Wednesday, June 23, 2021

SEJARAH YAMAN: KISAH HASSAN BIN TUBBAN AS’AD (BAG, 3).

 

Pemandangan Bukit dan Pantai, Gambar diambil dari Pixabay.com.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Sebelum masuk ke cerita perihal persekongkolan maut suku Judais demi membungkam kelaliman si raja untuk selamanya, ada baiknya bagi kita untuk mendengarkan barang sebentar sebuah cerita yang melatar belakangi sekaligus menyulut keberanian suku Judais untuk mengambil kembali kendali atas kehidupan dan kehormatan mereka.

BACA JUGA:

SEJARAH YAMAN: KISAH HASSAN BIN TUBBAN AS’AD (BAG, 2).

SEJARAH YAMAN: KISAH HASSAN BIN TUBBAN AS’AD (BAG, 4).

Berkata Ibnul Atsir: “Dan si raja tetap menjalankan dan mengesahkan undang-undang barunya (perihal undang-undang tersebut telah saya sebutkan di artikel sebelum ini) hingga terjadilah sebuah pernikahan bagi seorang wanita yang di panggil dengan sebutan asy-Syamus, adapun nama si wanita adalah: ‘Ufairah bintu ‘Affar.

Ketika proses pernikahan telah rampung dan ia hendak diantar menuju suami barunya, seketika para pendamping teringat akan peraturan sang raja, maka bersegeralah mereka membawa si wanita menuju rumah sang raja.

Ketika sampai di kediaman sang raja, ia di kawal oleh 2 pemuda menuju kamar pribadi raja. Ketika ia masuk ke kamar, si raja bejat ini segera melakukan hal-hal yang tidak pantas, hingga akhirnya ketika nafsu hewan si raja telah terpuaskan ia-pun melepaskan ‘Ufairah dari genggamannya dan membiarkannya pergi dan kembali ke tempat suaminya dengan berjalan kaki.

Dan ketika si wanita telah sampai di tengah-tengah kaumnya, mereka semua melihat pemandangan yang sangat berbeda dari sebelumnya, mereka melihat di sekeliling ‘Ufairah ada darah yang menetes, dan ketika ia berhenti darah-pun dengan cepatnya menggenang di sekelilingnya, dengan pakaian yang sudah tidak karuan dan penampilan yang sangat buruk, ‘Ufairah melantunkan bait-bait sya’ir berikut:

Tidak ada seorang-pun yang lebih hina dari anggota suku Judais…

Pantaskah seorang pengantin di perlakukan seperti ini?...

Wahai kaumku sungguh suamiku yang merdeka rela atas hal ini…

Dia menghadiahkan diriku kepada orang lain padahal ia telah mengikat perjanjian pernikahan…”.

Ibnul Atsir melanjutkan: “Ia juga menambahkan sebuah sya’ir untuk membakar semangat perlawanan dalam diri kaumnya, ia mengatakan:

Apakah suatu pemandangan yang indah perlakuan-perlakuan buruk yang dilakukan terhadap gadis-gadis kalian?...

Padahal kalian adalah para lelaki yang memiliki jumlah laksana jumlah semut…

Dan yang didapatkan oleh ‘Afirah dari pernikahannya adalah darah yang menetes di setiap langkahnya…

Menetes secara terang-terangan di waktu para mempelai wanita diantar secara terhormat menuju suaminya…

Jikalau saja kami ini adalah para lelaki dan kalian…

Adalah para wanita maka sungguh kami tidak akan rela perlakuan-perlakuan tersebut terjadi…

Maka matilah kalian secara terhormat atau bunuhlah musuh-musuh kalian…

Dan kobarkanlah api peperangan menggunakan kayu kering terbaik…

Jikalau tidak maka kosongkanlah perut para istri dari benih-benih kalian dan pergilah…

Menuju tanah kosong dan matilah di sana secara terhina…

Karena sungguh jauh itu lebih baik daripada dekat tapi dikungkung oleh kehinaan…

Dan kematian itu lebih baik dari hidup tetapi dipenuhi oleh kerendahan…

Jika kalian tetap saja berdiam diri setelah ini…

Maka berubahlah kalian menjadi wanita…

Dan pakailah wewangian-wewangian wanita karena sungguh…

Kalian ini diciptakan hanya untuk memakai pakaian pengantin…

Sungguh celaan dan kehinaan bagi orang-orang yang tidak ingin membela kehormatan…

Dan hendaknya ia jangan berjalan di tengah-tengah kami laksana jalannya singa!...”.

Dan rupanya penyebab dari keberanian ‘Ufairah tersebut untuk melantunkan bait-bait sya’ir yang menghina kejantanan para lelaki Judais adalah di karenakan ia berasal dari keluarga terhormat, dimana saudara laki-lakinya adalah kepala suku kaumnya dan ia sangat di hormati di kalangan suku Judais.

Nama saudara ‘Ufairah adalah al-Aswad bin ‘Affar.

Berkata Ibnul Atsir: “Maka ketika saudara lelaki ‘Ufairah mendengar perkataannya, dan ia sendiri adalah seorang pemimpin yang dihormati, ia mengatakan di depan kaumnya: “Wahai sekalian orang-orang Judais!. Sungguh mereka semua itu (suku Thasim) tidak lebih mulia dari kalian di atas tanah ini, yang menjadikan mereka lebih mulia dari kita hanyalah kenyataan bahwa saudara merekalah yang menjadi raja bagi kita dan mereka. Jikalau saja kita tidak lemah, maka ia sungguh tidak akan bisa menjadi raja, dan jika kita melawan maka tahta tersebut akan menjadi milik kita!.

Maka taatilah diriku atas apa yang akan aku perintahkan, karena sungguh perintahku ini akan memberikan kepada kalian kemuliaan untuk selama-lamanya!”.

Apa gerangan perintah tersebut?, dan apa strategi yang akan dijalankan oleh al-Aswad saudara ‘Ufairah?.

Cerita akan berlanjut di artikel selanjutnya Insya Allah. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Was-Salam.

 

 

0 comments:

Post a Comment