Hujan Badai, Gambar diambil dari Pixabay.com. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Berkata Ibnu Ishaq ketika bercerita
mengenai percekcokan antara Aryath dan Abrahah: “Maka Aryath-pun berkuasa di
Yaman selama beberapa tahun sebelum Abrahah membuat masalah dengannya perihal urusan
orang-orang Habasyah di Yaman.
Ketika akhirnya pada suatu hari Abrahah
membuat masalah perihal urusan orang-orang Habasyah di Yaman, terpecah belahlah
para pasukan Habasyah menjadi 2 bagian. Dimana 1 bagian lebih memilih untuk
mengikuti Aryath sebagai pemimpin resmi yang ditunjuk oleh Najasyi, dan 1
bagian yang lain lebih memilih untuk mengikuti Abrahah.
BACA JUGA:
SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 7).
SEJARAH YAMAN: KISAH DAUS DZU TSA’LABAN,ABRAHAH DAN PASUKAN BERGAJAH (BAG, 9).
Kedua kelompok ini tidak bisa menahan diri
lebih lama lagi, hingga keduanya memutuskan untuk menguji kekuatan
masing-masing di sebuah medan perang, siapakah sekiranya yang lebih kuat dan
lebih berhak untuk memerintah tanah Yaman atas nama bangsa Habasyah (Etiopia)?.
Ketika kedua kelompok ini semakin mendekat
dan hampir saja peperangan meletus, tiba-tiba seorang kurir datang dan
menghadap kepada Aryath sembari memberikan kepadanya sebuah surat dari Abrahah
yang berbunyi: “Sungguh, janganlah sekali-kali engkau nekat mengadukan antara sesama
orang Habasyah hingga mereka saling menghabisi satu sama lain. Akan tetapi
sebagai gantinya, bagaimana jika engkau keluar dari perlindungan pasukanmu
begitu juga dengan diriku, dan kita akan bertemu untuk berduel di sebuah tanah
lapang dimana pasukan kita mengelilingi kita. Maka siapa saja yang berhasil
membunuh lawannya terlebih dahulu, dialah yang akan diangkat sebagai raja resmi
bagi bangsa Habasyah yang ada di Yaman!”.
Adapun as-Suhailiy menyebutkan 2 riwayat di
dalam bukunya mengenai sebab percekcokan ini, salah satunya dia ambil dari
perkataan Ibnu Ishaq seperti yang telah saya sebutkan diatas, sementara yang
kedua berbunyi sebagaimana berikut, berkata as-Suhailiy: “Dan mereka
menyebutkan sebab percekcokan antara Aryath dan Abrahah, bahwa percekcokan ini
dimulai dari sebuah surat yang dikirim oleh Abrahah kepada Najasyi, dimana
dalam surat tersebut Abrahah memberitahu Najasyi bahwa Aryath telah bertindak
semena-mena dengan cara menguasai seluruh harta rampasan maupun perbendaharaan
Yaman untuk dirinya sendiri, dimana dia sama sekali tidak memberikan walau
sedikit dari harta tersebut kepada dirinya maupun Najasyi, begitu juga halnya
dengan singgasana Yaman.
Ketika mendengar pengaduan ini, Aryath
segera bergerak bersama pasukannya menuju tempat tinggal Abrahah, dan semenjak
itulah Abrahah mengajak duel Aryath…”.
Kembali ke kisah Ibnu Ishaq, beliau melanjutkan:
“Setelah membaca surat Abrahah, Aryath mengirim surat balasan yang berbunyi: “Ide
yang bagus, mari kita berduel!”.
Maka Abrahah segera keluar menuju tempat
berduel, dan dia adalah seseorang yang bertubuh pendek lagi gempal juga
seseorang yang taat beragama. Aryath-pun juga segera muncul di tempat berduel,
dan dia adalah seseorang yang bertubuh tinggi besar lagi memiliki paras rupawan,
Aryath muncul sembari membawa tombak di tangannya.
Akan tetapi rupanya Abrahah dengan
kecerdikannya lebih unggul dari Aryath dalam masalah strategi yang telah dia
pikirkan secara matang, dimana dia memerintahkan salah satu budaknya yang
bernama ‘Ataudah untuk bersiaga di belakangnya sekaligus menjaga punggungnya
jika sekiranya Aryath mengincar punggungnya di tengah duel. (Walaupun sebenarnya
Aryath sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menyerang punggung Abrahah
berkat strategi liciknya tersebut).
Ketika keduanya telah siap, Aryath melempar
tombaknya lebih dahulu sebelum Abrahah sempat memberikan serangan, sasaran
Aryath adalah tulang tengkorak bagian atas yang terletak dekat ubun-ubun, akan
tetapi ternyata tombaknya meleset dan malah mengenai dahi Abrahah, dimana tombak
tersebut membuat sedikit celah atau belahan yang memanjang dari atas sampai
bawah pada dahi, mata, hidung dan bibir Abrahah. Karena sebab adanya belahan
tersebutlah Abrahah sering di panggil sebagai Abrahah al-Asyram (yakni Abrahah
yang terbelah (mukanya)).
Melihat tidak adanya lagi senjata dalam
genggaman Aryath, juga melihat adanya sebuah kesempatan emas dimana Aryath baru
saja selesai menyerang, dan tentunya jika seseorang baru saja menyerang maka
dia membutuhkan sepersekian detik untuk mempersiapkan serangan berikutnya,
senggang waktu inilah yang dilihat oleh ‘Ataudah dan dia gunakan sebaik-baiknya
dengan segera melemparkan serangannya dan berhasil mengenai Aryath dengan telak
dan berhasil membunuhnya.
Ketika pasukan Aryath melihat komandannya
tergeletak tanpa daya akibat serangan yang berasal dari pihak Abrahah, maka
mereka melihat bahwa yang berhak naik tahta menggantikan Aryath adalah Abrahah,
maka dengan ini bergabunglah kedua kekuatan Habasyah tersebut menjadi satu
kesatuan yang kuat dan terpadu sebagaimana sedia kala.
Kemudian setelah itu Abrahah membayar ke
keluarga Aryath yang sedang berduka sebuah bayaran yang dianggap sebagai
pengganti dari darah yang telah tumpah, bayaran ini bernama bayaran diyath”.
Dalam agama Islam sendiri para pembunuh
maupun orang-orang yang berniat untuk membunuh diancam dengan bayaran diyath
yang sangat tinggi, hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad (Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam) yang berbunyi: {“Bayaran diyath bagi yang membunuh sebuah
jiwa yang mukmin adalah sebanyak 100 unta…”}(hadits ini diriwayatkan oleh Imam
an-Nasa’i dengan nomor hadits: 4857, dan di shahihkan oleh Imam al-Albaniy).
Tentunya selain ancaman lewat bayaran
diyath, para pembunuh juga diancam dengan kekekalan di dalam api neraka,
kemurkaan Allah (‘Azza Wa Jalla) atasnya, juga laknatNya atas si
pembunuh dan adzab yang sangat pedih (lihat: surat an-Nisa’, ayat: 93).
Mereka juga di wanti-wanti oleh agama Islam
dengan ancaman psikologis yang berbunyi: “Siapa saja yang membunuh sebuah jiwa
secara sengaja maupun berbuat kerusakan diatas muka bumi bagaimanapun
bentuknya, maka seakan-akan orang tersebut telah membunuh semua manusia yang
ada diatas muka bumi ini (lihat surat al-Maidah, ayat: 32).
Selain ancaman agar tidak membunuh sesama
muslim, agama Islam juga melarang kaum muslimin untuk membunuh orang-orang
kafir, baik itu yang beragama Kristen, Yahudi, Majusi dan lain-lainnya sebagai
bentuk penghormatan kepada jiwa manusia.
Nabi Muhammad (Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam) bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i
dan Imam at-Tirmidzi (nomor: 1413) dan dihasankan oleh Imam al-Albaniy, Nabi
bersabda: {“Bayaran diyath seorang mu’ahad adalah setengah dari bayaran diyath
seorang muslim…”}.
Akan tetapi siapakah mu’ahad itu?, mereka
adalah orang-orang kafir yang telah memiliki perjanjian dengan kaum muslimin,
baik itu perjanjian damai maupun ikatan dan hubungan diplomatik antar negara.
Orang kafir di dalam islam sendiri terbagi
menjadi 4 macam, 3 diantaranya adalah mu’ahad yang sama sekali tidak boleh
dibunuh maupun di perangi, bahkan jika ada seorang muslim yang memerangi mereka
maka akan diancam dengan tidak bisa mencium bau surga (jika baunya saja tidak
bisa di cium, maka bagaimana dengan memasukinya?).
Nabi Muhammad (Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam) bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (nomor:
3166), hadits ini dibawakan oleh sahabat Abdullah bin ‘Amr (Radhiyallahu ‘Anhu),
beliau (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) bersabda: {“Siapa saja yang
membunuh mu’ahad, maka dia tidak akan mencium bau surga”}. Seperti yang
saya katakan diatas: jika mencium bau surga saja tidak bisa, maka bagaimana dengan
memasukinya?.
Kaum mu’ahad ada 3 macam: 1). Orang kafir
yang tinggal di negeri muslim. 2). Orang kafir yang tinggal di sebuah negara
yang memiliki hubungan diplomatik dengan negara muslim. 3). Orang kafir yang
berkunjung ke negeri muslim dan telah mendapat jaminan keamanan dari pemerintah
negeri muslim tersebut untuk tinggal dan menetap selama kurun waktu yang telah
ditentukan (seperti: turis, pelajar, pebisnis, dll).
Adapun yang terakhir dari 4 macam orang
kafir adalah: orang kafir yang boleh diperangi, dengan syarat: mereka memerangi
kaum muslimin secara jelas dan terang-terangan. Adapun jika bukti-bukti yang
menunjukkan penyerangan mereka kepada kaum muslimin masih abu-abu dan tidak
jelas benar atau tidaknya, maka hukumnya di kembalikan sebagaimana semula
(yakni tidak boleh diperangi). Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Kembali ke kisah Abrahah, Ibnu Ishaq
setelah menjelaskan perihal terbunuhnya Aryath, beliau lanjut menjelaskan
perihal sumpah Najasyi untuk tidak mati hingga dia berhasil menghukum Abrahah,
juga perihal surat permohonan maaf Abrahah yang dia kirimkan kepada Najasyi bersama
botol yang berisi segenggam pasir, sejumput rambut ubun-ubun dan segenang
darahnya sendiri, kemudian setelah itu Najasyi mengampuninya dan menjadikannya
gubernur untuk wilayah Yaman dan sekitarnya. Cerita mengenai ini semua telah
saya sebutkan di artikel yang lalu.
Dan Insya Allah pada artikel selanjutnya
saya akan menjelaskan perihal siapakah ‘Ataudah, dan kisahnya bersama Abrahah
dan rakyat Yaman. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment