Gambar oleh chriszwettler dari Pixabay. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Pada artikel yang lalu saya telah
menjelaskan mengenai kontroversi seputar kematian Malik bin Nuwairah. Dan di akhir
artikel saya menjanjikan untuk menjelaskan pada artikel kali ini mengenai
kedatangan Khalid di kota Madinah dan apa yang akan terjadi ketika beliau
bertemu dengan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma). Akan tetapi sebelum
menjelaskan hal tersebut, saya ingin membawakan terlebih dahulu sebuah kisah
mengenai saudara Malik yakni Mutammim, sebuah kisah mengenai perjuangannya
untuk membela hak-hak saudaranya.
Kisahnya sebagaimana berikut…
BACA JUGA:
KONTROVERSI DI BALIK KEMATIAN MALIK BIN NUWAIRAH.
PERTEMUAN ANTARA KHALID DENGAN ABU BAKAR (RADHIYALLAHU ‘ANHUMA).
Berkata Ibnu Katsir (Rahimahullah): “Dan (tidak lama setelah Abu Qatadah bertemu dengan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma)) datanglah Mutammim bin Nuwairah ke kota Madinah, dimana dia segera menemui Abu Bakar untuk kemudian mengadukan kepada beliau mengenai semua yang dilakukan Khalid terhadap saudaranya.
Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) sendiri
memutuskan untuk membantunya dalam mengajak bicara Abu Bakar. Dan akhirnya Abu
Bakar pun memutuskan untuk membayar harga diyath Malik kepada saudaranya
tersebut…”.
Ibnu Katsir (Rahimahullah) juga
menyebutkan beberapa bait syair yang dilantunkan oleh Mutammim mengenai
saudaranya, kemudian setelah itu beliau melanjutkan kisahnya dengan berkata: “…Dan
dikatakan juga bahwa Mutammim tidak mampu terlelap di waktu malam, dan tidak
mampu untuk tidur nyenyak selama setahun penuh akibat kesedihannya yang sangat
mendalam selama mengingat saudaranya.
Dia terus menerus menangis karena mengingat
saudaranya hingga dia meninggal dalam keadaan buta. Dan bahkan saat matanya
telah mulai kehilangan kemampuannya untuk melihatpun, dia tetap menangisi
saudaranya hingga membuat matanya yang telah buta tersebut mengalirkan air
mata, dan ini adalah tingkat kesedihan yang teramat tinggi.
Mutammim juga melantunkan bait syair
berikut dalam rangka mengingat saudaranya:
‘Sungguh dia telah mencelaku di sisi sebuah
kuburan ketika dia melihatku sedang menangis tersedu-sedu di sisi kuburan
tersebut…
Temanku, karena aliran air mataku yang
teramat deras dan tidak bisa berhenti…
Dia berkata ‘Apakah engkau akan menangisi
setiap kuburan yang engkau lihat?’…
Padahal itu hanyalah sebuah kuburan yang
terletak diantara bebatuan dan hanyalah sebuah timbunan…
Maka aku mengatakan kepadanya ‘Sungguh
kesedihan itu akan membangkitkan kesedihan lainnya…
Maka oleh karenanya tinggalkanlah aku,
karena bagiku ini semua (kuburan) adalah kuburan Malik…’”.
Adapun Ibnul Atsir (Rahimahullah),
maka beliau mengatakan mengenai Mutammim ini: “Dan kemudian datanglah Mutammim
bin Nuwairah menghadap Abu Bakar demi menuntut keadilan bagi darah saudaranya. Dia
juga meminta kepada beliau agar beliau mengembalikan seluruh tawanan dari
kaumnya kepada dirinya. Maka Abu Bakar pun memerintahkan agar para tawanan yang
berasal dari kaum Mutammim (yakni kaumnya Malik juga) dikembalikan ke kampung
halamannya, dan beliau juga membayar harga diyath bagi darah Malik yang telah
tumpah (karena kesalah pahaman) yang beliau ambil bayarannya dari Baitul Mal
(rumah tempat penyimpanan harta milik kaum muslimin yang terdiri dari: harta
rampasan perang, sumbangan, bayaran-bayaran zakat dan sedekah, dan lain-lain).
Dan ketika pada suatu hari (saat Umar (Radhiyallahu
‘Anhu) telah naik menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu))
Mutammim bertemu dengan Umar (Radhiyallahu ‘Anhu), Umar bertanya
kepadanya: ‘Bagaimana caramu menghadapi kematian saudaramu?’.
Mutammim menjawab: ‘Aku menangisi
kepergiannya selama setahun penuh hingga kedua mataku yang telah rusak bisa
membahagiakan kedua mataku yang masih sehat. Dan tidaklah aku melihat sebuah
nyala api sedikitpun, kecuali aku akan langsung bersedih karena mengingatnya. Karena
dahulu dia senantiasa menyalakan lentera rumahnya hingga datang waktu shubuh,
hal tersebut dia lakukan karena dia takut jika suatu waktu ada seorang tamu
yang datang kemudian dia tidak mengetahui dimana tamu tersebut duduk’.
Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) kembali
bertanya: ‘Sebutkanlah ciri-cirinya kepadaku’.
Mutammim berkata: ‘Dia senang mengendarai
kuda yang sulit dikendalikan, dan juga suka menunggangi unta yang gemuk lagi
besar badannya. Dan dia senang duduk diantara 2 karung tempat perbekalan yang
sangat besar di malam yang sangat dingin, sembari memakai pakaian yang sangat tipis,
memanggul sebuah busur yang sangat tegang. Dimana dia menjalani malamnya dengan
semua itu, dan ketika fajar terbit, wajahnya nampak seperti sebuah bagian dari
bulan’.
Umar kembali berkata kepadanya: ‘Lantunkanlah
kepadaku bait syair yang pernah engkau buat untuk mengenangnya’.
Maka Mutammim pun melantunkan bait syair
tersebut…”.
Ibnul Atsir (Rahimahullah)
melanjutkan: “…Kemudian setelah Mutammim selesai melantunkan bait syairnya,
Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) berkata: ‘Jikalau saja aku ahli dalam membuat
syair, maka aku pun akan membuatkan bait syair bagi saudaraku Zaid untuk
mengenangnya’.
Mutammim berkata: ‘Tidak sama (keadaan
saudaraku dengan saudaramu) wahai Amirul Mukminin. Jikalau saja saudaraku
terbunuh dengan cara terbunuhnya saudaramu (Zaid saudara Umar (Radhiyallahu ‘Anhuma)
terbunuh ketika memerangi Musailamah al-Kadzdzab), maka sungguh aku tidak perlu
mengenangnya dan juga tidak perlu menangisi kepergiannya (karena Insya Allah dia
akan meninggal sebagai seorang syahid)’.
Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) berkata: ‘Sungguh
tidak ada seorangpun yang lebih baik dalam hal menghiburku atas kepergian
saudaraku selain dirimu’”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Insya Allah pada artikel selanjutnya saya
akan mengisahkan mengenai pertemuan antara Abu Bakar dengan Khalid (Radhiyallahu
‘Anhuma).
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment