Thursday, July 29, 2021

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN, ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 15).

 

Hujan Badai, Gambar diambil dari Pixabay.com.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Setelah mengutus al-Aswad bin Maqshud, Abrahah kembali mengutus seseorang yang lain, akan tetapi kali ini bukan untuk merampas harta-harta milik orang Quraisy, melainkan untuk membawa ke hadapannya pemuka dan pemimpin suku Quraisy sekaligus penanggung jawab atas terjaganya Ka’bah dari segala macam gangguan.

Berkata Ibnu Ishaq: “Abrahah mengutus seseorang untuk kedua kalinya, orang tersebut bernama Hunathah al-Himyariy. Dia berkata kepada Hunathah: “Sesampainya engkau di tengah-tengah suku Quraisy, tanyakanlah kepada mereka perihal siapakah pemimpin negeri ini. Dan jika orang tersebut telah menunjukkan diri, katakanlah kepadanya “Sesungguhnya raja mempunyai pesan untukmu, dia berkata: Sungguh aku tidak datang untuk memerangi kalian, akan tetapi tujuan kedatanganku hanyalah demi menghancurkan rumah suci ini. Oleh karena itu jika kalian tidak menghalangi jalanku dan tidak memerangiku, maka aku-pun sama sekali tidak membutuhkan darah kalian”. Dan jika dia tidak ada niat untuk berperang, maka bawalah dia ke hadapanku!”.

BACA JUGA:

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 14).

SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 16).

Setelah itu Hunathah-pun bergerak untuk menjalankan misinya, dan sesampainya dia di Makkah, dia segera bertanya mengenai siapakah pemimpin suku Quraisy. Mendengar pertanyaan tersebut, orang-orang yang ditemuinya menjawab: “Dia adalah ‘Abdul Muththalib bin Hasyim”. Dan setelah mengetahui alamat ‘Abdul Muththalib dari orang-orang tadi, dia segera mendatangi kediamannya, sesampainya disana dia segera menyampaikan pesan Abrahah kepada ‘Abdul Muththalib, setelah mendengarkan dengan seksama pesan tersebut, ‘Abdul Muththalib menjawab dengan tenang, dia berkata: “Demi Allah, kami sama sekali tidak ingin memeranginya karena kami sendiri tidak mempunyai kekuatan sedikitpun untuk berhadapan dengannya di medan perang. Sungguh rumah suci ini adalah rumah Allah yang mulia juga rumah kekasihNya Ibrahim ‘Alaihis Salam, maka jika Dia berkenan untuk menjaganya, maka sudah sewajarnya karena rumah itu adalah rumahNya. Akan tetapi jika Dia tidak berkenan untuk menjaganya, maka demi Allah kami sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk menjaganya”.

Mendengar jawaban tersebut, Hunathah berkata kepadanya: “Baiklah, kalau begitu ikutlah denganku, karena raja menyuruhku untuk membawamu ke hadapannya”.

‘Abdul Muththalib-pun ikut bersamanya menuju kemah Abrahah bersama beberapa orang anaknya, sesampainya di perkemahan tentara, dia segera bertanya mengenai keadaan temannya Dzu Nafar apakah dia baik-baik saja ataukah tidak?.

Akan tetapi tidak ada seorangpun yang menjawabnya hingga dia diantarkan ke sebuah kemah tempat Dzu Nafar di tahan, ketika melihatnya ‘Abdul Muththalib langsung bertanya kepadanya: “Wahai Dzu Nafar, apakah engkau mempunyai kemampuan untuk menolong kami menghadapi cobaan yang akan segera menimpa kami?”.

Dzu Nafar menjawab: “Kekuatan apakah yang sekiranya dimiliki oleh seseorang yang sedang berada dalam tawanan seorang raja yang sedang menunggu waktu tepat untuk membunuhnya di pagi maupun sore hari?. Sungguh kami sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolongmu menghadapi cobaan yang akan menimpamu. Kecuali mungkin masih tersisa padaku sebuah kemampuan yang terwujud pada pertemananku dengan Unais sang pengendali gajah. Aku akan mengirim seorang utusan kepadanya demi memberitahukan kepadanya perihal kedudukanmu dan bahwa engkau perlu untuk bertemu dengan raja dalam waktu dekat, maka jika engkau telah bertemu dengannya maka ceritakanlah seluruh keluh kesahmu padanya, karena mungkin saja dia bisa memberikan sedikit pertolongan kepadamu dan kaummu jika raja berkenan mengabulkan permohonannya”.

‘Abdul Muththalib menimpali perkataan kawannya tersebut dengan berkata: “Itu semua cukup bagiku”.

Setelah itu Dzu Nafar segera mengirim utusan kepada Unais sembari membawa pesan darinya yang berbunyi: “Sesungguhnya Abdul Muththalib adalah pemuka dan pemimpin suku Quraisy sekaligus pemilik rombongan kafilah dagang Makkah. Dia senantiasa memberi makan orang-orang di lembah-lembah Makkah, begitu juga dengan hewan-hewan liar, dia memberi makan hewan-hewan tersebut di puncak-puncak gunung. Dan sungguh sang raja telah merampas 200 ekor unta miliknya, maka mintalah kepadanya agar ia berkenan mengembalikan unta-unta tersebut kepada Abdul Muththalib sang pemilik sah dari unta-unta tersebut, dan jika bisa tolonglah dia dihadapan raja semampumu”.

Unais menjawab pesan tersebut dengan mengatakan: “Baiklah, akan aku lakukan”.

Setelah itu Unais segera menemui Abrahah dan berkata kepadanya: “Wahai raja, sang pemimpin suku Quraisy telah menunggu untuk dipersilahkan masuk di depan pintumu, dan dia juga sekaligus sebagai pemilik kafilah dagang Makkah. Dia senantiasa memberi makan manusia di lembah-lembah, sementara hewan-hewan liar dia memberi mereka makan di atas puncak-puncak gunung. Maka izinkanlah dia untuk menemuimu agar dia bisa menyampaikan hajat dan kebutuhannya”. Abrahah-pun mengizinkan Abdul Muththalib untuk masuk.

Abdul Muththalib adalah seseorang yang sangat tampan dan memiliki tubuh tinggi besar, dan ketika Abrahah melihatnya dia langsung menghormatinya dan menganggap bahwa dia tidak berhak untuk duduk di singgasananya akan tetapi dia harus duduk bersama Abdul Muththalib sama tinggi dan sama rendah.

Dan karena dia khawatir akan perbuatan dan prasangka buruk para pengawalnya yang berkebangsaan Habasyah jika mereka sampai melihat bahwa Abdul Muththalib telah dengan berani duduk di singgasana raja, maka dia memutuskan untuk duduk bersama Abdul Muththalib di karpet, kemudian dia berkata kepada penerjemah yang dibawanya: “Katakan kepadanya: apa kebutuhanmu?”.

Si penerjemah-pun menanyakannya kepada Abdul Muththalib, Abdul Muththalib sendiri segera menjawab: “Kebutuhanku adalah agar raja mengembalikan 200 ekor unta milikku yang telah dirampasnya”.

Mendengar jawaban ini, Abrahah berkata kepada penerjemahnya: “Katakan kepadanya: ketika pertama kali melihatmu engkau membuatku takjub, akan tetapi setelah berbicara denganmu seketika rasa hormatku kepada dirimu hilang. Apakah tujuan kedatanganmu ini hanya demi membicarakan 200 ekor unta milikmu yang aku rampas, sementara aku hendak menghancurkan rumah suci yang selama ini engkau dan nenek moyangmu agung-agungkan dan engkau sama sekali tidak membahasnya?!”.

Abdul Muththalib berkata kepadanya: “Sungguh diriku ini hanyalah seorang pemilik unta, dan sungguh rumah suci itu juga memiliki sang pemilik yang akan menjaganya!”.

Abrahah menimpali perkataan Abdul Muththalib dengan mengatakan: “Si pemilik rumah suci itu tidak akan bisa menjaga rumahnya dari seranganku!”.

Abdul Muththalib menjawab: “Baiklah, kalau begitu kita tunggu saja apa yang akan terjadi!”.

Dikatakan juga oleh sebagian ulama bahwa konon ada 2 orang yang ikut bersama Abdul Muththalib menghadap Abrahah, yang pertama bernama Ya’mur Nufatsah bin Adi bin ad-Du’l bin Bakr bin Manat bin Kinanah pemimpin suku Bani Bakr.

Dan yang kedua bernama Khuwailid bin Wailah al-Hudzaliy pemimpin suku Hudzail, mereka bertiga menawarkan kepada Abrahah sepertiga dari harta perbendaharaan Tihamah dengan syarat dia harus pulang kembali ke Yaman dan jangan sekali-kali menghancurkan Ka’bah. Akan tetapi Abrahah menolak tawaran mereka bertiga. Dan Allah (‘Azza Wa Jalla) lebih mengetahui apakah hal ini benar-benar terjadi atau tidak, akan tetapi yang pasti adalah bahwa Abrahah mengembalikan ke-200 ekor unta yang dirampasnya kepada Abdul Muththalib setelah dialog antara mereka berdua”.

Berkata Ibnul Atsir: “Ketika Abdul Muththalib menerima unta-untanya, dia segera mengikat unta-unta tersebut dan berniat untuk menjadikannya sebagai hewan sembelihan kurban, kemudian setelah itu dia menyebar unta-untanya tersebut disekitar Ka’bah, agar jika sekiranya ada diantara pasukan Abrahah yang mengambilnya maka Allah (‘Azza Wa Jalla) akan marah (dan tentunya akan menurunkan adzab bagi orang tersebut beserta seluruh temannya)”.

Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya: “Ketika mereka bertiga telah selesai berbicara dengan Abrahah, mereka semua segera pergi menuju suku masing-masing, sementara Abdul Muththalib pergi ke sukunya suku Quraisy.

Ketika sampai di tengah-tengah suku Quraisy, dia memberitahu mereka perihal apa yang telah terjadi di kemah Abrahah sekaligus menyuruh mereka untuk segera keluar dari Makkah menuju pegunungan dan lembah yang mengelilingi kota demi berlindung dari tentara Abrahah.

Ketika semuanya telah pergi menuju pegunungan, Abdul Muththalib segera pergi ke depan Ka’bah bersama beberapa orang yang tersisa dari suku Quraisy. Sembari memegang gagang pintu Ka’bah, Abdul Muththalib beserta kawan-kawannya berdo’a meminta pertolongan kepada Allah (‘Azza Wa Jalla) untuk menjaga Ka’bah dari keburukan yang hendak ditimpakan kepadanya oleh Abrahah dan pasukannya.

Abdul Muththalib berkata sembari memegang gagang pintu Ka’bah:

Ya Allah, sesungguhnya seorang hamba senantiasa mempertahankan harta bendanya…

Maka oleh karena itu pertahankanlah olehMu kehormatan-kehormatanMu…

Jangan sampai salib dan kekuatan mereka…

Mampu mengalahkan kekuasaanMu pada esok hari…

Jika Engkau meninggalkan mereka beserta kiblat kami…

Maka lakukanlah apa yang memang menjadi ketentuanMu…”.

Berkata Ibnul Atsir dan Ibnu Jarir bahwa Abdul Muththalib melantunkan pula bait-bait berikut:

Wahai Tuhanku aku sama sekali tidak mengharapkan pertolongan selain darimu…

Wahai Tuhanku oleh karena itu halangilah mereka dengan kekuasaanMu…

Sungguh siapa saja yang memusuhi rumah suci maka pasti dia juga memusuhiMu…

Halangilah mereka dari menghancurkan kotaMu…”.

Juga bait-bait berikut:

Ya Allah, sesungguhnya seorang hamba senantiasa mempertahankan harta bendanya…

Maka oleh karena itu pertahankanlah olehMu kehormatan-kehormatanMu…

Jangan sampai salib dan kekuatan mereka…

Mampu mengalahkan kekuasaanMu pada esok hari…

Dan jika Engkau berbuat…

Sesuatu maka pasti Engkau menyelesaikannya…

Engkaulah yang jika kami di datangi oleh penjahat…

Menjadi tempat kembali kami…

Maka seketika mereka berpaling dan tidak mendapatkan kecuali…

Kehinaan dan Engkau menghancurkan mereka di sana…

Aku tidak pernah mendengar sekalipun sekelompok orang yang lebih hina…

Dari mereka yang berkeinginan untuk memerangimu…

Mereka membawa pasukan yang sangat besar dari negeri mereka…

Bersama serombongan gajah hanya demi mengganggu keluargaMu…

Mereka hendak menyasar kekuasaanMu dengan makar mereka…

Secara bodoh dan mereka sama sekali tidak gentar terhadap kebesaranMu…”.

Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya: “Setelah itu Abdul Muththalib melepaskan gagang pintu Ka’bah dan segera bergerak menuju pegunungan tempat orang-orang Quraisy berlindung bersama sekelompok orang yang tadi berdo’a bersamanya.

Dan akhirnya mereka semua berdiam diri disana sembari menunggu apa yang akan dilakukan oleh Abrahah ketika dia memasuki Makkah nantinya”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Insya Allah cerita akan berlanjut di artikel selanjutnya.

Was-Salam.

 

 

 

 

 

 

0 comments:

Post a Comment