Tuesday, November 23, 2021

KISAH MUTAMMIM BIN NUWAIRAH YANG MENUNTUT KEADILAN ATAS TERTUMPAHNYA DARAH SAUDARANYA.

 

Gambar oleh chriszwettler dari Pixabay.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Pada artikel yang lalu saya telah menjelaskan mengenai kontroversi seputar kematian Malik bin Nuwairah. Dan di akhir artikel saya menjanjikan untuk menjelaskan pada artikel kali ini mengenai kedatangan Khalid di kota Madinah dan apa yang akan terjadi ketika beliau bertemu dengan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma). Akan tetapi sebelum menjelaskan hal tersebut, saya ingin membawakan terlebih dahulu sebuah kisah mengenai saudara Malik yakni Mutammim, sebuah kisah mengenai perjuangannya untuk membela hak-hak saudaranya.

Kisahnya sebagaimana berikut…

BACA JUGA:

KONTROVERSI DI BALIK KEMATIAN MALIK BIN NUWAIRAH.

PERTEMUAN ANTARA KHALID DENGAN ABU BAKAR (RADHIYALLAHU ‘ANHUMA).

Berkata Ibnu Katsir (Rahimahullah): “Dan (tidak lama setelah Abu Qatadah bertemu dengan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhuma)) datanglah Mutammim bin Nuwairah ke kota Madinah, dimana dia segera menemui Abu Bakar untuk kemudian mengadukan kepada beliau mengenai semua yang dilakukan Khalid terhadap saudaranya.

Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) sendiri memutuskan untuk membantunya dalam mengajak bicara Abu Bakar. Dan akhirnya Abu Bakar pun memutuskan untuk membayar harga diyath Malik kepada saudaranya tersebut…”.

Ibnu Katsir (Rahimahullah) juga menyebutkan beberapa bait syair yang dilantunkan oleh Mutammim mengenai saudaranya, kemudian setelah itu beliau melanjutkan kisahnya dengan berkata: “…Dan dikatakan juga bahwa Mutammim tidak mampu terlelap di waktu malam, dan tidak mampu untuk tidur nyenyak selama setahun penuh akibat kesedihannya yang sangat mendalam selama mengingat saudaranya.

Dia terus menerus menangis karena mengingat saudaranya hingga dia meninggal dalam keadaan buta. Dan bahkan saat matanya telah mulai kehilangan kemampuannya untuk melihatpun, dia tetap menangisi saudaranya hingga membuat matanya yang telah buta tersebut mengalirkan air mata, dan ini adalah tingkat kesedihan yang teramat tinggi.

Mutammim juga melantunkan bait syair berikut dalam rangka mengingat saudaranya:

Sungguh dia telah mencelaku di sisi sebuah kuburan ketika dia melihatku sedang menangis tersedu-sedu di sisi kuburan tersebut…

Temanku, karena aliran air mataku yang teramat deras dan tidak bisa berhenti…

Dia berkata ‘Apakah engkau akan menangisi setiap kuburan yang engkau lihat?’…

Padahal itu hanyalah sebuah kuburan yang terletak diantara bebatuan dan hanyalah sebuah timbunan…

Maka aku mengatakan kepadanya ‘Sungguh kesedihan itu akan membangkitkan kesedihan lainnya…

Maka oleh karenanya tinggalkanlah aku, karena bagiku ini semua (kuburan) adalah kuburan Malik…’”.

Adapun Ibnul Atsir (Rahimahullah), maka beliau mengatakan mengenai Mutammim ini: “Dan kemudian datanglah Mutammim bin Nuwairah menghadap Abu Bakar demi menuntut keadilan bagi darah saudaranya. Dia juga meminta kepada beliau agar beliau mengembalikan seluruh tawanan dari kaumnya kepada dirinya. Maka Abu Bakar pun memerintahkan agar para tawanan yang berasal dari kaum Mutammim (yakni kaumnya Malik juga) dikembalikan ke kampung halamannya, dan beliau juga membayar harga diyath bagi darah Malik yang telah tumpah (karena kesalah pahaman) yang beliau ambil bayarannya dari Baitul Mal (rumah tempat penyimpanan harta milik kaum muslimin yang terdiri dari: harta rampasan perang, sumbangan, bayaran-bayaran zakat dan sedekah, dan lain-lain).

Dan ketika pada suatu hari (saat Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) telah naik menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar (Radhiyallahu ‘Anhu)) Mutammim bertemu dengan Umar (Radhiyallahu ‘Anhu), Umar bertanya kepadanya: ‘Bagaimana caramu menghadapi kematian saudaramu?’.

Mutammim menjawab: ‘Aku menangisi kepergiannya selama setahun penuh hingga kedua mataku yang telah rusak bisa membahagiakan kedua mataku yang masih sehat. Dan tidaklah aku melihat sebuah nyala api sedikitpun, kecuali aku akan langsung bersedih karena mengingatnya. Karena dahulu dia senantiasa menyalakan lentera rumahnya hingga datang waktu shubuh, hal tersebut dia lakukan karena dia takut jika suatu waktu ada seorang tamu yang datang kemudian dia tidak mengetahui dimana tamu tersebut duduk’.

Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) kembali bertanya: ‘Sebutkanlah ciri-cirinya kepadaku’.

Mutammim berkata: ‘Dia senang mengendarai kuda yang sulit dikendalikan, dan juga suka menunggangi unta yang gemuk lagi besar badannya. Dan dia senang duduk diantara 2 karung tempat perbekalan yang sangat besar di malam yang sangat dingin, sembari memakai pakaian yang sangat tipis, memanggul sebuah busur yang sangat tegang. Dimana dia menjalani malamnya dengan semua itu, dan ketika fajar terbit, wajahnya nampak seperti sebuah bagian dari bulan’.

Umar kembali berkata kepadanya: ‘Lantunkanlah kepadaku bait syair yang pernah engkau buat untuk mengenangnya’.

Maka Mutammim pun melantunkan bait syair tersebut…”.

Ibnul Atsir (Rahimahullah) melanjutkan: “…Kemudian setelah Mutammim selesai melantunkan bait syairnya, Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) berkata: ‘Jikalau saja aku ahli dalam membuat syair, maka aku pun akan membuatkan bait syair bagi saudaraku Zaid untuk mengenangnya’.

Mutammim berkata: ‘Tidak sama (keadaan saudaraku dengan saudaramu) wahai Amirul Mukminin. Jikalau saja saudaraku terbunuh dengan cara terbunuhnya saudaramu (Zaid saudara Umar (Radhiyallahu ‘Anhuma) terbunuh ketika memerangi Musailamah al-Kadzdzab), maka sungguh aku tidak perlu mengenangnya dan juga tidak perlu menangisi kepergiannya (karena Insya Allah dia akan meninggal sebagai seorang syahid)’.

Umar (Radhiyallahu ‘Anhu) berkata: ‘Sungguh tidak ada seorangpun yang lebih baik dalam hal menghiburku atas kepergian saudaraku selain dirimu’”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah pada artikel selanjutnya saya akan mengisahkan mengenai pertemuan antara Abu Bakar dengan Khalid (Radhiyallahu ‘Anhuma).

Was-Salam.   

 

       

 

 

 

0 comments:

Post a Comment