Gambar oleh Neil Morrell dari Pixabay |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Ibnu Jarir ath-Thabariy (Rahimahullah)
berkata ketika menjelaskan mengenai kekacauan yang melanda suku Bani Tamim,
beliau berkata: “Maka setelah kejadian tersebut (yakni kejadian yang terjadi
ketika Qais bin ‘Ashim cekcok dengan az-Zabarqan), suku Auf dan al-Abnaa’ pun
berselisih dengan suku al-Buthun. Dan adapun suku ar-Rabab, maka mereka
berselisih dengan suku Maqa’is (dimana sebagaimana yang telah saya sampaikan
pada artikel yang lalu bahwa suku Maqa’is dan al-Buthun sama-sama dipimpin oleh
Qais bin ‘Ashim, dan adapun suku ar-Rabab, Auf, dan al-Abnaa’ sama-sama
dipimpin oleh az-Zabarqan).
Perselisihan antara suku-suku kecil Bani
Tamim tidak hanya terjadi pada suku-suku yang telah disebutkan di atas, akan
tetapi juga merambah kepada suku-suku kecil lain, dimana suku Khidham
berselisih dengan suku Malik, dan suku Bihadyi berselisih dengan suku Yarbu’.
BACA JUGA:
KISAH SAJAH BINTI AL-HARITS DENGAN SUKU BANI TAMIM.
Dan pada saat perselisihan antar suku ini terjadi, suku Khidham berada di bawah komando Saburah bin ‘Amr. Dimana orang inilah yang menjadi pengganti Shafwan ketika Shafwan sedang pergi menuju kota Madinah dalam rangka menyerahkan harta zakat kepada Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu).
Adapun suku Bihadyi dan ar-Rabab (yang
sama-sama ditinggal oleh pemimpinnya yakni Shafwan dan juga az-Zabarqan, yang
dimana keduanya sebagaimana yang telah saya sebutkan pada artikel yang lalu
berangkat bersama-sama menuju kota Madinah demi menghadap kepada Abu Bakar),
keduanya (pada saat kekacauan melanda suku Bani Tamim) berada di bawah komando
al-Hushain bin Nayyar.
(dan ada lagi suku-suku kecil lainnya yang
tidak disebutkan pada artikel yang lalu, dimana suku-suku tersebut adalah…) Suku
Dhibbah yang pada saat kekacauan terjadi berada di bawah komando seseorang yang
bernama Abdullah bin Shafwan. Dan adapun suku Abdu Manat, maka mereka berada di
bawah pimpinan seseorang yang bernama ‘Ishmah bin Abyar.
Dan adapun suku Auf dan al-Abnaa’, maka
mereka berada di bawah komando seseorang yang bernama Auf bin al-Bilad bin
Khalid yang berasal dari suku Bani Ghanam al-Jamsyiy (sebagai pengganti bagi
az-Zabarqan).
Adapun suku al-Buthun, mereka saat itu
berada di bawah pimpinan seseorang yang bernama Si’r bin Khafaf (karena
sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Qais bin Ashim keluar bersama al-Ala’
setelah dirinya bertemu dengan al-Ala’ dan menyerahkan harta zakat milik suku
Maqa’is dan al-Buthun).
(dan setelah semuanya, maka orang yang
terkena dampak paling besar dari perselisihan dan kekacauan yang terjadi di
tengah-tengah suku Bani Tamim ini adalah seseorang yang bernama Tsumamah bin
Utsal al-Hanafiy. Dia adalah salah satu komandan yang tengah memerangi sang
Nabi palsu Musailamah al-Kadzdzab).
Dahulu Tsumamah bin Utsal adalah seorang
komandan yang selalu mendapatkan bantuan yang berbentuk tambahan personil
pasukan yang datangnya dari suku Bani Tamim. Maka ketika kekacauan melanda suku
tersebut, dimana kekacauan ini memaksa para anggota suku Bani Tamim untuk
saling berselisih dan kembali kepada keluarga besar atau suku kecil masing-masing
(dan tidak lagi bersatu di bawah nama besar suku Bani Tamim), maka hal tersebut
tentu saja menjadi sebuah bencana bagi Tsumamah dan pasukannya, dimana hal
tersebut terus berlangsung hingga akhirnya dia mendapatkan bantuan dari Ikrimah
dan pasukannya yang datang untuk mendukungnya dan menegakkan kembali
punggungnya.
Dan ketika anggota suku Bani Tamim tengah
saling berselisih dan hanya sibuk mengurusi sesamanya, dimana suku-suku kecil
yang tetap berpegang teguh dengan keislamannya (seperti suku-suku yang berada
di bawah pimpinan Shafwan bin Shafwan dan juga Saburah, dan juga suku-suku yang
berada di bawah pimpinan az-Zabarqan) berdiri berdampingan dengan suku-suku
yang masih ragu-ragu dan bimbang (seperti suku-suku yang dipimpin oleh Qais bin
‘Ashim), juga suku-suku yang memang sejak awal telah memutuskan untuk murtad (seperti
suku-suku yang dipimpin oleh Waki’ bin Malik dan Malik bin Nuwairah). (yang
tentunya walaupun berdiri sama tinggi dan duduk sama rata, akan tetapi karena
kepercayaannya pun telah berbeda, maka ketiga kelompok tersebut tidak akan bisa
lagi bersatu di bawah satu nama sebagaimana dahulunya).
Ketika kekacauan ini tengah melanda dengan dahsyatnya,
tiba-tiba muncullah seorang wanita bernama Sajah binti al-Harits yang tengah
berjalan menuju perkampungan suku Bani Tamim yang sedang kacau balau tersebut.
Wanita ini bersama keluarganya yang berasal
dari suku Bani Taghlib datang sembari membawa beberapa anggota dari suku-suku kecil
yang menjadi cabang dari suku Rabi’ah. (suku-suku kecil atau suku-suku cabang
tersebut adalah…)
1). Suku Bani Taghlib sendiri yang dikomandoi
oleh seseorang yang bernama al-Hudzail bin Imran.
2). Suku an-Namir yang dikomandoi oleh
seseorang yang bernama Iqqah bin Hilal.
3). Suku Iyad yang dikomandoi oleh
seseorang yang bernama Tad bin Fulan.
4). Suku Syaiban yang dikomandoi oleh
seseorang yang bernama as-Salil bin Qais.
Maka tentu saja dengan kedatangan Sajah
beserta pasukannya ini ke perkampungan suku Bani Tamim, suku Bani Tamim pun
mendapatkan masalah yang teramat besar lagi berat, mengingat bahwa kedatangan
Sajah ini bertepatan dengan dilandanya suku tersebut oleh kekacauan dan
perselisihan (maka tidak membutuhkan waktu lama bagi Sajah untuk menguasai dan
mengendalikan suku tersebut)…”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Insya Allah kisah akan berlanjut ke artikel
selanjutnya.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment