Hujan Badai, Gambar diambil dari Pixabay.com. |
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Setelah mengutus al-Aswad bin Maqshud,
Abrahah kembali mengutus seseorang yang lain, akan tetapi kali ini bukan untuk
merampas harta-harta milik orang Quraisy, melainkan untuk membawa ke hadapannya
pemuka dan pemimpin suku Quraisy sekaligus penanggung jawab atas terjaganya Ka’bah
dari segala macam gangguan.
Berkata Ibnu Ishaq: “Abrahah mengutus
seseorang untuk kedua kalinya, orang tersebut bernama Hunathah al-Himyariy. Dia
berkata kepada Hunathah: “Sesampainya engkau di tengah-tengah suku Quraisy,
tanyakanlah kepada mereka perihal siapakah pemimpin negeri ini. Dan jika orang
tersebut telah menunjukkan diri, katakanlah kepadanya “Sesungguhnya raja
mempunyai pesan untukmu, dia berkata: Sungguh aku tidak datang untuk memerangi
kalian, akan tetapi tujuan kedatanganku hanyalah demi menghancurkan rumah suci
ini. Oleh karena itu jika kalian tidak menghalangi jalanku dan tidak
memerangiku, maka aku-pun sama sekali tidak membutuhkan darah kalian”. Dan jika
dia tidak ada niat untuk berperang, maka bawalah dia ke hadapanku!”.
BACA JUGA:
SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 14).
SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 16).
Setelah itu Hunathah-pun bergerak untuk
menjalankan misinya, dan sesampainya dia di Makkah, dia segera bertanya
mengenai siapakah pemimpin suku Quraisy. Mendengar pertanyaan tersebut,
orang-orang yang ditemuinya menjawab: “Dia adalah ‘Abdul Muththalib bin Hasyim”.
Dan setelah mengetahui alamat ‘Abdul Muththalib dari orang-orang tadi, dia
segera mendatangi kediamannya, sesampainya disana dia segera menyampaikan pesan
Abrahah kepada ‘Abdul Muththalib, setelah mendengarkan dengan seksama pesan
tersebut, ‘Abdul Muththalib menjawab dengan tenang, dia berkata: “Demi Allah,
kami sama sekali tidak ingin memeranginya karena kami sendiri tidak mempunyai
kekuatan sedikitpun untuk berhadapan dengannya di medan perang. Sungguh rumah
suci ini adalah rumah Allah yang mulia juga rumah kekasihNya Ibrahim ‘Alaihis
Salam, maka jika Dia berkenan untuk menjaganya, maka sudah sewajarnya
karena rumah itu adalah rumahNya. Akan tetapi jika Dia tidak berkenan untuk
menjaganya, maka demi Allah kami sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk
menjaganya”.
Mendengar jawaban tersebut, Hunathah
berkata kepadanya: “Baiklah, kalau begitu ikutlah denganku, karena raja
menyuruhku untuk membawamu ke hadapannya”.
‘Abdul Muththalib-pun ikut bersamanya
menuju kemah Abrahah bersama beberapa orang anaknya, sesampainya di perkemahan tentara,
dia segera bertanya mengenai keadaan temannya Dzu Nafar apakah dia baik-baik
saja ataukah tidak?.
Akan tetapi tidak ada seorangpun yang
menjawabnya hingga dia diantarkan ke sebuah kemah tempat Dzu Nafar di tahan,
ketika melihatnya ‘Abdul Muththalib langsung bertanya kepadanya: “Wahai Dzu
Nafar, apakah engkau mempunyai kemampuan untuk menolong kami menghadapi cobaan
yang akan segera menimpa kami?”.
Dzu Nafar menjawab: “Kekuatan apakah yang
sekiranya dimiliki oleh seseorang yang sedang berada dalam tawanan seorang raja
yang sedang menunggu waktu tepat untuk membunuhnya di pagi maupun sore hari?. Sungguh
kami sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolongmu menghadapi cobaan
yang akan menimpamu. Kecuali mungkin masih tersisa padaku sebuah kemampuan yang
terwujud pada pertemananku dengan Unais sang pengendali gajah. Aku akan
mengirim seorang utusan kepadanya demi memberitahukan kepadanya perihal kedudukanmu
dan bahwa engkau perlu untuk bertemu dengan raja dalam waktu dekat, maka jika
engkau telah bertemu dengannya maka ceritakanlah seluruh keluh kesahmu padanya,
karena mungkin saja dia bisa memberikan sedikit pertolongan kepadamu dan kaummu
jika raja berkenan mengabulkan permohonannya”.
‘Abdul Muththalib menimpali perkataan
kawannya tersebut dengan berkata: “Itu semua cukup bagiku”.
Setelah itu Dzu Nafar segera mengirim utusan
kepada Unais sembari membawa pesan darinya yang berbunyi: “Sesungguhnya Abdul
Muththalib adalah pemuka dan pemimpin suku Quraisy sekaligus pemilik rombongan
kafilah dagang Makkah. Dia senantiasa memberi makan orang-orang di lembah-lembah
Makkah, begitu juga dengan hewan-hewan liar, dia memberi makan hewan-hewan
tersebut di puncak-puncak gunung. Dan sungguh sang raja telah merampas 200 ekor
unta miliknya, maka mintalah kepadanya agar ia berkenan mengembalikan unta-unta
tersebut kepada Abdul Muththalib sang pemilik sah dari unta-unta tersebut, dan
jika bisa tolonglah dia dihadapan raja semampumu”.
Unais menjawab pesan tersebut dengan
mengatakan: “Baiklah, akan aku lakukan”.
Setelah itu Unais segera menemui Abrahah
dan berkata kepadanya: “Wahai raja, sang pemimpin suku Quraisy telah menunggu
untuk dipersilahkan masuk di depan pintumu, dan dia juga sekaligus sebagai
pemilik kafilah dagang Makkah. Dia senantiasa memberi makan manusia di
lembah-lembah, sementara hewan-hewan liar dia memberi mereka makan di atas puncak-puncak
gunung. Maka izinkanlah dia untuk menemuimu agar dia bisa menyampaikan hajat
dan kebutuhannya”. Abrahah-pun mengizinkan Abdul Muththalib untuk masuk.
Abdul Muththalib adalah seseorang yang
sangat tampan dan memiliki tubuh tinggi besar, dan ketika Abrahah melihatnya
dia langsung menghormatinya dan menganggap bahwa dia tidak berhak untuk duduk
di singgasananya akan tetapi dia harus duduk bersama Abdul Muththalib sama
tinggi dan sama rendah.
Dan karena dia khawatir akan perbuatan dan
prasangka buruk para pengawalnya yang berkebangsaan Habasyah jika mereka sampai
melihat bahwa Abdul Muththalib telah dengan berani duduk di singgasana raja,
maka dia memutuskan untuk duduk bersama Abdul Muththalib di karpet, kemudian
dia berkata kepada penerjemah yang dibawanya: “Katakan kepadanya: apa
kebutuhanmu?”.
Si penerjemah-pun menanyakannya kepada
Abdul Muththalib, Abdul Muththalib sendiri segera menjawab: “Kebutuhanku adalah
agar raja mengembalikan 200 ekor unta milikku yang telah dirampasnya”.
Mendengar jawaban ini, Abrahah berkata
kepada penerjemahnya: “Katakan kepadanya: ketika pertama kali melihatmu engkau
membuatku takjub, akan tetapi setelah berbicara denganmu seketika rasa hormatku
kepada dirimu hilang. Apakah tujuan kedatanganmu ini hanya demi membicarakan
200 ekor unta milikmu yang aku rampas, sementara aku hendak menghancurkan rumah
suci yang selama ini engkau dan nenek moyangmu agung-agungkan dan engkau sama
sekali tidak membahasnya?!”.
Abdul Muththalib berkata kepadanya: “Sungguh
diriku ini hanyalah seorang pemilik unta, dan sungguh rumah suci itu juga
memiliki sang pemilik yang akan menjaganya!”.
Abrahah menimpali perkataan Abdul
Muththalib dengan mengatakan: “Si pemilik rumah suci itu tidak akan bisa
menjaga rumahnya dari seranganku!”.
Abdul Muththalib menjawab: “Baiklah, kalau begitu
kita tunggu saja apa yang akan terjadi!”.
Dikatakan juga oleh sebagian ulama bahwa
konon ada 2 orang yang ikut bersama Abdul Muththalib menghadap Abrahah, yang
pertama bernama Ya’mur Nufatsah bin Adi bin ad-Du’l bin Bakr bin Manat bin
Kinanah pemimpin suku Bani Bakr.
Dan yang kedua bernama Khuwailid bin Wailah
al-Hudzaliy pemimpin suku Hudzail, mereka bertiga menawarkan kepada Abrahah
sepertiga dari harta perbendaharaan Tihamah dengan syarat dia harus pulang
kembali ke Yaman dan jangan sekali-kali menghancurkan Ka’bah. Akan tetapi
Abrahah menolak tawaran mereka bertiga. Dan Allah (‘Azza Wa Jalla) lebih
mengetahui apakah hal ini benar-benar terjadi atau tidak, akan tetapi yang
pasti adalah bahwa Abrahah mengembalikan ke-200 ekor unta yang dirampasnya
kepada Abdul Muththalib setelah dialog antara mereka berdua”.
Berkata Ibnul Atsir: “Ketika Abdul
Muththalib menerima unta-untanya, dia segera mengikat unta-unta tersebut dan berniat
untuk menjadikannya sebagai hewan sembelihan kurban, kemudian setelah itu dia
menyebar unta-untanya tersebut disekitar Ka’bah, agar jika sekiranya ada diantara
pasukan Abrahah yang mengambilnya maka Allah (‘Azza Wa Jalla) akan marah
(dan tentunya akan menurunkan adzab bagi orang tersebut beserta seluruh
temannya)”.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya: “Ketika
mereka bertiga telah selesai berbicara dengan Abrahah, mereka semua segera
pergi menuju suku masing-masing, sementara Abdul Muththalib pergi ke sukunya suku
Quraisy.
Ketika sampai di tengah-tengah suku Quraisy,
dia memberitahu mereka perihal apa yang telah terjadi di kemah Abrahah
sekaligus menyuruh mereka untuk segera keluar dari Makkah menuju pegunungan dan
lembah yang mengelilingi kota demi berlindung dari tentara Abrahah.
Ketika semuanya telah pergi menuju
pegunungan, Abdul Muththalib segera pergi ke depan Ka’bah bersama beberapa
orang yang tersisa dari suku Quraisy. Sembari memegang gagang pintu Ka’bah,
Abdul Muththalib beserta kawan-kawannya berdo’a meminta pertolongan kepada
Allah (‘Azza Wa Jalla) untuk menjaga Ka’bah dari keburukan yang hendak
ditimpakan kepadanya oleh Abrahah dan pasukannya.
Abdul Muththalib berkata sembari memegang
gagang pintu Ka’bah:
“Ya Allah, sesungguhnya seorang hamba
senantiasa mempertahankan harta bendanya…
Maka oleh karena itu pertahankanlah olehMu
kehormatan-kehormatanMu…
Jangan sampai salib dan kekuatan mereka…
Mampu mengalahkan kekuasaanMu pada esok
hari…
Jika Engkau meninggalkan mereka beserta
kiblat kami…
Maka lakukanlah apa yang memang menjadi
ketentuanMu…”.
Berkata Ibnul Atsir dan Ibnu Jarir bahwa
Abdul Muththalib melantunkan pula bait-bait berikut:
“Wahai Tuhanku aku sama sekali tidak
mengharapkan pertolongan selain darimu…
Wahai Tuhanku oleh karena itu halangilah
mereka dengan kekuasaanMu…
Sungguh siapa saja yang memusuhi rumah suci
maka pasti dia juga memusuhiMu…
Halangilah mereka dari menghancurkan kotaMu…”.
Juga bait-bait berikut:
“Ya Allah, sesungguhnya seorang hamba
senantiasa mempertahankan harta bendanya…
Maka oleh karena itu pertahankanlah olehMu
kehormatan-kehormatanMu…
Jangan sampai salib dan kekuatan mereka…
Mampu mengalahkan kekuasaanMu pada esok
hari…
Dan jika Engkau berbuat…
Sesuatu maka pasti Engkau menyelesaikannya…
Engkaulah yang jika kami di datangi oleh
penjahat…
Menjadi tempat kembali kami…
Maka seketika mereka berpaling dan tidak
mendapatkan kecuali…
Kehinaan dan Engkau menghancurkan mereka di
sana…
Aku tidak pernah mendengar sekalipun
sekelompok orang yang lebih hina…
Dari mereka yang berkeinginan untuk
memerangimu…
Mereka membawa pasukan yang sangat besar
dari negeri mereka…
Bersama serombongan gajah hanya demi
mengganggu keluargaMu…
Mereka hendak menyasar kekuasaanMu dengan
makar mereka…
Secara bodoh dan mereka sama sekali tidak
gentar terhadap kebesaranMu…”.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya: “Setelah
itu Abdul Muththalib melepaskan gagang pintu Ka’bah dan segera bergerak menuju pegunungan
tempat orang-orang Quraisy berlindung bersama sekelompok orang yang tadi berdo’a
bersamanya.
Dan akhirnya mereka semua berdiam diri
disana sembari menunggu apa yang akan dilakukan oleh Abrahah ketika dia memasuki
Makkah nantinya”. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Insya Allah cerita akan berlanjut di
artikel selanjutnya.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment