Sunday, November 21, 2021

KONTROVERSI DI BALIK KEMATIAN MALIK BIN NUWAIRAH.

 

Gambar oleh Khoado11 dari Pixabay.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Pada artikel yang lalu saya telah menulis mengenai kisah terbunuhnya Malik bin Nuwairah. Dan Insya Allah pada artikel kali ini saya akan menuliskan kejadian-kejadian yang terjadi setelah terbunuhnya orang tersebut.

Ibnu Katsir (Rahimahullah) berkata ketika selesai menceritakan kisah dimana Khalid menanyai Malik perihal pendapatnya mengenai sholat dan zakat (kisah mengenai hal ini telah saya tuliskan pada artikel yang lalu), beliau berkata: “…(ketika Dhirar telah memenggal kepala Malik) Khalid memerintahkan agar batok kepala Malik dibawa ke hadapannya untuk kemudian beliau menaruh batok kepala tersebut bersama 2 buah batu, dan kemudian beliau menaruh diatas ketiganya sebuah panci yang berisi makanan, kemudian beliau menyalakan api diantara kepala Malik dan kedua buah batu di atas untuk dipakai memasak makanan yang ada di dalam panci tersebut. Hal ini beliau lakukan untuk membuat gentar semua orang-orang arab badui, baik itu mereka yang murtad maupun yang membangkang kepada khalifah kaum muslimin.

Dikatakan juga bahwa rambut yang terdapat di batok kepala Maliklah yang telah berperan besar dalam menyalakan api masakan Khalid, bahkan setelah daging atau masakan yang terdapat diatas panci milik Khalid telah matang, rambut milik Malik tersebut belumlah habis karena saking lebatnya rambut orang tersebut…”.

BACA JUGA:

KISAH TERBUNUHNYA MALIK BIN NUWAIRAH.

KISAH MUTAMMIM BIN NUWAIRAH YANG MENUNTUT KEADILAN ATAS TERTUMPAHNYA DARAH SAUDARANYA.

Adapun mengenai kejadian yang terjadi setelah peristiwa dimana pasukan Khalid membantai Malik dan sahabat-sahabatnya karena salah memahami perintah ajudan Khalid yang berkata: “Hangatkanlah tawanan kalian!”, yakni versi pertama dari kisah terbunuhnya Malik bin Nuwairah. Maka kisahnya adalah sebagaimana berikut…

(kisah dibawah adalah kisah gabungan yang saya ambil dari kitab milik Ibnu Katsir, Ibnul Atsir, Ibnu Jarir, dan Ibnul Jauziy (Rahimahumullah)).

Ketika Abu Qatadah (Radhiyallahu ‘Anhu) melihat pasukan Khalid (Radhiyallahu ‘Anhu) telah membantai Malik dan sahabat-sahabatnya yang dimana mengenai nasib mereka belumlah diputuskan apakah mereka dianggap muslim atau tidak?. Karena sebagaimana yang telah kita ketahui mengenai keislaman mereka, keislaman mereka masih terdapat perselisihan di dalamnya antara para sahabat bersama orang-orang arab badui. Dimana Abu Qatadah bersama orang-orang yang sepakat dengan beliau berpendapat bahwa Malik dan sahabat-sahabatnya adalah muslim karena mereka telah mengumandangkan adzan juga telah mendirikan sholat. Adapun orang-orang arab badui, mereka berpendapat lain.

Maka tentu saja dengan keadaan yang belum jelas seperti ini, maka tindakan terburu-buru sebagaimana yang dilakukan oleh pasukan Khalid (walaupun hal tersebut adalah kesalah pahaman) telah membuat Abu Qatadah (Radhiyallahu ‘Anhu) naik pitam. Karena yang ingin dihindari oleh beliau hanyalah membunuh jiwa seorang muslim tanpa alasan yang benar, yang bahkan Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) telah melarang hal tersebut, dan bagi beliau Malik dan sahabat-sahabatnya adalah seorang muslim. Maka oleh karenanyalah beliau menegur Khalid atas perbuatan pasukannya tersebut.

Abu Qatadah menegurnya sekaligus melarangnya dan juga memberikan argumen-argumennya kepada Khalid, akan tetapi sayangnya Khalid tidak menanggapi dengan baik teguran dari Abu Qatadah tadi, bahkan beliau sampai berdebat dengan Abu Qatadah mengenai masalah tersebut.

