Hujan Badai, Gambar diambil dari Pixabay.com. |
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Kisah mengenai penyerangan Abrahah bersama
pasukan bergajah atas tanah suci Makkah al-Mukarramah dan Ka’bah al-Musyarrafah
mungkin adalah satu-satunya peristiwa dan kejadian penting yang diketahui oleh
masyarakat umum perihal apa saja yang terjadi pada masa kekuasaan Abrahah atas
tanah Yaman.
Pada asalnya kisah Abrahah dan pasukan
bergajah diatas bukanlah satu-satunya kejadian penting yang terjadi pada zaman
pemerintahan Abrahah, para ulama dan sejarawan muslim sendiri menyebutkan dalam
buku mereka masing-masing bahwa setidaknya ada 4 kejadian penting yang terjadi
pada zaman Abrahah.
Keempat kejadian ini adalah: 1). Pemberian
hak pembuatan undang-undang bagi ‘Ataudah sang budak (kisahnya telah saya
sampaikan pada artikel yang lalu), 2). Pernikahan Abrahah dengan seorang
wanita bernama Raihanah binti Alqamah, 3). Pembangunan gereja al-Qulais,
4). Penyerangan terhadap tanah suci Makkah al-Mukarramah dan Ka’bah al-Musyarrafah.
BACA JUGA:
SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 9).
SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 11).
Dengan terjadinya keempat kejadian diatas,
maka hancurlah pondasi yang menopang berdirinya kekuasaan bangsa Habasyah atas
tanah Yaman. Hal ini terbukti dengan jumlah raja berdarah Habasyah yang
memerintah tanah Yaman setelah terbunuhnya Aryath, dimana hanya ada dua raja
yang berhasil naik tahta dan memerintah Yaman, keduanya adalah Abrahah dan
putranya yang bernama Yaksum, hal ini (cerita mengenai kedua raja tersebut)
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah ad-Dainuriy dalam kitabnya al-Ma’arif.
Dan pada artikel kali ini saya akan menuliskan
kisah mengenai pernikahan Abrahah dengan seorang wanita bernama Raihanah binti
Alqamah.
Kisah mengenai pernikahan ini telah
dibawakan oleh Ibnul Atsir di dalam kitabnya al-Kamil fit-Tarikh, Ibnu
Jarir di dalam kitabnya Tarikhul Umam wal-Muluk dan as-Suhailiy di dalam
kitabnya ar-Raudhul Unuf. Dan saya akan berusaha mengambil cerita dari
ketiganya dan menggabungkannya menjadi satu.
Berkata Ibnu Jarir setelah menjelaskan
perihal masalah yang terjadi antara Abrahah dan Najasyi (kisah mengenai
asal-usul terjadinya masalah ini berikut penyelesaiannya telah saya sampaikan
pada salah satu artikel yang lalu): “Maka ketika Abrahah melihat bahwa Najasyi
telah mengampuninya dan merestuinya untuk menjadi gubernur bagi dirinya di
Yaman, dia mengutus beberapa orang menuju kediaman seorang lelaki bernama Abu
Murrah bin Dzi Yazin”.
Sebenarnya dalam penyebutan nama ini,
ketiga ulama diatas berbeda pendapat, dimana Ibnu Jarir
menyebutkan bahwa namanya adalah: Abu Murrah bin Dzi Yazin,
sementara as-Suhailiy menyebutkan bahwa namanya adalah: Abu
Murrah Saif bin Dzi Yazin, dan yang terakhir Ibnul Atsir
menyebutkan bahwa namanya adalah: Abu Murrah dengan
julukan Dzi Yazin. Wallahu A’lam versi mana yang lebih benar.
Lanjut ke kisah, Ibnu Jarir melanjutkan: “Sesampainya
para utusan tadi di kediaman Abu Murrah, mereka langsung melaksanakan perintah
kedua yaitu merampas dan membawa pergi istri Abu Murrah yang bernama Raihanah ibnatu
Alqamah bin Malik bin Zaid bin Kahlan, dan bapak Raihanah adalah seseorang yang
bernama Dzu Jadan (raja Himyar terakhir)”.
Ibnu Jarir mengatakan ketika menyebutkan silsilah
nasab Raihanah, bahwa dia adalah Raihanah ibnatu Alqamah dan
bukannya bintu, dimana kedua kalimat ini mempunyai arti yang
berbeda. Orang-orang arab biasa memakai kalimat ibnatu jika yang
mereka maksudkan setelah penyebutan nama anak adalah nama kakeknya dan bukan
nama ayahnya, jadi bisa kita artikan kalimat ibnatu sebagai cucu perempuan.
Berbeda halnya jika orang-orang arab
memakai kalimat bintu, jika mereka memakai kalimat ini setelah
menyebutkan nama anak, maka yang mereka maksudkan setelah penyebutan nama anak
adalah nama sang ayah dan bukan nama sang kakek, jadi kalimat bintu
bisa diartikan sebagai anak perempuan. Oleh karena itu kita melihat pada
perkataan Ibnu Jarir diatas bahwa beliau setelah menyebutkan silsilah nasab
Raihanah (yang seharusnya nama ayah Raihanah telah tersebutkan dalam silsilah
tersebut), beliau masih merasa perlu menyebutkan nama ayahnya yaitu Dzu
Jadan.
Lanjut ke kisah, Ibnu Jarir melanjutkan: “Raihanah
ini sebelum dirinya dirampas oleh Abrahah telah melahirkan bagi Abu Murrah
seorang anak bernama Ma’di Karib bin Abi Murrah (Ibnul Atsir mengatakan bahwa
Ma’di Karib inilah yang nantinya disebut sebagai Saif, orang yang akan membawa
pasukan Persia ke tanah Yaman demi mengusir orang-orang Habasyah). Dan setelah
dirinya dinikahi oleh Abrahah, dia melahirkan bagi Abrahah 2 orang anak, yang
pertama adalah anak laki-laki yang bernama: Masruq bin Abrahah, dan yang kedua
adalah anak perempuan bernama: Basbasah bintu Abrahah.
Setelah istrinya dirampas, Abu Murrah
segera melarikan diri dan kabur dari Yaman (menuju negeri Persia). Sementara Abrahah
tetap menjadi raja bersama dengan budaknya ‘Ataudah yang telah dia beri
keistimewaan, si ‘Ataudah ini hidup di Yaman layaknya seorang petinggi selama
beberapa waktu hingga akhirnya dia di bunuh oleh seseorang yang berasal dari
Himyar atau Khuts’am…”. Cerita mengenai kejadian ini telah saya jelaskan pada
artikel yang lalu.
Lalu bagaimanakah nasib Abu Murrah di
negeri Persia?....
Berkata as-Suhailiy: “Ketika pernikahan
antara Abrahah dan Raihanah telah terlaksana, Saif (menurut as-Suhailiy Abu
Murrah ini adalah Saif yang dikatakan oleh para ulama sebagai orang yang
membawa ke Yaman orang-orang Persia demi mengusir keluar orang-orang Habasyah
dari tanah Yaman) keluar dari Yaman menuju negeri Persia demi bertemu dengan
Kisra yang bernama Anusyiruwan dan meminta bantuan darinya untuk membebaskan
rakyat Yaman dari cengkraman orang-orang Habasyah, Kisra-pun mengabulkan
permintaannya dan berjanji akan memberinya bala bantuan sekaligus menyuruhnya
untuk istirahat barang sejenak sebelum bergerak dengan pasukan Persia menuju
Yaman, akan tetapi bantuan yang dijanjikan tersebut tak kunjung datang hingga memaksa
Saif untuk berdiam diri di negeri Persia selama bertahun-tahun lamanya dan
akhirnya dia wafat sebelum harapannya terwujud. Akan tetapi walau si pemilik
mimpi telah wafat, ternyata mimpi tersebut masih hidup, dimana anak Saif yaitu
Ma’di Karib datang menghadap Kisra menggantikan ayahnya dalam meminta bantuan…”.
Cerita mengenai pertemuan antara Ma’di Karib dan Kisra akan saya lanjutkan pada
artikel yang akan datang Insya Allah ketika waktunya telah cocok, karena pada
artikel kali ini saya hanya akan menceritakan perihal pernikahan Abrahah dengan
Raihanah saja.
Ibnul Atsir sendiri menceritakan secara
detail perihal kepergian Abu Murrah menuju negeri Persia di dalam kitabnya (beliau
menyebut Abu Murrah dengan sebutan Dzu Yazin sebagaimana Ibnu Jarir menyebutnya
dengan Abu Murrah dan as-Suhailiy menyebutnya dengan Saif), beliau berkata: “Kemudian
Dzu Yazin keluar dari Yaman, dia berjalan hingga sampai di negeri al-Hirah dan
berjumpa di sana dengan ‘Amr bin Hind, dimana dia meminta kepada ‘Amr untuk
menulis sebuah surat yang akan ditujukan kepada Kisra yang isinya adalah
penjelasan mengenai siapa dirinya, apa kedudukannya di Yaman dan juga
kebutuhannya yang mendesaknya untuk meminta bantuan kepada Kisra.
Setelah selesai menulis surat, ‘Amr berkata
kepada Dzu Yazin: “Sungguh setiap tahun aku senantiasa rutin berkunjung ke
negeri Persia dan mengunjungi Kisra, dan sekarang ini adalah waktunya”.
Mendengar hal ini, Dzu Yazin-pun memutuskan
untuk menetap bersama ‘Amr di negeri al-Hirah selama beberapa waktu hingga
akhirnya ‘Amr berangkat ke negeri Persia dan Dzu Yazin ikut dengannya. Sesampainya
disana, ‘Amr dan Dzu Yazin langsung berkunjung ke istana dan bertemu dengan
Kisra, Kisra sendiri ketika melihat Dzu Yazin dia langsung memuliakannya
sebagai orang terpandang di Yaman.
Setelah basa-basi selesai, Dzu Yazin segera
menjelaskan tujuan dari kunjungannya tersebut, dimana dia menjelaskan perihal
kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang-orang Habasyah di Yaman sekaligus
meminta bantuan untuk mengusir mereka dari tanah Yaman, tidak lupa Dzu Yazin
juga mengiming-imingi Kisra dengan kekayaan alam negeri Yaman sebagai tawaran
yang setimpal jika Kisra berkenan untuk mengabulkan permintaannya.
Mendengar itu semua, Kisra Anusyiruwan-pun
angkat bicara: “Sungguh aku sangat ingin membantumu menyelesaikan masalah yang
ada di negerimu, akan tetapi perjalanan yang harus ditempuh untuk bisa sampai
di negerimu sangatlah jauh dan dipenuhi rintangan. Oleh karena itu berikanlah kepadaku
beberapa waktu untuk memikirkan masalah ini lebih lanjut”.
Setelah itu Kisra memerintahkan para
pengawalnya untuk menjamu Dzu Yazin, dan menyediakan baginya tempat untuk
menginap, untuk kemudian Dzu Yazin-pun tinggal di penginapan yang telah disediakan
sembari menunggu keputusan Kisra, akan tetapi keputusan tersebut tak kunjung
datang hingga Dzu Yazin meninggal…”.
Akan tetapi sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh seseorang: “Cita-cita yang luhur itu tidak akan mati, walau
tidak di dukung oleh orang yang siap mati”.
Begitu juga perihalnya dengan cita-cita Dzu
Yazin untuk membebaskan rekan sebangsanya dari cengkraman orang-orang Habasyah,
walau dirinya telah meninggal dalam masa penantian yang tiada ujung, namun
cita-cita yang diembannya tetap hidup dan menjelma ke dalam diri anaknya yang
bernama Ma’di Karib, dimana anak ini setelah mendengar perihal cita-cita luhur
ayahnya, dia segera menemui Kisra dan meminta bantuan kepadanya demi mewujudkan
harapan ayahnya yang hampir saja pupus, dan berkat kegigihan ini Kisra-pun
berkenan untuk mengirim bersama Ma’di Karib pasukan Persia dengan jumlah yang
sangat banyak menuju Yaman dan membebaskan rakyat Yaman dari belenggu
orang-orang Habasyah. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Insya Allah kisah mengenai Ma’di Karib
bersama Kisra dan pasukan Persia akan saya ceritakan pada waktunya, dan Insya
Allah pada artikel selanjutnya saya akan membahas mengenai gereja Abrahah yang
sangat tersohor bernama al-Qulais. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment