubay bin Ka’ab (Radhiyallahu ‘Anhu)…”. 

Disebutkan pula dalam kitab al-Wafi bil-Wafayat, karangan seorang ulama bernama ash-Shafadiy yang wafat pada tahun 764 hijriyyah, beliau berkata dalam jilid keempat belas dari kitabnya: “Ar-Rihal bin ‘Unfuwwah. Namanya adalah Nahar bin ‘Unfuwwah. Dahulu dia telah berhijrah (dan telah masuk Islam), dan telah membaca al-Qur’an juga. Akan tetapi disaat Musailamah muncul, dia pergi menuju orang tersebut untuk kemudian murtad (keluar dari agama Islam) dihadapannya.

Dia juga berkata kepada Musailamah bahwa dirinya telah mendengar Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) menjadikan Musailamah sebagai teman seperjuangan dan juga sebagai seorang Nabi (dan sungguh ini adalah sebuah kebohongan belaka dan hanyalah sebuah lelucon yang sangat tidak pantas untuk dipercayai oleh orang yang berakal).

Maka semenjak hari ketika dia bertemu dengan Musailamah tersebutlah, dia menjelma menjadi fitnah terbesar atas keimanan suku Bani Hanifah. Dia berhasil dibunuh oleh sahabat Zaid bin al-Khaththab (Radhiyallahu ‘Anhu) di perang Yamamah.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah (Radhiyallahu ‘Anhu), dimana beliau berkata: ‘Pada suatu hari, aku duduk-duduk bersama beberapa orang disisi Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam), dan bersama kami ada ar-Rihal bin ‘Unfuwwah. Maka Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) pun bersabda kepada kami: {“Sesungguhnya ada seseorang diantara kalian yang gigi gerahamnya benar-benar berada di dalam neraka, yang dimana besarnya sebesar gunung Uhud”}.

Maka ketika teman-teman dudukku itu telah meninggal semuanya, dan yang tersisa hanyalah diriku dengan ar-Rihal. Maka aku pun menjadi ketakutan (setiap hari, karena jangan-jangan sabda Nabi diatas itu diperuntukkan untuk beliau (Abu Hurairah)). Hingga akhirnya datanglah sebuah hari dimana ar-Rihal pergi menemui Musailamah dan mengikuti ajaran sesatnya sekaligus bersaksi bahwa Musailamah adalah seorang Nabi, dan dia pun berhasil dibunuh di perang Yamamah”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.  

Insya Allah kisah mengenai Musailamah akan berlanjut di artikel selanjutnya.

Was-Salam.     

 

 

 

 

Friday, November 26, 2021

AWAL-MULA KEMUNCULAN MUSAILAMAH AL-KADZDZAB (BAG, 1).

 

Gambar oleh yamabon dari Pixabay.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Alhamdulillah pada artikel yang lalu saya telah menyelesaikan pembahasan mengenai suku Bani Tamim. Pembahasan mengenai penumpasan gerakan kemurtadan di tengah suku tersebut. Dan sesuai dengan apa yang saya janjikan pada artikel yang lalu, maka Insya Allah saya akan menuliskan pada artikel kali ini dan artikel-artikel selanjutnya kisah mengenai Musailamah al-Kadzdzab dan gerakan kemurtadannya di negeri Yamamah.

Saya telah memberikan beberapa gambaran mengenai kesesatan Musailamah di artikel saya yang membahas mengenai Sajah binti al-Harits. Dan tentu saja kesesatannya yang terbesar adalah pengakuannya bahwa dirinya telah diangkat menjadi seorang Nabi setelah Nabi Muhammad (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam). Pengakuan ini tentu saja adalah sebuah kesalahan, karena Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) sendiri pernah menjelaskan sekaligus menegaskan bahwa dirinya adalah penutup para Nabi, dan setelah beliau meninggal maka tidak akan ada lagi seorang Nabi yang diutus, dan jika ada seseorang yang mengaku bahwa dirinya telah diangkat menjadi seorang Nabi setelah beliau meninggal siapapun orang itu, maka orang tersebut adalah orang sesat dan seorang Nabi palsu yang harus segera bertaubat kepada Allah (‘Azza Wa Jalla). Jadi jelaslah dari sini, bahwa kesesatan terbesar Musailamah adalah pengakuan palsunya bahwa dirinya adalah seorang Nabi yang diutus.

BACA JUGA:

“APAKAH KAMU TIDAK RELA UNTUK MENGANGGAP BELIAU SEBAGAI SAHABATMU JUGA?”.

KISAH AR-RIHAL BIN ‘UNFUWWAH, SANG TANGAN KANAN MUSAILAMAH AL-KADZDZAB.

Musailamah sendiri memulai karir penipuannya di saat Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) masih hidup di tengah-tengah para sahabat (Radhiyallahu ‘Anhum). Kisah mengenai hal ini telah dituliskan oleh Imam al-Muthahhir bin Thahir al-Maqdisiy (Rahimahullah) di dalam kitabnya al-Badu wat-Tarikh. Kisahnya sebagaimana berikut…

Al-Muthahhir al-Maqdisiy (Rahimahullah) berkata: “Kisah Musailamah bin Habib al-Kadzdzab (sang pendusta dan penipu). Dia dikenal dengan panggilan Abu Tsumamah. Dan dia juga terkenal sebagai seorang pesulap dan ahli sihir sekaligus sebagai seorang penipu ulung. Dia mampu untuk menyambungkan lagi sayap burung yang telah terputus dari badannya dan membuatnya tersambung kembali dengan badannya tersebut. Dan dia juga mampu memasukkan sebutir telur ke dalam mulut sebuah botol.

Orang ini mengaku bahwa dirinya telah diangkat menjadi seorang Nabi semenjak Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) masih berada di kota Makkah dan belum berhijrah. Dia diberi julukan oleh pengikutnya dengan sebutan ‘Rahman al-Yamamah’ (Sang Pengasih dari negeri Yamamah).

Dia juga sering mengutus pengikut-pengikutnya menuju kota Makkah dengan tujuan mendengarkan lantunan bacaan al-Qur’an yang mulia, untuk kemudian nantinya para utusan ini akan kembali pulang menuju negeri Yamamah demi memperdengarkan wahyu yang mulia tersebut kepada dirinya dan segenap penduduk Yamamah.

Dan di saat Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) telah berhijrah ke kota Madinah (lebih tepatnya ketika beliau dan para sahabat telah memasuki tahun ke-9 hijriyyah, tahun dimana banyak utusan dari suku-suku arab yang berdatangan ke kota Madinah demi mengumumkan ketundukan mereka kepada kaum muslimin), datanglah ke kota Madinah utusan dari suku Bani Hanifah (sukunya Musailamah, dan menurut syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuriy (Rahimahullah), Musailamah ikut ke dalam rombongan utusan tersebut menuju kota Madinah), dan ketika para utusan tersebut telah bertatap muka dengan Nabi, ada diantara mereka yang menyampaikan kepada beliau perkataan Musailamah (menurut syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuriy (Rahimahullah) Musailamah tidak ikut bersama kaumnya ketika mereka menghadap Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)), perkataannya tersebut adalah: ‘Jikalau saja dia Muhammad memberikan perkara (kenabian) tersebut kepada diriku sesudah dia meninggal, maka niscaya aku akan mengikutinya’.

Ketika Nabi mendengar perkataannya tersebut, beliau pun segera mendatangi tempat (persembunyian) Musailamah sembari membawa sebatang kayu yang beliau ambil dari pohon kurma, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-Waqidiy. Adapun Ibnu Ishaq, maka beliau mengatakan bahwa yang dibawa oleh Nabi adalah sebuah batang kurma yang disalah satu ujungnya terdapat dedaunan kecil.

Sesampainya beliau dihadapan Musailamah, beliau berkata kepadanya: {“Jika engkau menerima ajakan Islam ini, maka niscaya Allah akan Mengampunimu. Dan jika engkau menolaknya, maka niscaya Allah akan benar-benar Menghancurkan tipu dayamu. Dan aku tidak melihatmu kecuali engkau hanyalah sebagaimana yang telah diperlihatkan kepadaku (di dalam mimpi, dimana sebelum kedatangan utusan Bani Hanifah ini, beliau bermimpi melihat di kedua tangannya terdapat 2 gelang yang terbuat dari emas, dimana ketika beliau meniup keduanya, keduanya langsung terlepas dari tangan beliau, dan beliau menafsirkan kedua gelang tersebut sebagai 2 orang penipu yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang Nabi, 2 orang penipu tersebut adalah al-Aswad al-Ansi dan Musailamah al-Kadzdzab). Dan jikalau engkau meminta batang kurma inipun, aku tidak akan memberikannya kepadamu!”}.

Dan ketika para utusan Bani Hanifah tadi telah bersiap-siap untuk kembali ke negeri mereka, Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) menemui mereka untuk terakhir kalinya sembari bertanya: {“Apakah ada diantara kalian yang tidak hadir sekarang?”}. (yakni tidak sedang bersama mereka pada saat itu?).

Mereka menjawab: ‘Iya, ada seorang lelaki yang memutuskan untuk memeluk agama Nashrani dan kemudian dia meninggalkan kami’.

Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) bersabda: {“Sungguh orang itu bukanlah orang terburuk diantara kalian”}. Beliau pun memberi wasiat agar mereka menyampaikan kepada orang tersebut apa yang telah beliau sampaikan kepada mereka sebelumnnya (yakni ajaran-ajaran Islam).

Maka ketika mereka telah meninggalkan kota Madinah, ternyata orang yang berpisah dari rombongan utusan Bani Hanifah tersebut (yang ternyata adalah Musailamah) mengaku bahwa dirinya adalah seorang Nabi. Dimana dia berkata bahwa alasan yang mendorongnya untuk mengakui hal tersebut adalah perkataan Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) yang berbunyi: {“Sungguh orang itu bukanlah orang terburuk diantara kalian”}…(yakni yang dipahami oleh Musailamah dari perkataan Nabi ini adalah: orang yang berpisah dari kalian tersebut yang ternyata adalah Musailamah, bukanlah orang terburuk diantara Bani Hanifah lainnya)...”. 

Wallahu A’lam Bish-Shawab.    

Insya Allah kisah mengenai Musailamah akan berlanjut ke artikel selanjutnya.

Was-Salam.      

 

 

 

Thursday, November 25, 2021

“APAKAH KAMU TIDAK RELA UNTUK MENGANGGAP BELIAU SEBAGAI SAHABATMU JUGA?”.

 

Gambar oleh Venrike dari Pixabay.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Kisah mengenai pertemuan antara Khalid dengan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma) juga sekaligus kisah mengenai suku Bani Tamim akan saya selesaikan pada artikel kali ini. Dan sebagai penutup, saya ingin membawakan satu lagi versi dari kisah terbunuhnya Malik bin Nuwairah. Kisah ini akan saya ambil dari buku karangan Ibnul Atsir dan Ibnu Jarir (Rahimahumallah).

Kisahnya sebagaimana berikut…

Ibnu Jarir (Rahimahullah) menyebutkan dalam kitabnya bahwa kisah yang akan beliau bawakan berikut ini adalah kisah yang dibawakan dan diceritakan oleh sahabat Abu Qatadah (Radhiyallahu ‘Anhu).

BACA JUGA:

PERTEMUAN ANTARA KHALID DENGAN ABU BAKAR (RADHIYALLAHU ‘ANHUMA).

AWAL-MULA KEMUNCULAN MUSAILAMAH AL-KADZDZAB (BAG, 1).

Beliau berkata: “Dan diantara orang-orang yang bersaksi dan mengatakan bahwa Malik adalah seorang muslim, (seorang sahabat Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)) Abu Qatadah al-Harits bin Rib’iy saudara suku Bani Salamah (Radhiyallahu ‘Anhu).

Dan konon beliau telah bersaksi dan telah berjanji kepada Allah untuk tidak akan lagi berperang dibawah komando Khalid.

Beliau bercerita bahwa ketika pasukan Islam telah tiba di tengah-tengah kaum tersebut (yakni kaumnya Malik), mereka dibuat kaget dan takut ketika pada suatu malam mereka melihat kaum tersebut mengambil senjata mereka…

Maka kami pun berkata kepada mereka: ‘Kami ini adalah kaum muslimin’.

Mereka pun membalas kami dengan berkata: ‘Kami pun adalah kaum muslimin juga’.

Kami bertanya kepada mereka: ‘Kalau begitu, kenapa kalian menyiagakan senjata kalian?’.

Mereka balik bertanya: ‘Dan kalian sendiri, kenapa kalian membawa senjata?’. (karena pada saat itu hari telah beranjak malam, dan malam hari adalah waktu dimana kedua belah pihak yang sedang konflik mengadakan gencatan senjata untuk istirahat, maka wajar saja mereka menanyakan pertanyaan di atas).

Kami menjawab: ‘Jika kalian sesuai dengan pengakuan kalian (yakni jika kalian benar-benar seorang muslim), maka turunkanlah senjata kalian!’.

Maka mereka pun menaruh senjata mereka, dan kami pun mendirikan sholat setelah itu, kemudian mereka pun ikut mendirikan sholat juga”.

Ibnul Atsir (Rahimahullah) juga membawakan kisah serupa dikitab beliau, akan tetapi dengan versi yang lebih singkat dari yang dibawakan oleh Ibnu Jarir (Rahimahullah) di atas.

Setelah membawakan kisah di atas, Ibnu Jarir (Rahimahullah) melanjutkan kisahnya tersebut dengan membawakan kisah mengenai percakapan antara Khalid dengan Malik.

Beliau berkata: “…Dan dikisahkan pula bahwa diantara alasan yang diberikan oleh Khalid (sebagai bentuk pembelaan diri karena telah membunuh Malik dan sahabat-sahabatnya) adalah bahwa Malik berkata kepadanya pada saat beliau sedang menanyainya.

Malik berkata: ‘Sahabat kalian (yakni Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)) hanya mengatakan begini dan begitu (mengenai aturan zakat dan sedekah)’.

Khalid bertanya kepadanya: ‘Apakah kamu tidak rela untuk menganggap beliau sebagai sahabatmu juga?’.

Kemudian setelah itu beliau (Khalid) pun bangkit dan berjalan menuju Malik, untuk kemudian beliau memenggalnya juga memenggal leher sahabat-sahabatnya.

Dan ketika kabar mengenai hal ini sampai di telinga Umar bin Khaththab (Radhiyallahu ‘Anhu), beliau pun segera membicarakan mengenai hal tersebut di sisi Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu). Dimana diantara perkataannya adalah: ‘Musuh Allah. Dia telah melampaui batas dalam menghukumi seorang muslim, dimana dia membunuhnya. Kemudian tidak cukup sampai disitu, dia juga merampas istri lelaki tersebut!’”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.  

Inilah sedikit kisah yang ingin saya sampaikan pada artikel kali ini, dan Insya Allah pada artikel yang akan datang, saya akan memulai menuliskan kisah mengenai penumpasan gerakan Musailamah al-Kadzdzab.

Was-Salam.

 

 

 

 

Wednesday, November 24, 2021

PERTEMUAN ANTARA KHALID DENGAN ABU BAKAR (RADHIYALLAHU ‘ANHUMA).

 

Gambar oleh danfador dari Pixabay.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Kisah Mutammim bin Nuwairah, seseorang yang berusaha menuntut keadilan bagi darah saudaranya yang tertumpah karena sebuah kesalah pahaman, telah saya kisahkan pada artikel yang lalu. Dan sesuai dengan apa yang saya janjikan di akhir artikel tersebut, maka saya akan mengisahkan pada artikel kali ini mengenai pertemuan yang terjadi antara Khalid bin Walid dan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma). Kisahnya sebagaimana berikut…

Sesudah Khalid menerima surat Abu Bakar dan telah membacanya juga, beliau pun segera berangkat menuju kota Madinah untuk menjawab perintah sang khalifah. Adapun penampilan yang beliau tunjukkan sesampainya beliau di Madinah dan juga ketika beliau memasuki Masjid Nabawi adalah sebagaimana yang dikisahkan oleh masing-masing dari ulama berikut ini…

BACA JUGA:

KISAH MUTAMMIM BIN NUWAIRAH YANG MENUNTUT KEADILAN ATAS TERTUMPAHNYA DARAH SAUDARANYA.

“APAKAH KAMU TIDAK RELA UNTUK MENGANGGAP BELIAU SEBAGAI SAHABATMU JUGA?”.

Ibnu Katsir (Rahimahullah) berkata: “Maka Khalid pun menjawab perintah Abu Bakar dengan segera berangkat menuju kota Madinah sembari memakai baju besinya yang telah berkarat karena banyaknya darah (akibat peperangan) yang terciprat ke baju besi tersebut. Beliau juga memakai imamah (yakni kain penutup kepala atau surban) yang beliau tancapkan padanya anak panah yang berlumuran darah…”.

Adapun Ibnul Atsir dan Ibnu Jarir (Rahimahumallah) maka keduanya mengatakan dalam kitab mereka bahwa pada saat Khalid memasuki Masjid Nabawi, beliau hanya memakai helm perang yang telah berkarat, dimana beliau melapisi helm perang tersebut dengan imamah yang telah tertancapkan padanya beberapa anak panah.

Ibnul Jauziy (Rahimahullah) berkata dalam kitabnya bahwa pada saat Khalid memasuki Masjid Nabawi, beliau memakai baju besinya yang telah berkarat, juga memakai imamahnya yang dimana telah tertancap pada imamah tersebut 3 buah anak panah.

Keempat ulama diatas sepakat bahwa kisah selanjutnya adalah bahwa di saat Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) melihat Khalid, beliau pun langsung menghampiri Khalid lalu melepas secara paksa imamah yang beliau pakai dan langsung mematahkan semua anak panah yang terdapat pada imamah tersebut untuk kemudian beliau berkata kepadanya: “Sungguh celaka!. Engkau telah membunuh seorang muslim kemudian engkau merampas istrinya!. Demi Allah, jikalau saja Allah memberiku kesempatan (dan izin), maka aku pasti akan merajammu! (menghukum seseorang dengan cara melempari kepala orang tersebut dengan kerikil dan bebatuan)”.

Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) sendiri diam ketika Umar membentak sekaligus merampas imamahnya karena beliau mengira bahwa perlakuan ini adalah perintah langsung dari Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) untuk memberinya pelajaran.

Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) tetap berjalan dengan tenang hingga beliau sampai dihadapan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu). Dimana beliau segera menceritakan kisah yang terjadi di malam tersebut ketika pasukannya salah memahami perintahnya kemudian beliau meminta maaf kepada Abu Bakar. Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) pun memaafkannya dan menerima alasannya dan tidak murka akan kesalahannya tersebut. Walaupun Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) tidak murka akan kesalahan yang diperbuat Khalid pada malam tragis tersebut, akan tetapi beliau tetap menegur dengan keras perbuatannya ketika dia menikahi istri Malik di saat hari-hari perang. Hal tersebut agar tidak terjadi fitnah dan keributan di tengah-tengah bangsa arab (mengenai teguran ini, saya ambil kisahnya dari kitab Ibnul Atsir (Rahimahullah)).

Kemudian setelah itu Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) mengizinkan Khalid untuk kembali ke pasukannya dan bersiap untuk menyongsong misi baru, yakni memerangi Musailamah al-Kadzdzab. Beliau juga menambahkan sekaligus mengarahkan orang-orang Muhajirin dan Anshar untuk bersiap menuju negeri Yamamah bersama Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) dan pasukannya. Hal ini saya ambil dari kitab milik Ibnul Jauziy (Rahimahullah).

Ketika Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) telah keluar dari sisi Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu), beliau kembali bertemu dengan Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) dimana beliau memanggil beliau dengan panggilan: “Kemarilah wahai Ibnu Ummi Syamlah”. Panggilan ini sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Jarir (Rahimahumallah). Adapun Ibnul Atsir (Rahimahullah), maka beliau menyebutkan bahwa panggilan tersebut berbunyi: “Kemarilah engkau wahai Ibnu Ummi Salamah”.

Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) sendiri ketika melihat Khalid keluar dari sisi Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) dengan santainya, juga ketika mendengar panggilan yang dilontarkannya kepada dirinya, Umar pun tahu bahwa Abu Bakar telah ridha kepada Khalid dan telah memaafkan kesalahannya, dan tidak ada lagi yang bisa beliau kerjakan di saat sang khalifah sendiri telah memaafkannya. Maka beliau memilih untuk diam dan tidak menanggapi panggilan Khalid tersebut.

Ibnu Katsir (Rahimahullah) berkata dalam kitabnya bahwa keputusan yang diambil oleh Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) diatas ketika beliau memaafkan kesalahan Khalid sesuai dengan keputusan yang dahulu pernah dipilih oleh Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) juga.

Kejadian tersebut terjadi ketika Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) mengutus Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) menuju perkampungan suku Banu Judzaimah (suku Bani Judzaimah sendiri adalah salah satu suku cabang dari suku Bani Kinanah yang menetap di daerah bernama al-Ghumaisha’ yang terletak di bagian bawah kota Makkah di jalur menuju Yalamlam). Dimana pada saat itu Khalid memerintahkan untuk membunuh semua tawanan yang berhasil ditangkap oleh pasukannya, hal tersebut beliau lakukan ketika beliau mendengar para tawanan tersebut berkata: “Shaba’na, Shaba’na” yang berarti: “Kami telah keluar dari agama (lama) kami dan telah menganut agama (baru)”. Adapun alasan kenapa para tawanan tersebut memilih kata-kata “Shaba’na” dan bukan “Aslamna” yang berarti: “Kami telah memeluk Islam” adalah karena mereka tidak fasih dalam mengucapkan kata “Aslamna”.                 

Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) sendiri ketika mendengar kejadian ini, beliau membayar harga diyath semua orang yang terbunuh pada hari itu, dan kemudian beliau berkata: {“Ya Allah, sungguh aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh Khalid”}. Dan walaupun begitu, beliau tidak menghukum Khalid dan tetap menjadikannya sebagai komandan bagi pasukan Islam.

Ibnul Atsir (Rahimahullah) menambahkan di akhir kisah bahwa yang terbunuh di perang ini (yakni ketika memburu Malik atau ketika memerangi suku Bani Tamim) adalah: al-Walid, dan Abu Ubaidah 2 anak lelaki dari seseorang yang bernama ‘Umarah bin al-Walid. Dimana ‘Umarah ini adalah saudara kandung Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu), dan keduanya juga adalah 2 orang sahabat Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam). Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah kisah akan berlanjut ke artikel selanjutnya.

Was-Salam.   


Tuesday, November 23, 2021

KISAH MUTAMMIM BIN NUWAIRAH YANG MENUNTUT KEADILAN ATAS TERTUMPAHNYA DARAH SAUDARANYA.

 

Gambar oleh chriszwettler dari Pixabay.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Pada artikel yang lalu saya telah menjelaskan mengenai kontroversi seputar kematian Malik bin Nuwairah. Dan di akhir artikel saya menjanjikan untuk menjelaskan pada artikel kali ini mengenai kedatangan Khalid di kota Madinah dan apa yang akan terjadi ketika beliau bertemu dengan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma). Akan tetapi sebelum menjelaskan hal tersebut, saya ingin membawakan terlebih dahulu sebuah kisah mengenai saudara Malik yakni Mutammim, sebuah kisah mengenai perjuangannya untuk membela hak-hak saudaranya.

Kisahnya sebagaimana berikut…

BACA JUGA:

KONTROVERSI DI BALIK KEMATIAN MALIK BIN NUWAIRAH.

PERTEMUAN ANTARA KHALID DENGAN ABU BAKAR (RADHIYALLAHU ‘ANHUMA).

Berkata Ibnu Katsir (Rahimahullah): “Dan (tidak lama setelah Abu Qatadah bertemu dengan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma)) datanglah Mutammim bin Nuwairah ke kota Madinah, dimana dia segera menemui Abu Bakar untuk kemudian mengadukan kepada beliau mengenai semua yang dilakukan Khalid terhadap saudaranya.

Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) sendiri memutuskan untuk membantunya dalam mengajak bicara Abu Bakar. Dan akhirnya Abu Bakar pun memutuskan untuk membayar harga diyath Malik kepada saudaranya tersebut…”.

Ibnu Katsir (Rahimahullah) juga menyebutkan beberapa bait syair yang dilantunkan oleh Mutammim mengenai saudaranya, kemudian setelah itu beliau melanjutkan kisahnya dengan berkata: “…Dan dikatakan juga bahwa Mutammim tidak mampu terlelap di waktu malam, dan tidak mampu untuk tidur nyenyak selama setahun penuh akibat kesedihannya yang sangat mendalam selama mengingat saudaranya.

Dia terus menerus menangis karena mengingat saudaranya hingga dia meninggal dalam keadaan buta. Dan bahkan saat matanya telah mulai kehilangan kemampuannya untuk melihatpun, dia tetap menangisi saudaranya hingga membuat matanya yang telah buta tersebut mengalirkan air mata, dan ini adalah tingkat kesedihan yang teramat tinggi.

Mutammim juga melantunkan bait syair berikut dalam rangka mengingat saudaranya:

Sungguh dia telah mencelaku di sisi sebuah kuburan ketika dia melihatku sedang menangis tersedu-sedu di sisi kuburan tersebut…

Temanku, karena aliran air mataku yang teramat deras dan tidak bisa berhenti…

Dia berkata ‘Apakah engkau akan menangisi setiap kuburan yang engkau lihat?’…

Padahal itu hanyalah sebuah kuburan yang terletak diantara bebatuan dan hanyalah sebuah timbunan…

Maka aku mengatakan kepadanya ‘Sungguh kesedihan itu akan membangkitkan kesedihan lainnya…

Maka oleh karenanya tinggalkanlah aku, karena bagiku ini semua (kuburan) adalah kuburan Malik…’”.

Adapun Ibnul Atsir (Rahimahullah), maka beliau mengatakan mengenai Mutammim ini: “Dan kemudian datanglah Mutammim bin Nuwairah menghadap Abu Bakar demi menuntut keadilan bagi darah saudaranya. Dia juga meminta kepada beliau agar beliau mengembalikan seluruh tawanan dari kaumnya kepada dirinya. Maka Abu Bakar pun memerintahkan agar para tawanan yang berasal dari kaum Mutammim (yakni kaumnya Malik juga) dikembalikan ke kampung halamannya, dan beliau juga membayar harga diyath bagi darah Malik yang telah tumpah (karena kesalah pahaman) yang beliau ambil bayarannya dari Baitul Mal (rumah tempat penyimpanan harta milik kaum muslimin yang terdiri dari: harta rampasan perang, sumbangan, bayaran-bayaran zakat dan sedekah, dan lain-lain).

Dan ketika pada suatu hari (saat Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) telah naik menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu)) Mutammim bertemu dengan Umar (Radhiyallahu ‘Anhu), Umar bertanya kepadanya: ‘Bagaimana caramu menghadapi kematian saudaramu?’.

Mutammim menjawab: ‘Aku menangisi kepergiannya selama setahun penuh hingga kedua mataku yang telah rusak bisa membahagiakan kedua mataku yang masih sehat. Dan tidaklah aku melihat sebuah nyala api sedikitpun, kecuali aku akan langsung bersedih karena mengingatnya. Karena dahulu dia senantiasa menyalakan lentera rumahnya hingga datang waktu shubuh, hal tersebut dia lakukan karena dia takut jika suatu waktu ada seorang tamu yang datang kemudian dia tidak mengetahui dimana tamu tersebut duduk’.

Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) kembali bertanya: ‘Sebutkanlah ciri-cirinya kepadaku’.

Mutammim berkata: ‘Dia senang mengendarai kuda yang sulit dikendalikan, dan juga suka menunggangi unta yang gemuk lagi besar badannya. Dan dia senang duduk diantara 2 karung tempat perbekalan yang sangat besar di malam yang sangat dingin, sembari memakai pakaian yang sangat tipis, memanggul sebuah busur yang sangat tegang. Dimana dia menjalani malamnya dengan semua itu, dan ketika fajar terbit, wajahnya nampak seperti sebuah bagian dari bulan’.

Umar kembali berkata kepadanya: ‘Lantunkanlah kepadaku bait syair yang pernah engkau buat untuk mengenangnya’.

Maka Mutammim pun melantunkan bait syair tersebut…”.

Ibnul Atsir (Rahimahullah) melanjutkan: “…Kemudian setelah Mutammim selesai melantunkan bait syairnya, Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) berkata: ‘Jikalau saja aku ahli dalam membuat syair, maka aku pun akan membuatkan bait syair bagi saudaraku Zaid untuk mengenangnya’.

Mutammim berkata: ‘Tidak sama (keadaan saudaraku dengan saudaramu) wahai Amirul Mukminin. Jikalau saja saudaraku terbunuh dengan cara terbunuhnya saudaramu (Zaid saudara Umar (Radhiyallahu ‘Anhuma) terbunuh ketika memerangi Musailamah al-Kadzdzab), maka sungguh aku tidak perlu mengenangnya dan juga tidak perlu menangisi kepergiannya (karena Insya Allah dia akan meninggal sebagai seorang syahid)’.

Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) berkata: ‘Sungguh tidak ada seorangpun yang lebih baik dalam hal menghiburku atas kepergian saudaraku selain dirimu’”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah pada artikel selanjutnya saya akan mengisahkan mengenai pertemuan antara Abu Bakar dengan Khalid (Radhiyallahu ‘Anhuma).

Was-Salam.