Kekeras kepalaan Khalid ini tentunya membuat Abu Qatadah kecewa hingga beliau memutuskan untuk pergi menuju Madinah menghadap langsung kepada khalifah kaum muslimin yakni Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhum).

Sesampainya beliau dihadapan Abu Bakar, beliau berkata kepadanya: “Sungguh Khalid telah meninggalkan pendapatku sekaligus saran serta argumen-argumenku, dan dia lebih memilih untuk mengikuti perkataan orang-orang arab badui yang telah terfitnah dengan harta rampasan perang yang sangat banyak”. Selain mengatakan hal tersebut, beliau juga bersumpah untuk tidak akan lagi berperang dibawah bendera yang dikomandoi oleh Khalid (Radhiyallahu ‘Anhum).

Akan tetapi ternyata respon yang diberikan oleh Abu Bakar terhadap pengaduannya tersebut benar-benar diluar perkiraan, karena Abu Bakar memarahinya atas pengaduannya tersebut. Dan karena merasa kecewa beliau pun akhirnya pergi dari hadapan Abu Bakar, dan ternyata setelah beliau pergi dari hadapan Abu Bakar, beliau bertemu dengan Umar bin Khaththab, dimana keduanya terlibat dalam percakapan hebat mengenai apa yang diperbuat Khalid terhadap Malik dan sahabat-sahabatnya.

Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) segera naik pitam ketika mendengar cerita Abu Qatadah, dimana beliau segera pergi ke hadapan Abu Bakar untuk kemudian berkata kepadanya: “Sungguh di pedang Khalid itu terdapat kelemahan (terhadap bau darah dan tidak bisa menahan nafsunya akan darah tersebut). Jika memang kabar mengenai dirinya tersebut adalah benar, maka sungguh engkau harus benar-benar mampu untuk mengendalikannya!”.

Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) sendiri diam dan tidak menanggapi perkataan Umar di atas, akan tetapi karena Umar terus menerus bicara mengenai Khalid, maka beliau pun angkat bicara mengenai masalah ini, beliau berkata kepada Umar: “Diamlah engkau wahai Umar!. Sungguh yang diperbuatnya tersebut hanyalah sebuah ijtihad (pendapat dan keputusan seorang pemimpin setelah menimbang-menimbang seluruh manfaat juga bahaya dari sebuah keputusan), akan tetapi ternyata ijtihadnya tersebut kali ini adalah sebuah kesalahan (dan Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) sendiri pernah mengatakan dalam sebuah hadits bahwa jika seorang pemimpin berbuat salah ketika berijtihad, maka dia akan diberi satu pahala). Maka oleh karenanya, tahanlah mulutmu dari mencela Khalid (karena ijtihad salahnya tersebut). Dan sungguh aku sendiri tidak akan mencela sebuah pedang yang telah Allah hunus atas orang-orang kafir!”.

Setelah itu ternyata saudara Malik yang bernama Mutammim bin Nuwairah juga datang menghadap Abu Bakar demi mengadukan perbuatan Khalid terhadap saudaranya. Maka Abu Bakar pun memutuskan untuk mengirim surat kepada Khalid yang berisi perintah agar dia segera pulang menuju Madinah dan mengahadap kepada dirinya demi memperjelas mengenai apa yang sebenarnya terjadi di daerah al-Buthah.

Khalid sendiri ketika Abu Qatadah berangkat meninggalkannya menuju Madinah, beliau melamar istri Malik yang bernama Ummu Tamim ibnatu al-Minhal untuk kemudian menikahi wanita tersebut. Dan setelah menikahinya, Khalid meninggalkannya seorang diri untuk menyelesaikan masa iddahnya. Dan setelah masa iddah tersebut selesai, barulah Khalid tinggal bersamanya. Bangsa arab secara umum pada waktu itu sangat membenci acara pernikahan yang di selenggarakan pada saat peperangan sedang memanas, dan nantinya Abu Bakar akan menegur Khalid mengenai pernikahan ini.

Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu) juga berusaha untuk menyelesaikan masalah Malik bin Nuwairah ini di Madinah dengan cara membayar bayaran darah (diyath) Malik kepada keluarganya. Dan kemudian setelah masalah tersebut selesai, barulah beliau menunggu kedatangan Khalid (Radhiyallahu ‘Anhuma).

Kisah mengenai kedatangan Khalid di Madinah Insya Allah akan saya kisahkan pada artikel selanjutnya. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Was-Salam. 

 

   

 

 

 

 

 

0 comments:

Post a Comment