Pemandangan Bukit dan Pantai, Gambar diambil dari Pixabay.com. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.
Pada asalnya cerita mengenai Hassan bin
Tubba’ bersama keturunan Judais sangatlah masyhur di kalangan sejarawan, oleh
karena itu banyak dari mereka yang menyebutkan kisah tersebut secara ringkas di
bukunya masing-masing. Diantaranya adalah: Imam as-Suhailiy di bukunya ar-Raudhul
Unuf, Ibnu Qutaibah ad-Dainuriy di bukunya al-Ma’arif, begitu
juga dengan al-Muthahhir al-Maqdisiy di bukunya al-Badu wat-Tarikh.
Oleh karena itu saya akan mengambil cerita
tersebut dari 2 buku saja yakni, buku al-Kamil fit-Tarikh karya Ibnul
Atsir dan buku Tarikh Umam wal-Muluk karya Imam ath-Thabariy.
Hal ini tentunya di sebabkan karena beliau
berdua menyebutkan kisah Hassan bersama anak keturunan dari 2 orang Thasim dan
Judais secara terperinci. Akan tetapi siapakah gerangan Thasim ini?, bukankah
kalau tidak salah saya kemarin hanya menyebutkan nama Judais?.
BACA JUGA:
SEJARAH YAMAN: KISAH HASSAN BIN TUBBAN AS’AD (BAG, 1).
SEJARAH YAMAN: KISAH HASSAN BIN TUBBAN AS’AD (BAG, 3).
Berkata Ibnul Atsir: “Thasim adalah anak
Laudz bin Iram bin Sam bin Nuh, adapun Judais adalah anak ‘Amir bin Azhar bin
Sam bin Nuh, jadi mereka ini adalah sepupu jauh (dan saling memiliki hubungan
darah). Keturunan dari mereka berdua hidup bersama di satu daerah yang pada
hari ini bernama Yamamah, akan tetapi pada waktu itu daerah tersebut bernama Jaww”.
Beliau melanjutkan: “Daerah tersebut adalah
daerah yang subur, bahkan daerah tersubur di tanah arab pada waktu itu”.
Adapun Ibnu Jarir mensifati daerah Jaww
tersebut dengan mengatakan: “Dan daerah (Jaww) tersebut pada waktu itu adalah
daerah tersubur di tanah arab, mereka (anak keturunan Thasim dan Judais)
memiliki berbagai macam buah-buahan di daerah tersebut, juga kebun-kebun yang
memanjakan mata, dan istana-istana yang tinggi menjulang ke langit”.
Tampaknya kedua suku diatas berbagi
kekuasaan selama mereka tinggal di daerah tersebut, dan masa kekuasaan mereka
atas daerah Jaww bertepatan dengan masa keemasan Muluk ath-Thawaif (raja-raja
kecil yang hanya menguasai daerah sebesar provinsi dan semisalnya), dan kisah
Hassan bersama kedua suku tersebut juga terjadi di era ini. Berkata Ibnul Atsir:
“Dan raja mereka yang berkuasa pada era Muluk ath-Thawaif bernama ‘Imliq, orang
ini adalah orang yang sangat dzalim, dan ia memiliki catatan karir yang sangat
buruk dan memalukan”.
Berkata Ibnu Jarir mengenai sosok ‘Imliq
ini: “Dan kedua suku tersebut memiliki seorang raja yang memimpin mereka, raja
tersebut berasal dari keturunan Thasim, ia adalah orang yang sangat dzalim, dia
sama sekali tidak bisa menahan hawa nafsunya. Orang ini bernama: ‘Amluq (beda
penyebutan dengan versi Ibnul Atsir), ia gemar membahayakan dan mendzalimi sepupu-sepupu
jauhnya dari suku Judais, dan juga gemar merendahkan kehormatan dan martabat
mereka”.
Ibnu Jarir melanjutkan: “Dan diantara
contoh pelecehan-pelecahan terhadap kehormatan suku Judais adalah bahwa suatu
hari sang raja memerintahkan pasukannya agar menangkap seorang wanita perawan
yang baru saja menikah, wanita tersebut bersama suaminya berasal dari suku
Judais. Alasan dari perintah tersebut adalah agar sang raja bisa berdua-duaan
dengan si wanita terlebih dahulu sekaligus melakukan pelecehan terhadapnya,
sebelum si wanita menemui suami barunya”.
Adapun Ibnul Atsir memberikan contoh lain,
beliau berkata: “Ada sebuah kisah mengenai seorang wanita dari suku Judais,
wanita ini bernama Huzailah. Suatu hari si wanita di ceraikan oleh suaminya
secara sepihak, dan si suami berkeinginan pula untuk mengambil anak mereka
berdua, agar ia saja yang merawatnya, akan tetapi Huzailah menolak keinginan si
suami dan akhirnya terjadilah percekcokan diantara mereka berdua mengenai anak
tersebut.
Setelah berlalu beberapa waktu mereka
berdua-pun sepakat untuk menemui raja (‘Imliq) agar ia bisa memberikan
keputusan yang adil terhadap permasalahan ini. Ketika sampai di istana, si
wanita segera angkat bicara, ia berkata: “Wahai raja, aku telah mengandung anak
tersebut selama 9 bulan lamanya, kemudian aku melahirkannya secara susah payah,
dan kemudian menyusuinya selama 2 bulan. Sampai akhirnya ketika anak tersebut
telah menjadi lelaki yang sempurna, dan hampir
mencapai kematangan, ia (si suami) datang dan ingin merebutnya dariku, dan
hendak meninggalkanku hidup sebatang kara tanpa ada yang membantuku!”.
Adapun si suami, maka ia berkata: “Wahai
raja, sungguh aku telah memberikan maharnya secara sempurna utuh tanpa ada yang
kurang, saya sendiri tidak pernah mengambil dan mengurangi maharnya sedikitpun,
dan setelah itu semua, saya hanya ingin mengambil seorang anak yang belum bisa
berbuat apa-apa, maka putuskanlah yang terbaik untuk kami berdua!”.
Dan apa yang menjadi keputusan sang
raja?...
Ibnul Atsir melanjutkan: “Mendengar
permohonan keduanya, maka si raja memerintahkan anak buahnya untuk mengambil si
anak dan menjadikannya seorang budak sekaligus pesuruh istana. Dan kedua suami
istri tadi ia perintahkan agar keduanya di jual, dan seperlima dari keuntungan
yang di dapat dari penjualan si wanita diberikan kepada sang suami. Dan si
wanita sendiri mendapatkan sepersepuluh dari keuntungan yang di dapat dari
penjualan si suami”.
Melihat keputusan yang sangat adil dan
brilian dari sang raja ini, si wanita ini melantunkan sya’ir…
Ibnul Atsir berkata: “Huzailah melantunkan
bait sya’ir berikut:
“Kami telah mendatangi saudara kami yang
berasal dari suku Thasim untuk mendapatkan keadilan dan kebijaksanaan darinya…
Maka ia menetapkan suatu keputusan yang
sangat mendzalimi hak-hak Huzailah…
Demi umurku sungguh engkau bukanlah seorang
raja yang bijaksana…
Dan juga engkau bukanlah seorang raja yang berilmu
dan berpengalaman…
Aku sungguh-sungguh menyesal dan aku tidak
akan menyesal jika saja aku tetap bersama anakku…
Dan sungguh suamiku sangat menyesal karena
telah membawa permasalahan ini kepada raja…”.
Beliau Ibnul Atsir melanjutkan: “Mendengar
sya’ir tersebut sang raja membuat undang-undang baru, undang-undang tersebut
berbunyi: setiap mempelai wanita dari suku Judais dilarang menemui suaminya
hingga ia mengunjungi kediaman raja terlebih dahulu, agar sang raja bisa duduk berdua
dengannya sebelum ia menemui suami barunya”.
Maka dengan keluarnya dekrit baru tersebut,
semakin tercekiklah leher-leher milik anggota suku Judais. Dan akhirnya mereka-pun
membuat sebuah rencana…
Cerita akan berlanjut Insya Allah di
artikel selanjutnya. Wallah A’lam Bish-Shawab.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment