Tuesday, August 17, 2021

ASAL-USUL TERJALINNYA HUBUNGAN ANTARA RASULULLAH DENGAN BADZAN (BAG, 1).

 

Matahari Terbit, Gambar diambil dari Pixabay.com.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Pada hari Senin di permulaan bulan Dzul Qa’dah tahun 6 Hijriah, Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) keluar bersama para sahabat menuju kota Makkah untuk melaksanakan ibadah Umrah di Masjidil Haram.

Jumlah keseluruhan para sahabat yang ikut bersama Nabi pada waktu itu adalah 1.400 orang yang berasal dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) dan para sahabat pada waktu itu keluar dari Madinah sambil membawa hewan-hewan yang diniatkan untuk di sembelih nantinya jika ibadah Umrah telah selesai dilaksanakan. Hal ini sekaligus menjadi pertanda bagi semua musuh-musuhnya di seluruh penjuru jazirah arab terkhusus suku Quraisy bahwa kedatangan beliau ke kota Makkah adalah dengan niat melakukan ibadah Umrah, dan beliau sama sekali tidak berniat untuk mengadakan kerusuhan dan peperangan disana.

Jadi dari sini sudah jelas bahwa beliau sama sekali tidak berniat untuk memerangi suku Quraisy pada perjalanannya kali ini ke kota Makkah, dimana beliau hanya ingin melaksanakan ibadah Umrah sebagaimana suku-suku arab lain yang bisa dengan bebas melaksanakan ibadah Haji setiap tahunnya.

BACA JUGA:

SEJARAH YAMAN: KISAH PARA GUBERNUR KISRA ATAS NEGERI YAMAN. 

ASAL-USUL TERJALINNYA HUBUNGAN ANTARARASULULLAH DENGAN BADZAN (BAG, 2).

Akan tetapi bagaimanapun juga, suku Quraisy yang memang sejak awal telah menjadi musuh terbesar Nabi di jazirah arab, tetap pada pendiriannya bahwa kedatangan Nabi dan para sahabat adalah demi mengadakan peperangan dengan mereka dan bukannya demi melaksanakan ibadah Umrah. Oleh karena itu mereka mengutus Khalid bin Walid yang pada saat itu belum masuk Islam bersama 200 pasukan kavaleri penunggang kuda untuk menghalangi kaum muslimin agar mereka tidak bisa memasuki Makkah.

Maka karena adanya sepasukan berkuda yang menunggunya di jalan yang akan dilewatinya, beliau pun memutuskan untuk mengambil rute lain untuk masuk ke dalam kota Makkah dimana beliau berjalan pada rute baru tersebut hingga sampai di daerah al-Hudaibiyyah. Rute baru ini adalah rute yang ditempuh lewat bagian bawah sebelah kanan dari kota Makkah.

Sesampainya beliau di daerah al-Hudaibiyyah, beliau memutuskan untuk mendirikan kemah dan beristirahat disana, dan disaat beliau beristirahat inilah utusan-utusan suku Quraisy berdatangan ke kemah beliau demi mengorek lebih dalam lagi tujuan dari kedatangan beliau tersebut. Dimana mereka berpikir bahwa Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) memiliki tujuan lain dari kedatangannya tersebut walau bukti-bukti telah dengan begitu jelasnya menunjukkan bahwa Nabi datang dengan damai dan tidak ada sama sekali niat untuk memerangi suku Quraisy.

Utusan yang pertama adalah seseorang yang bernama Budail bin Warqa’ al-Khuza’iy, sesampainya dia di perkemahan Nabi dan para sahabat, Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) segera mengatakan kepadanya bahwa beliau dan para sahabat sama sekali tidak memiliki niat untuk memerangi suku Quraisy dalam perjalanannya kali ini, karena yang diinginkan oleh beliau hanyalah mengadakan ibadah Umrah. Maka oleh karena itu beliau siap untuk mengadakan perjanjian damai dan gencatan senjata dengan suku Quraisy. Akan tetapi jika suku Quraisy tetap bersikeras untuk mengajak berperang, maka beliau akan meladeni mereka hingga tidak tersisa lagi kecuali 2 pilihan yaitu: 1). Leher beliau putus, yakni beliau mati dalam peperangan tersebut, atau 2). Allah (‘Azza Wa Jalla) menakdirkan sesuatu yang lain.

Mendengar pernyataan tegas dari Nabi tersebut, suku Quraisy tetap belum puas, maka mereka mengutus utusan kedua yang bernama Mikraz bin Hafsh. Sesampainya Mikraz di perkemahan kaum muslimin, Rasulullah mengatakan kepadanya sebuah perkataan yang sama persis dengan apa yang beliau katakan kepada Budail.

Akan tetapi suku Quraisy belum juga puas hingga mereka kembali mengutus utusan ketiga yang bernama al-Hulais bin Ikrimah. Sesampainya al-Hulais di perkemahan kaum muslimin dia disambut oleh para sahabat yang sedang melantunkan lafadz-lafadz Talbiah yang isinya adalah pujian-pujian bagi Allah (‘Azza Wa Jalla). Maka ketika dia mendengar lantunan Talbiah tersebut, dia berkata: “Maha suci Allah, orang-orang seperti mereka ini sama sekali tidak boleh dihalang-halangi dari rumah suci Ka’bah. Apakah suku Lakhm, Judzam dan Himyar diperbolehkan untuk berhaji sementara anak ‘Abdul Muththalib dilarang untuk hanya sekedar mengunjungi Ka’bah?!. Sungguh celaka suku Quraisy demi Tuhannya Ka’bah (yakni Allah (‘Azza Wa Jalla)). Sungguh mereka ini hanya sekedar ingin melaksanakan ibadah Umrah!!”.

Maka ketika dia kembali ke kota Makkah, dia segera memberitahu suku Quraisy bahwa Nabi dan para sahabat hanya ingin melaksanakan ibadah Umrah dan tidak ada niat untuk berperang dalam diri mereka melawan suku Quraisy. Ketika mendengar perkataannya tersebut, orang-orang Quraisy berkata kepadanya: “Diamlah engkau arab badui, karena engkau tidak memiliki ilmu mengenai tipu daya dan makar!!”.

Kemudian utusan yang terakhir adalah seseorang yang bernama Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafiy, orang ini sangat tidak beradab ketika berbicara dengan Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam), dimana dia mengejek para sahabat sebagai sekumpulan orang rendahan yang sewaktu-waktu mereka bisa saja meninggalkan Nabi sendirian menghadapi suku Quraisy. Selain itu dia juga memegang janggut Nabi ketika dia sedang berbicara dengan beliau, maka jelas ini adalah bentuk penghinaan darinya kepada manusia semulia Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).

Akan tetapi walaupun sikapnya sangat kurang ajar, dia mampu mengambil sebuah gambaran sempurna mengenai sikap para sahabat ketika mereka duduk bersama Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam). Gambaran tersebut dia sampaikan kepada suku Quraisy sesampainya dia di tengah-tengah mereka, dia berkata: “Wahai sekalian suku Quraisy!, sungguh aku telah berjumpa dengan para raja dunia, Kisra, Kaisar dan Najasyi mereka semua telah pernah kutemui. Dan demi Allah aku tidak pernah melihat seorang raja-pun yang dimuliakan oleh pengikutnya sebaik pemuliaan para sahabat Muhammad kepada Muhammad.

Demi Allah, jika dia meludah maka pasti ludah tersebut tidak akan jatuh ke tanah, melainkan ludah tersebut akan jatuh ke tangan salah seorang dari sahabatnya (untuk diambil berkahnya, dan bukan untuk dipuja-puja ludah tersebut, karena yang membedakan antara ludah Nabi dengan ludah kita sebagai manusia biasa adalah: karena ludah Nabi sangat dipenuhi oleh keberkahan, oleh karena itu para sahabat saling berebut untuk menampung ludah tersebut ditangan mereka).

Maka setelah orang tersebut mendapatkan ludahnya, dia langsung mengoleskan ludah tersebut ke wajah dan kulitnya. Dan jika dia memerintahkan sesuatu, maka mereka pasti akan bersegera melaksanakan perintahnya tersebut. Dan jika dia berwudhu, maka mereka hampir saja saling bunuh untuk mendapatkan air wudhunya.

Dan jika dia berbicara, maka mereka langsung diam dan memelankan suara mereka. Mereka semua juga sama sekali tidak berani untuk menatapnya secara langsung karena saking hormatnya mereka kepadanya. Dan sungguh Muhammad ini telah mempersembahkan kepada kalian jalan yang lurus dan benar, maka ikutilah ajakannya!”.

Dan pada malam harinya, ada sekelompok pemuda yang berjumlah 70 atau 80 orang yang turun dari gunung Tan’im menuju perkemahan kaum muslimin demi menggagalkan seluruh usaha-usaha yang menjurus kepada perdamaian antara 2 pihak yakni suku Quraisy dan kaum muslimin. Akan tetapi para sahabat berhasil menangkap mereka semua, dan ketika mereka dibawa ke hadapan Nabi, beliau memutuskan untuk membebaskan mereka semua dan memaafkan perbuatan mereka sebagai bentuk penegasan bahwa beliau benar-benar datang dengan damai dan tidak berniat untuk berperang dengan suku Quraisy.

Setelah mendengar kabar mengenai penyerangan tersebut, suku Quraisy pun semakin bertambah gentar terhadap kaum muslimin, juga semakin menguatkan tekad mereka untuk mengadakan gencatan senjata bersama Nabi dan para sahabat (Radhiyallahu ‘Anhum). Ini semua sebagaimana yang dikisahkan dan dituliskan oleh syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuriy di dalam kitabnya yang berjudul Raudhatul Anwar fi Sirati an-Nabiyyil Mukhtar Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Ini adalah sebuah kisah yang menjadi sebab asal muasal dari terjalinnya hubungan antara Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) dan Badzan sang gubernur Kisra bagi negeri Yaman.

Dan Insya Allah kisah mengenai apa saja yang terjadi setelah malam penyerangan tadi akan berlanjut ke artikel selanjutnya. Wallahu A’lam Bish-Shawab.   

Was-Salam. 

 

 

 

0 comments:

Post a Comment