Pemandangan Hutan Berkabut, Gambar diambil dari Pixabay.com. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.
Alhamdulillah pada artikel yang lalu saya
telah menyelesaikan pembahasan mengenai Hassan bin Tubba’ dan apa saja yang
terjadi setelah ia naik tahta, dan juga apa yang terjadi dari semenjak ia
terbunuh hingga naiknya Dzu Nuwas ke tampuk kekuasaan, yang juga menjadi
pertanda akan habisnya periode masa kekuasaan orang-orang Himyar atas tanah
Yaman, dan dimulainya periode masa kekuasaan bangsa-bangsa asing atas tanah tersebut.
Periode masa kekuasaan bangsa-bangsa asing
ini dibuka dengan peristiwa yang sangat terkenal, bahkan al-Qur’an-pun
mengabadikan peristiwa ini di dalam surat al-Buruj. Peristiwa ini di sebut
sebagai peristiwa pembakaran Ashhabul Ukhdud.
Tokoh yang berperan dalam kisah pembakaran
ini adalah Dzu Nuwas sendiri, adapun tokoh yang menjadi korban atas pembakaran
tersebut adalah seseorang yang bernama Abdullah bin ats-Tsamir juga ada seorang
shalih yang bernama Faimiyyun.
BACA JUGA:
SEJARAH YAMAN: DZU NUWAS MEMBUNUH LAKHNI’AH.
KISAH FAIMIYYUN DAN ASAL-USUL MASUKNYA AGAMA NASHRANI KE NEGERI NAJRAN (BAG, 2).
Sebelum kita masuk ke pembahasan saya ingin
menyebutkan sebuah informasi yang terlupakan dan tidak saya sebutkan pada
artikel yang lalu, yaitu masa pemerintahan Lakhni’ah. Berkata Ibnu Qutaibah
ad-Dainuriy: “Masa pemerintahan Lakhni’ah adalah selama 27 tahun”, dan beliau
mengatakan pula bahwa: “Masa pemerintahan Dzu Nuwas adalah 68 tahun”.
Berkata Ibnu Ishaq (pada artikel yang lalu
saya menyebutkan perkataan Ibnu Jarir, dan yang menyebabkan saya untuk
menyebutkan perkataan Ibnu Ishaq pada artikel kali ini adalah karena perkataan
yang dibawakan oleh Ibnu Jarir tersebut adalah perkataan Ibnu Ishaq dan bukan
perkataan beliau): “Di tanah Najran ada sekelompok orang yang menganut agama
Nashrani murni yang sesuai dengan isi dan tuntunan dari kitab suci Injil yang
dibawa oleh Nabi Isa (‘Alaihis Salam), mereka adalah orang-orang mulia
lagi istiqomah untuk selalu berada di atas jalan lurus tersebut (apapun yang
terjadi), mereka semua dipimpin oleh seseorang yang bernama Abdullah bin
ats-Tsamir.
Mereka semua tinggal dan menetap di tanah
Najran yang pada waktu itu negeri Najran tersebut terletak di tengah-tengah tanah
arab, dan seluruh negeri yang berada di sekeliling mereka menganut ajaran para
penyembah berhala. Adapun orang yang menuntun mereka untuk memeluk agama
Nashrani (agama yang berlaku pada zaman tersebut, karena agama Islam dan Nabi
Muhammad (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) belum di utus) adalah seorang
shalih yang dia ini termasuk ke dalam golongan segelintir orang yang masih
berpegang teguh dengan ajaran agama Nashrani murni, dimana sebagian besar orang
di seluruh penjuru dunia telah menganut ajaran agama Nashrani palsu yang sudah
di acak-acak ajarannya dan dicampuri dengan racun mematikan oleh para pendeta,
orang shalih ini bernama Faimiyyun.
Dimana pada suatu hari Faimiyyun ini
tinggal di tengah-tengah orang Najran, dan dia berhasil menunjuki mereka jalan
yang lurus, untuk kemudian menuntun mereka agar memeluk jalan tersebut sampai
akhir hayat dengan cara masuk ke dalam agama Nashrani”.
Ibnu Ishaq melanjutkan: “Telah menceritakan
kepadaku al-Mughirah bin Abi Lubaid dari Wahab bin Munabbih al-Yamaniy bahwa ia
(Wahab) berkata: “Bahwasanya agama Nashrani murni tersebut terletak di tanah
Najran, dan bahwasanya ada seseorang yang bernama Faimiyyun yang memeluk ajaran
murni dari agama tersebut.
Ia adalah seseorang yang shalih, rajin
beribadah, zuhud dalam urusan dunia, do’anya sangat terkabul dan juga ia adalah
seorang petualang yang gemar berkeliling dan mengunjungi desa-desa asing. Adapun
yang menyebabkan dia gemar berpetualang ke desa-desa asing adalah (padahal
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir bahwa dia ini berasal dari sebuah
desa yang terletak di pinggiran negeri Syam): karena ia sangat menyukai
keterasingan dan sangat membenci ketenaran, dimana jika ia mulai di kenal oleh
penduduk desa yang ia tempati tinggal, maka ia segera hengkang dari desa
tersebut dan pindah ke desa yang penduduknya sama sekali tidak mengenalnya.
Dia juga mempunyai prinsip yang selalu ia
pegang, dimana ia tidak akan memakan sesuatu kecuali jika sesuatu tersebut ia dapatkan
dari jerih payahnya sendiri, profesi sehari-harinya adalah pekerja bangunan
karena ia sangat ahli dalam masalah membuat batu bata.
Faimiyyun sendiri sangat memuliakan hari
Ahad, dimana jika datang hari Ahad maka dia akan berhenti dari seluruh
pekerjaan yang bersifat duniawi dan lebih memilih untuk fokus beribadah kepada
Allah (‘Azza Wa Jalla). Semenjak pagi hingga sore ia akan menyendiri di
sebuah tanah kosong yang jarang di kunjungi oleh masyarakat sekitar
menghabiskan waktunya untuk sholat dan berdzikir.
Sampai suatu hari ketika Faimiyyun sedang
menetap di sebuah desa yang terletak di tanah Syam dan dia sedang menunaikan
rutinitas hari Ahadnya dan ia sangat yakin bahwa rutinitasnya ini belum di
ketahui oleh seorangpun yang tinggal di desa tersebut, ternyata ia sangat
keliru karena selama beberapa hari ada seseorang yang senantiasa memperhatikannya
melakukan rutinitas tersebut, orang ini bernama Shalih.
Semakin banyak Shalih memperhatikan
gerakan-gerakan sembahyang Faimiyyun semakin ia takjub atas diri dan ajaran
yang dipeluk oleh Faimiyyun, sampai-sampai ia nekad membuntuti Fimiyyun setiap
hari Ahad menuju tengah hutan, dan Faimiyyun sendiri semenjak ia tiba di desa
tersebut sampai Ahad kesekian ketika Shalih mengikutinya ke tengah hutan belum
menyadari bahwa seseorang sedang mengamatinya di suatu tempat di tengah hutan
tersebut…”.
Insya Allah cerita akan berlanjut ke
artikel selanjutnya. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment