Gambar oleh Khoado11 dari Pixabay. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Pada artikel yang lalu saya telah menulis
mengenai kisah terbunuhnya Malik bin Nuwairah. Dan Insya Allah pada artikel
kali ini saya akan menuliskan kejadian-kejadian yang terjadi setelah
terbunuhnya orang tersebut.
Ibnu Katsir (Rahimahullah) berkata
ketika selesai menceritakan kisah dimana Khalid menanyai Malik perihal
pendapatnya mengenai sholat dan zakat (kisah mengenai hal ini telah saya
tuliskan pada artikel yang lalu), beliau berkata: “…(ketika Dhirar telah
memenggal kepala Malik) Khalid memerintahkan agar batok kepala Malik dibawa ke
hadapannya untuk kemudian beliau menaruh batok kepala tersebut bersama 2 buah
batu, dan kemudian beliau menaruh diatas ketiganya sebuah panci yang berisi
makanan, kemudian beliau menyalakan api diantara kepala Malik dan kedua buah
batu di atas untuk dipakai memasak makanan yang ada di dalam panci tersebut. Hal
ini beliau lakukan untuk membuat gentar semua orang-orang arab badui, baik itu
mereka yang murtad maupun yang membangkang kepada khalifah kaum muslimin.
Dikatakan juga bahwa rambut yang terdapat
di batok kepala Maliklah yang telah berperan besar dalam menyalakan api masakan
Khalid, bahkan setelah daging atau masakan yang terdapat diatas panci milik
Khalid telah matang, rambut milik Malik tersebut belumlah habis karena saking
lebatnya rambut orang tersebut…”.
BACA JUGA:
KISAH TERBUNUHNYA MALIK BIN NUWAIRAH.
KISAH MUTAMMIM BIN NUWAIRAH YANG MENUNTUT KEADILAN ATAS TERTUMPAHNYA DARAH SAUDARANYA.
Adapun mengenai kejadian yang terjadi setelah peristiwa dimana pasukan Khalid membantai Malik dan sahabat-sahabatnya karena salah memahami perintah ajudan Khalid yang berkata: “Hangatkanlah tawanan kalian!”, yakni versi pertama dari kisah terbunuhnya Malik bin Nuwairah. Maka kisahnya adalah sebagaimana berikut…
(kisah dibawah adalah kisah gabungan yang
saya ambil dari kitab milik Ibnu Katsir, Ibnul Atsir, Ibnu Jarir, dan Ibnul
Jauziy (Rahimahumullah)).
Ketika Abu Qatadah (Radhiyallahu ‘Anhu)
melihat pasukan Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) telah membantai Malik dan
sahabat-sahabatnya yang dimana mengenai nasib mereka belumlah diputuskan apakah
mereka dianggap muslim atau tidak?. Karena sebagaimana yang telah kita ketahui
mengenai keislaman mereka, keislaman mereka masih terdapat perselisihan di
dalamnya antara para sahabat bersama orang-orang arab badui. Dimana Abu Qatadah
bersama orang-orang yang sepakat dengan beliau berpendapat bahwa Malik dan
sahabat-sahabatnya adalah muslim karena mereka telah mengumandangkan adzan juga
telah mendirikan sholat. Adapun orang-orang arab badui, mereka berpendapat
lain.
Maka tentu saja dengan keadaan yang belum
jelas seperti ini, maka tindakan terburu-buru sebagaimana yang dilakukan oleh
pasukan Khalid (walaupun hal tersebut adalah kesalah pahaman) telah membuat Abu
Qatadah (Radhiyallahu ‘Anhu) naik pitam. Karena yang ingin dihindari
oleh beliau hanyalah membunuh jiwa seorang muslim tanpa alasan yang benar, yang
bahkan Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) telah melarang hal tersebut,
dan bagi beliau Malik dan sahabat-sahabatnya adalah seorang muslim. Maka oleh
karenanyalah beliau menegur Khalid atas perbuatan pasukannya tersebut.
Abu Qatadah menegurnya sekaligus
melarangnya dan juga memberikan argumen-argumennya kepada Khalid, akan tetapi
sayangnya Khalid tidak menanggapi dengan baik teguran dari Abu Qatadah tadi,
bahkan beliau sampai berdebat dengan Abu Qatadah mengenai masalah tersebut.
Kekeras kepalaan Khalid ini tentunya
membuat Abu Qatadah kecewa hingga beliau memutuskan untuk pergi menuju Madinah
menghadap langsung kepada khalifah kaum muslimin yakni Abu Bakar (Radhiyallahu
‘Anhum).
Sesampainya beliau dihadapan Abu Bakar,
beliau berkata kepadanya: “Sungguh Khalid telah meninggalkan pendapatku
sekaligus saran serta argumen-argumenku, dan dia lebih memilih untuk mengikuti
perkataan orang-orang arab badui yang telah terfitnah dengan harta rampasan
perang yang sangat banyak”. Selain mengatakan hal tersebut, beliau juga
bersumpah untuk tidak akan lagi berperang dibawah bendera yang dikomandoi oleh
Khalid (Radhiyallahu ‘Anhum).
Akan tetapi ternyata respon yang diberikan
oleh Abu Bakar terhadap pengaduannya tersebut benar-benar diluar perkiraan,
karena Abu Bakar memarahinya atas pengaduannya tersebut. Dan karena merasa
kecewa beliau pun akhirnya pergi dari hadapan Abu Bakar, dan ternyata setelah
beliau pergi dari hadapan Abu Bakar, beliau bertemu dengan Umar bin Khaththab,
dimana keduanya terlibat dalam percakapan hebat mengenai apa yang diperbuat
Khalid terhadap Malik dan sahabat-sahabatnya.
Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) segera
naik pitam ketika mendengar cerita Abu Qatadah, dimana beliau segera pergi ke
hadapan Abu Bakar untuk kemudian berkata kepadanya: “Sungguh di pedang Khalid
itu terdapat kelemahan (terhadap bau darah dan tidak bisa menahan nafsunya akan
darah tersebut). Jika memang kabar mengenai dirinya tersebut adalah benar, maka
sungguh engkau harus benar-benar mampu untuk mengendalikannya!”.
Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu)
sendiri diam dan tidak menanggapi perkataan Umar di atas, akan tetapi karena
Umar terus menerus bicara mengenai Khalid, maka beliau pun angkat bicara
mengenai masalah ini, beliau berkata kepada Umar: “Diamlah engkau wahai Umar!.
Sungguh yang diperbuatnya tersebut hanyalah sebuah ijtihad (pendapat dan
keputusan seorang pemimpin setelah menimbang-menimbang seluruh manfaat juga
bahaya dari sebuah keputusan), akan tetapi ternyata ijtihadnya tersebut kali
ini adalah sebuah kesalahan (dan Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)
sendiri pernah mengatakan dalam sebuah hadits bahwa jika seorang pemimpin
berbuat salah ketika berijtihad, maka dia akan diberi satu pahala). Maka oleh
karenanya, tahanlah mulutmu dari mencela Khalid (karena ijtihad salahnya
tersebut). Dan sungguh aku sendiri tidak akan mencela sebuah pedang yang telah
Allah hunus atas orang-orang kafir!”.
Setelah itu ternyata saudara Malik yang
bernama Mutammim bin Nuwairah juga datang menghadap Abu Bakar demi mengadukan
perbuatan Khalid terhadap saudaranya. Maka Abu Bakar pun memutuskan untuk
mengirim surat kepada Khalid yang berisi perintah agar dia segera pulang menuju
Madinah dan mengahadap kepada dirinya demi memperjelas mengenai apa yang
sebenarnya terjadi di daerah al-Buthah.
Khalid sendiri ketika Abu Qatadah berangkat
meninggalkannya menuju Madinah, beliau melamar istri Malik yang bernama Ummu
Tamim ibnatu al-Minhal untuk kemudian menikahi wanita tersebut. Dan setelah
menikahinya, Khalid meninggalkannya seorang diri untuk menyelesaikan masa
iddahnya. Dan setelah masa iddah tersebut selesai, barulah Khalid tinggal
bersamanya. Bangsa arab secara umum pada waktu itu sangat membenci acara
pernikahan yang di selenggarakan pada saat peperangan sedang memanas, dan
nantinya Abu Bakar akan menegur Khalid mengenai pernikahan ini.
Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) juga
berusaha untuk menyelesaikan masalah Malik bin Nuwairah ini di Madinah dengan
cara membayar bayaran darah (diyath) Malik kepada keluarganya. Dan kemudian
setelah masalah tersebut selesai, barulah beliau menunggu kedatangan Khalid (Radhiyallahu
‘Anhuma).
Kisah mengenai kedatangan Khalid di Madinah
Insya Allah akan saya kisahkan pada artikel selanjutnya. Wallahu A’lam
Bish-Shawab.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment