Pemandangan Bukit dan Pantai, Gambar diambil dari Pixabay.com. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Sebelum masuk ke cerita perihal
persekongkolan maut suku Judais demi membungkam kelaliman si raja untuk
selamanya, ada baiknya bagi kita untuk mendengarkan barang sebentar sebuah cerita
yang melatar belakangi sekaligus menyulut keberanian suku Judais untuk
mengambil kembali kendali atas kehidupan dan kehormatan mereka.
BACA JUGA:
SEJARAH YAMAN: KISAH HASSAN BIN TUBBAN AS’AD (BAG, 2).
SEJARAH YAMAN: KISAH HASSAN BIN TUBBAN AS’AD (BAG, 4).
Berkata Ibnul Atsir: “Dan si raja tetap
menjalankan dan mengesahkan undang-undang barunya (perihal undang-undang
tersebut telah saya sebutkan di artikel sebelum ini) hingga terjadilah sebuah
pernikahan bagi seorang wanita yang di panggil dengan sebutan asy-Syamus,
adapun nama si wanita adalah: ‘Ufairah bintu ‘Affar.
Ketika proses pernikahan telah rampung dan
ia hendak diantar menuju suami barunya, seketika para pendamping teringat akan peraturan
sang raja, maka bersegeralah mereka membawa si wanita menuju rumah sang raja.
Ketika sampai di kediaman sang raja, ia di
kawal oleh 2 pemuda menuju kamar pribadi raja. Ketika ia masuk ke kamar, si
raja bejat ini segera melakukan hal-hal yang tidak pantas, hingga akhirnya
ketika nafsu hewan si raja telah terpuaskan ia-pun melepaskan ‘Ufairah dari
genggamannya dan membiarkannya pergi dan kembali ke tempat suaminya dengan
berjalan kaki.
Dan ketika si wanita telah sampai di
tengah-tengah kaumnya, mereka semua melihat pemandangan yang sangat berbeda
dari sebelumnya, mereka melihat di sekeliling ‘Ufairah ada darah yang menetes,
dan ketika ia berhenti darah-pun dengan cepatnya menggenang di sekelilingnya,
dengan pakaian yang sudah tidak karuan dan penampilan yang sangat buruk, ‘Ufairah
melantunkan bait-bait sya’ir berikut:
“Tidak ada seorang-pun yang lebih hina
dari anggota suku Judais…
Pantaskah seorang pengantin di perlakukan
seperti ini?...
Wahai kaumku sungguh suamiku yang merdeka
rela atas hal ini…
Dia menghadiahkan diriku kepada orang lain
padahal ia telah mengikat perjanjian pernikahan…”.
Ibnul Atsir melanjutkan: “Ia juga
menambahkan sebuah sya’ir untuk membakar semangat perlawanan dalam diri
kaumnya, ia mengatakan:
“Apakah suatu pemandangan yang indah
perlakuan-perlakuan buruk yang dilakukan terhadap gadis-gadis kalian?...
Padahal kalian adalah para lelaki yang
memiliki jumlah laksana jumlah semut…
Dan yang didapatkan oleh ‘Afirah dari
pernikahannya adalah darah yang menetes di setiap langkahnya…
Menetes secara terang-terangan di waktu
para mempelai wanita diantar secara terhormat menuju suaminya…
Jikalau saja kami ini adalah para lelaki
dan kalian…
Adalah para wanita maka sungguh kami tidak
akan rela perlakuan-perlakuan tersebut terjadi…
Maka matilah kalian secara terhormat atau bunuhlah
musuh-musuh kalian…
Dan kobarkanlah api peperangan menggunakan
kayu kering terbaik…
Jikalau tidak maka kosongkanlah perut para
istri dari benih-benih kalian dan pergilah…
Menuju tanah kosong dan matilah di sana
secara terhina…
Karena sungguh jauh itu lebih baik daripada
dekat tapi dikungkung oleh kehinaan…
Dan kematian itu lebih baik dari hidup
tetapi dipenuhi oleh kerendahan…
Jika kalian tetap saja berdiam diri setelah
ini…
Maka berubahlah kalian menjadi wanita…
Dan pakailah wewangian-wewangian wanita
karena sungguh…
Kalian ini diciptakan hanya untuk memakai pakaian
pengantin…
Sungguh celaan dan kehinaan bagi
orang-orang yang tidak ingin membela kehormatan…
Dan hendaknya ia jangan berjalan di
tengah-tengah kami laksana jalannya singa!...”.
Dan rupanya penyebab dari keberanian ‘Ufairah
tersebut untuk melantunkan bait-bait sya’ir yang menghina kejantanan para lelaki
Judais adalah di karenakan ia berasal dari keluarga terhormat, dimana saudara
laki-lakinya adalah kepala suku kaumnya dan ia sangat di hormati di kalangan suku
Judais.
Nama saudara ‘Ufairah adalah al-Aswad bin ‘Affar.
Berkata Ibnul Atsir: “Maka ketika saudara
lelaki ‘Ufairah mendengar perkataannya, dan ia sendiri adalah seorang pemimpin
yang dihormati, ia mengatakan di depan kaumnya: “Wahai sekalian orang-orang
Judais!. Sungguh mereka semua itu (suku Thasim) tidak lebih mulia dari kalian
di atas tanah ini, yang menjadikan mereka lebih mulia dari kita hanyalah
kenyataan bahwa saudara merekalah yang menjadi raja bagi kita dan mereka. Jikalau
saja kita tidak lemah, maka ia sungguh tidak akan bisa menjadi raja, dan jika
kita melawan maka tahta tersebut akan menjadi milik kita!.
Maka taatilah diriku atas apa yang akan aku
perintahkan, karena sungguh perintahku ini akan memberikan kepada kalian
kemuliaan untuk selama-lamanya!”.
Apa gerangan perintah tersebut?, dan apa
strategi yang akan dijalankan oleh al-Aswad saudara ‘Ufairah?.
Cerita akan berlanjut di artikel
selanjutnya Insya Allah. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment