Tuesday, June 22, 2021

SEJARAH YAMAN: KISAH HASSAN BIN TUBBAN AS’AD (BAG, 2).

 

Pemandangan Bukit dan Pantai, Gambar diambil dari Pixabay.com.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Pada asalnya cerita mengenai Hassan bin Tubba’ bersama keturunan Judais sangatlah masyhur di kalangan sejarawan, oleh karena itu banyak dari mereka yang menyebutkan kisah tersebut secara ringkas di bukunya masing-masing. Diantaranya adalah: Imam as-Suhailiy di bukunya ar-Raudhul Unuf, Ibnu Qutaibah ad-Dainuriy di bukunya al-Ma’arif, begitu juga dengan al-Muthahhir al-Maqdisiy di bukunya al-Badu wat-Tarikh.

Oleh karena itu saya akan mengambil cerita tersebut dari 2 buku saja yakni, buku al-Kamil fit-Tarikh karya Ibnul Atsir dan buku Tarikh Umam wal-Muluk karya Imam ath-Thabariy.

Hal ini tentunya di sebabkan karena beliau berdua menyebutkan kisah Hassan bersama anak keturunan dari 2 orang Thasim dan Judais secara terperinci. Akan tetapi siapakah gerangan Thasim ini?, bukankah kalau tidak salah saya kemarin hanya menyebutkan nama Judais?.

BACA JUGA:

SEJARAH YAMAN: KISAH HASSAN BIN TUBBAN AS’AD (BAG, 1).

SEJARAH YAMAN: KISAH HASSAN BIN TUBBAN AS’AD (BAG, 3).

Berkata Ibnul Atsir: “Thasim adalah anak Laudz bin Iram bin Sam bin Nuh, adapun Judais adalah anak ‘Amir bin Azhar bin Sam bin Nuh, jadi mereka ini adalah sepupu jauh (dan saling memiliki hubungan darah). Keturunan dari mereka berdua hidup bersama di satu daerah yang pada hari ini bernama Yamamah, akan tetapi pada waktu itu daerah tersebut bernama Jaww”.

Beliau melanjutkan: “Daerah tersebut adalah daerah yang subur, bahkan daerah tersubur di tanah arab pada waktu itu”.

Adapun Ibnu Jarir mensifati daerah Jaww tersebut dengan mengatakan: “Dan daerah (Jaww) tersebut pada waktu itu adalah daerah tersubur di tanah arab, mereka (anak keturunan Thasim dan Judais) memiliki berbagai macam buah-buahan di daerah tersebut, juga kebun-kebun yang memanjakan mata, dan istana-istana yang tinggi menjulang ke langit”.

Tampaknya kedua suku diatas berbagi kekuasaan selama mereka tinggal di daerah tersebut, dan masa kekuasaan mereka atas daerah Jaww bertepatan dengan masa keemasan Muluk ath-Thawaif (raja-raja kecil yang hanya menguasai daerah sebesar provinsi dan semisalnya), dan kisah Hassan bersama kedua suku tersebut juga terjadi di era ini. Berkata Ibnul Atsir: “Dan raja mereka yang berkuasa pada era Muluk ath-Thawaif bernama ‘Imliq, orang ini adalah orang yang sangat dzalim, dan ia memiliki catatan karir yang sangat buruk dan memalukan”.

Berkata Ibnu Jarir mengenai sosok ‘Imliq ini: “Dan kedua suku tersebut memiliki seorang raja yang memimpin mereka, raja tersebut berasal dari keturunan Thasim, ia adalah orang yang sangat dzalim, dia sama sekali tidak bisa menahan hawa nafsunya. Orang ini bernama: ‘Amluq (beda penyebutan dengan versi Ibnul Atsir), ia gemar membahayakan dan mendzalimi sepupu-sepupu jauhnya dari suku Judais, dan juga gemar merendahkan kehormatan dan martabat mereka”.

Ibnu Jarir melanjutkan: “Dan diantara contoh pelecehan-pelecahan terhadap kehormatan suku Judais adalah bahwa suatu hari sang raja memerintahkan pasukannya agar menangkap seorang wanita perawan yang baru saja menikah, wanita tersebut bersama suaminya berasal dari suku Judais. Alasan dari perintah tersebut adalah agar sang raja bisa berdua-duaan dengan si wanita terlebih dahulu sekaligus melakukan pelecehan terhadapnya, sebelum si wanita menemui suami barunya”.

Adapun Ibnul Atsir memberikan contoh lain, beliau berkata: “Ada sebuah kisah mengenai seorang wanita dari suku Judais, wanita ini bernama Huzailah. Suatu hari si wanita di ceraikan oleh suaminya secara sepihak, dan si suami berkeinginan pula untuk mengambil anak mereka berdua, agar ia saja yang merawatnya, akan tetapi Huzailah menolak keinginan si suami dan akhirnya terjadilah percekcokan diantara mereka berdua mengenai anak tersebut.

Setelah berlalu beberapa waktu mereka berdua-pun sepakat untuk menemui raja (‘Imliq) agar ia bisa memberikan keputusan yang adil terhadap permasalahan ini. Ketika sampai di istana, si wanita segera angkat bicara, ia berkata: “Wahai raja, aku telah mengandung anak tersebut selama 9 bulan lamanya, kemudian aku melahirkannya secara susah payah, dan kemudian menyusuinya selama 2 bulan. Sampai akhirnya ketika anak tersebut telah menjadi lelaki yang sempurna, dan  hampir mencapai kematangan, ia (si suami) datang dan ingin merebutnya dariku, dan hendak meninggalkanku hidup sebatang kara tanpa ada yang membantuku!”.

Adapun si suami, maka ia berkata: “Wahai raja, sungguh aku telah memberikan maharnya secara sempurna utuh tanpa ada yang kurang, saya sendiri tidak pernah mengambil dan mengurangi maharnya sedikitpun, dan setelah itu semua, saya hanya ingin mengambil seorang anak yang belum bisa berbuat apa-apa, maka putuskanlah yang terbaik untuk kami berdua!”.

Dan apa yang menjadi keputusan sang raja?...

Ibnul Atsir melanjutkan: “Mendengar permohonan keduanya, maka si raja memerintahkan anak buahnya untuk mengambil si anak dan menjadikannya seorang budak sekaligus pesuruh istana. Dan kedua suami istri tadi ia perintahkan agar keduanya di jual, dan seperlima dari keuntungan yang di dapat dari penjualan si wanita diberikan kepada sang suami. Dan si wanita sendiri mendapatkan sepersepuluh dari keuntungan yang di dapat dari penjualan si suami”.

Melihat keputusan yang sangat adil dan brilian dari sang raja ini, si wanita ini melantunkan sya’ir…

Ibnul Atsir berkata: “Huzailah melantunkan bait sya’ir berikut:

Kami telah mendatangi saudara kami yang berasal dari suku Thasim untuk mendapatkan keadilan dan kebijaksanaan darinya…

Maka ia menetapkan suatu keputusan yang sangat mendzalimi hak-hak Huzailah…

Demi umurku sungguh engkau bukanlah seorang raja yang bijaksana…

Dan juga engkau bukanlah seorang raja yang berilmu dan berpengalaman…

Aku sungguh-sungguh menyesal dan aku tidak akan menyesal jika saja aku tetap bersama anakku…

Dan sungguh suamiku sangat menyesal karena telah membawa permasalahan ini kepada raja…”.

Beliau Ibnul Atsir melanjutkan: “Mendengar sya’ir tersebut sang raja membuat undang-undang baru, undang-undang tersebut berbunyi: setiap mempelai wanita dari suku Judais dilarang menemui suaminya hingga ia mengunjungi kediaman raja terlebih dahulu, agar sang raja bisa duduk berdua dengannya sebelum ia menemui suami barunya”.

Maka dengan keluarnya dekrit baru tersebut, semakin tercekiklah leher-leher milik anggota suku Judais. Dan akhirnya mereka-pun membuat sebuah rencana…

Cerita akan berlanjut Insya Allah di artikel selanjutnya. Wallah A’lam Bish-Shawab.

Was-Salam.

 

 

 

0 comments:

Post a Comment