Gambar oleh danfador dari Pixabay. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Kisah Mutammim bin Nuwairah, seseorang yang
berusaha menuntut keadilan bagi darah saudaranya yang tertumpah karena sebuah
kesalah pahaman, telah saya kisahkan pada artikel yang lalu. Dan sesuai dengan
apa yang saya janjikan di akhir artikel tersebut, maka saya akan mengisahkan
pada artikel kali ini mengenai pertemuan yang terjadi antara Khalid bin Walid
dan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma). Kisahnya sebagaimana berikut…
Sesudah Khalid menerima surat Abu Bakar dan
telah membacanya juga, beliau pun segera berangkat menuju kota Madinah untuk
menjawab perintah sang khalifah. Adapun penampilan yang beliau tunjukkan
sesampainya beliau di Madinah dan juga ketika beliau memasuki Masjid Nabawi
adalah sebagaimana yang dikisahkan oleh masing-masing dari ulama berikut ini…
BACA JUGA:
KISAH MUTAMMIM BIN NUWAIRAH YANG MENUNTUT KEADILAN ATAS TERTUMPAHNYA DARAH SAUDARANYA.
“APAKAH KAMU TIDAK RELA UNTUK MENGANGGAP BELIAU SEBAGAI SAHABATMU JUGA?”.
Ibnu Katsir (Rahimahullah) berkata: “Maka Khalid pun menjawab perintah Abu Bakar dengan segera berangkat menuju kota Madinah sembari memakai baju besinya yang telah berkarat karena banyaknya darah (akibat peperangan) yang terciprat ke baju besi tersebut. Beliau juga memakai imamah (yakni kain penutup kepala atau surban) yang beliau tancapkan padanya anak panah yang berlumuran darah…”.
Adapun Ibnul Atsir dan Ibnu Jarir (Rahimahumallah)
maka keduanya mengatakan dalam kitab mereka bahwa pada saat Khalid memasuki
Masjid Nabawi, beliau hanya memakai helm perang yang telah berkarat, dimana beliau
melapisi helm perang tersebut dengan imamah yang telah tertancapkan padanya
beberapa anak panah.
Ibnul Jauziy (Rahimahullah) berkata
dalam kitabnya bahwa pada saat Khalid memasuki Masjid Nabawi, beliau memakai
baju besinya yang telah berkarat, juga memakai imamahnya yang dimana telah
tertancap pada imamah tersebut 3 buah anak panah.
Keempat ulama diatas sepakat bahwa kisah selanjutnya adalah bahwa di saat Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) melihat
Khalid, beliau pun langsung menghampiri Khalid lalu melepas secara paksa imamah
yang beliau pakai dan langsung mematahkan semua anak panah yang terdapat pada
imamah tersebut untuk kemudian beliau berkata kepadanya: “Sungguh celaka!. Engkau
telah membunuh seorang muslim kemudian engkau merampas istrinya!. Demi Allah,
jikalau saja Allah memberiku kesempatan (dan izin), maka aku pasti akan
merajammu! (menghukum seseorang dengan cara melempari kepala orang tersebut
dengan kerikil dan bebatuan)”.
Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) sendiri
diam ketika Umar membentak sekaligus merampas imamahnya karena beliau mengira
bahwa perlakuan ini adalah perintah langsung dari Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu)
untuk memberinya pelajaran.
Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) tetap
berjalan dengan tenang hingga beliau sampai dihadapan Abu Bakar (Radhiyallahu
‘Anhu). Dimana beliau segera menceritakan kisah yang terjadi di malam tersebut
ketika pasukannya salah memahami perintahnya kemudian beliau meminta maaf
kepada Abu Bakar. Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) pun memaafkannya dan
menerima alasannya dan tidak murka akan kesalahannya tersebut. Walaupun Abu Bakar
(Radhiyallahu ‘Anhu) tidak murka akan kesalahan yang diperbuat Khalid
pada malam tragis tersebut, akan tetapi beliau tetap menegur dengan keras
perbuatannya ketika dia menikahi istri Malik di saat hari-hari perang. Hal tersebut
agar tidak terjadi fitnah dan keributan di tengah-tengah bangsa arab (mengenai
teguran ini, saya ambil kisahnya dari kitab Ibnul Atsir (Rahimahullah)).
Kemudian setelah itu Abu Bakar (Radhiyallahu
‘Anhu) mengizinkan Khalid untuk kembali ke pasukannya dan bersiap untuk
menyongsong misi baru, yakni memerangi Musailamah al-Kadzdzab. Beliau juga
menambahkan sekaligus mengarahkan orang-orang Muhajirin dan Anshar untuk
bersiap menuju negeri Yamamah bersama Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) dan
pasukannya. Hal ini saya ambil dari kitab milik Ibnul Jauziy (Rahimahullah).
Ketika Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) telah
keluar dari sisi Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu), beliau kembali bertemu
dengan Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) dimana beliau memanggil beliau dengan
panggilan: “Kemarilah wahai Ibnu Ummi Syamlah”. Panggilan ini sebagaimana yang
ditulis oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Jarir (Rahimahumallah). Adapun Ibnul
Atsir (Rahimahullah), maka beliau menyebutkan bahwa panggilan tersebut
berbunyi: “Kemarilah engkau wahai Ibnu Ummi Salamah”.
Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) sendiri
ketika melihat Khalid keluar dari sisi Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu)
dengan santainya, juga ketika mendengar panggilan yang dilontarkannya kepada
dirinya, Umar pun tahu bahwa Abu Bakar telah ridha kepada Khalid dan telah
memaafkan kesalahannya, dan tidak ada lagi yang bisa beliau kerjakan di saat sang
khalifah sendiri telah memaafkannya. Maka beliau memilih untuk diam dan tidak
menanggapi panggilan Khalid tersebut.
Ibnu Katsir (Rahimahullah) berkata
dalam kitabnya bahwa keputusan yang diambil oleh Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu)
diatas ketika beliau memaafkan kesalahan Khalid sesuai dengan keputusan yang
dahulu pernah dipilih oleh Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)
juga.
Kejadian tersebut terjadi ketika Nabi (Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam) mengutus Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) menuju
perkampungan suku Banu Judzaimah (suku Bani Judzaimah sendiri adalah salah satu
suku cabang dari suku Bani Kinanah yang menetap di daerah bernama al-Ghumaisha’
yang terletak di bagian bawah kota Makkah di jalur menuju Yalamlam). Dimana pada
saat itu Khalid memerintahkan untuk membunuh semua tawanan yang berhasil
ditangkap oleh pasukannya, hal tersebut beliau lakukan ketika beliau mendengar
para tawanan tersebut berkata: “Shaba’na, Shaba’na” yang berarti: “Kami telah
keluar dari agama (lama) kami dan telah menganut agama (baru)”. Adapun alasan
kenapa para tawanan tersebut memilih kata-kata “Shaba’na” dan bukan “Aslamna”
yang berarti: “Kami telah memeluk Islam” adalah karena mereka tidak fasih dalam
mengucapkan kata “Aslamna”.
Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)
sendiri ketika mendengar kejadian ini, beliau membayar harga diyath semua orang
yang terbunuh pada hari itu, dan kemudian beliau berkata: {“Ya Allah, sungguh
aku berlepas diri dari apa yang diperbuat oleh Khalid”}. Dan walaupun begitu,
beliau tidak menghukum Khalid dan tetap menjadikannya sebagai komandan bagi
pasukan Islam.
Ibnul Atsir (Rahimahullah)
menambahkan di akhir kisah bahwa yang terbunuh di perang ini (yakni ketika
memburu Malik atau ketika memerangi suku Bani Tamim) adalah: al-Walid, dan Abu Ubaidah 2 anak lelaki dari seseorang
yang bernama ‘Umarah bin al-Walid. Dimana ‘Umarah ini adalah saudara kandung
Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu), dan keduanya juga adalah 2 orang sahabat
Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam). Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Insya Allah kisah akan berlanjut ke artikel
selanjutnya.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment