Gambar oleh Markus Kammermann dari Pixabay |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Pada artikel yang lalu saya telah
menjelaskan mengenai perpecahan dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah
suku Bani Tamim, dimana saya menutup artikel tersebut dengan menyebutkan
mengenai kedatangan seorang wanita bernama Sajah ke perkampungan suku tersebut.
Lalu siapakah sebenarnya Sajah ini?.....
Ibnu Katsir (Rahimahullah) berkata
mengenai wanita ini: “Maka ketika Bani Tamim tengah sibuk dengan sesamanya,
tiba-tiba muncullah seorang wanita yang bernama Sajah binti al-Harits bin
Suwaid bin ‘Uqfan at-Taghlibiyyah. Dahulunya wanita ini termasuk ke dalam
golongan bangsa arab yang beragama Nashrani, akan tetapi pada akhirnya dia
memutuskan untuk mengaku menjadi seorang Nabi (dan keluar dari agama Nashrani)…”.
BACA JUGA:
KEKACAUAN & PERSELISIHAN MELANDA SUKU
BANI TAMIM.
KEGAGALAN SAJAH DALAM MELANCARKAN AKSINYA.
Ibnu Jarir (Rahimahullah) juga menjelaskan dalam kitabnya mengenai wanita ini, beliau berkata: “Sajah binti al-Harits bin Suwaid bin ‘Uqfan ini berasal dari suku Bani Taghlib. Dan pada saat Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) wafat, dia mengaku bahwa dirinya adalah seorang Nabi di tengah-tengah kaumnya suku Taghlib.
Dan diantara suku yang bersedia
mengikutinya adalah suku al-Hudzail, dan bersamaan dengan pengakuannya
tersebut, dia keluar dari agama asalnya yakni agama Nashrani…”.
Lalu, bagaimanakah kisahnya dengan suku
Bani Tamim?....
Ibnu Katsir (Rahimahullah) melanjutkan
perkataannya: “…Dia datang ke perkampungan suku Bani Tamim bersama serombongan
pasukan yang berasal baik itu dari kaumnya Bani Taghlib, maupun dari suku-suku
lainnya yang mendukung gerakan sesatnya.
Pada saat dia bersama pasukannya tersebut
berangkat dari kampung halaman mereka, mereka telah bertekad untuk memerangi
Abu Bakar ash-Shiddiq (Radhiyallahu ‘Anhu). (dan tentunya memerangi kaum
muslimin juga).
Dan ketika mereka akhirnya sampai di
perkampungan suku Bani Tamim, Sajah pun mengajak anggota suku tersebut untuk ikut
bersamanya (memerangi Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu)).
Ketika mendengar ajakannya tersebut,
sebagian besar anggota suku Bani Tamim menjawab dengan positif dan bersedia
untuk ikut bersamanya. Dan diantara pembesar suku Bani Tamim yang bersedia
untuk ikut bersamanya adalah Malik bin Nuwairah at-Tamimiy, ‘Atharid bin Hajib,
dan sekelompok orang dari pembesar-pembesar Bani Tamim lainnya.
Akan tetapi walaupun begitu, tetap ada
diantara pembesar suku tersebut yang enggan untuk mengikuti ajakan Sajah”.
Ibnu Jarir, Ibnul Jauziy dan Ibnul Atsir (Rahimahumullah)
menyebutkan kisah yang sedikit berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu
Katsir (Rahimahullah) dalam kitabnya. Kisah yang disampaikan oleh ketiganya
kurang lebih berbunyi sebagaimana berikut…
Pada saat Sajah dan pasukannya telah sampai
di perkampungan suku Bani Tamim, dia mengirimkan surat kepada Malik bin
Nuwairah yang berisi ajakan agar dia bersedia untuk ikut bersamanya memerangi
Abu Bakar.
Malik sendiri ketika dia menerima surat Sajah
ini, dia pun mengirimkan balasannya kepada Sajah yang berisi persetujuannya
untuk mengikuti wanita tersebut, dan dia juga menyertakan dalam surat
balasannya tersebut sebuah anjuran agar Sajah tidak terburu-buru dalam
memerangi Abu Bakar, dan hendaknya dia singgah terlebih dahulu dan menetap
barang sejenak di tengah-tengah suku Bani Tamim untuk merundingkan kembali
rencananya.
Ketika Sajah telah selesai membaca surat
balasan tadi, dia berkata: “Baiklah, itu semua terserah kamu. Karena aku ini
hanyalah seorang wanita (biasa) yang berasal dari suku Bani Yarbu’ (salah satu
dari 2 suku yang berada di bawah pimpinan Malik bin Nuwairah dan Waki’ bin
Malik), dan kekuasaan (atas suku tersebut) adalah milikmu”.
Maka setelah Sajah yakin bahwa suku Yarbu’
juga Malik bin Nuwairah telah berada di pihaknya, dia pun kembali mengirimkan
surat kepada suku Malik bin Handzalah (suku ini juga adalah suku yang berada di
bawah pimpinan Malik bin Nuwairah dan Waki’ bin Malik) yang juga berisi ajakan
agar mereka bersedia untuk ikut ke dalam kelompoknya.
Dan karena alasan ketidak sukaan akan apa yang nantinya akan diputuskan oleh Waki’, maka keluarlah
‘Atharid bin Hajib bersama sekelompok pembesar-pembesar suku Bani Malik dari
perkampungan mereka menuju perkampungan suku Bani al-Anbar yang saat itu berada
di bawah pimpinan Saburah bin ‘Amr.
Begitu juga halnya dengan pembesar-pembesar
suku Bani Yarbu’, dimana mereka juga kabur dari perkampungan mereka menuju
perkampungan suku Bani Mazin yang berada di bawah pimpinan seseorang yang
bernama al-Hushain bin Nayyar. Mereka semua keluar dengan alasan yang sama yang
telah mendorong saudara-saudara mereka para pembesar suku Bani Malik untuk
keluar dari kampung halamannya.
Dan ketika akhirnya utusan juga surat Sajah
sampai di tangan Waki’, Waki’ pun setuju untuk ikut bersamanya. Maka dengan ini
terbentuklah persekutuan antara Waki’, Malik, dan Sajah. Dimana mereka berjanji
akan senantiasa saling mendukung satu sama lain, juga sepakat untuk memerangi
orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka…
Setelah itu Ibnu Jarir juga Ibnul Atsir dan
Ibnul Jauziy (Rahimahumullah) menyebutkan perkataan Sajah yang dimana
perkataannya tersebut juga disebutkan oleh Ibnu Katsir (Rahimahullah) di
dalam kitabnya, perkataannya adalah…
Waki’ dan Malik berkata kepada Sajah: “Suku
yang manakah yang akan kita perangi terlebih dahulu?. Suku Khidham, atau suku
Bihadyi, atau suku ‘Auf dan al-Abnaa’, atau suku ar-Rabab?”. Mereka tidak menyebutkan
suku yang dipimpin oleh Qais bin ‘Ashim karena mereka melihat bahwa Qais
sendiri masih ragu-ragu dan belum memiliki pendirian dan keputusan yang pasti
dalam hal ini.
Sajah menjawab: “Persiapkanlah oleh kalian
kendaraan-kendaraan perang, dan bersiaplah kalian untuk berperang, kemudian
seranglah suku ar-Rabab, karena mereka sama sekali tidak memiliki pertahanan”. Wallahu
A’lam Bish-Shawab.
Insya Allah kisah akan berlanjut ke artikel
selanjutnya.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment