Matahari Terbit, Gambar diambil dari Pixabay.com. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Pada hari Senin di permulaan bulan Dzul
Qa’dah tahun 6 Hijriah, Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)
keluar bersama para sahabat menuju kota Makkah untuk melaksanakan ibadah Umrah
di Masjidil Haram.
Jumlah keseluruhan para sahabat yang ikut
bersama Nabi pada waktu itu adalah 1.400 orang yang berasal dari kalangan
Muhajirin dan Anshar. Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) dan para
sahabat pada waktu itu keluar dari Madinah sambil membawa hewan-hewan yang
diniatkan untuk di sembelih nantinya jika ibadah Umrah telah selesai
dilaksanakan. Hal ini sekaligus menjadi pertanda bagi semua musuh-musuhnya di
seluruh penjuru jazirah arab terkhusus suku Quraisy bahwa kedatangan beliau ke
kota Makkah adalah dengan niat melakukan ibadah Umrah, dan beliau sama sekali
tidak berniat untuk mengadakan kerusuhan dan peperangan disana.
Jadi dari sini sudah jelas bahwa beliau
sama sekali tidak berniat untuk memerangi suku Quraisy pada perjalanannya kali
ini ke kota Makkah, dimana beliau hanya ingin melaksanakan ibadah Umrah
sebagaimana suku-suku arab lain yang bisa dengan bebas melaksanakan ibadah Haji
setiap tahunnya.
BACA JUGA:
SEJARAH YAMAN: KISAH PARA GUBERNUR KISRA ATAS NEGERI YAMAN.
ASAL-USUL TERJALINNYA HUBUNGAN ANTARARASULULLAH DENGAN BADZAN (BAG, 2).
Akan tetapi bagaimanapun juga, suku Quraisy
yang memang sejak awal telah menjadi musuh terbesar Nabi di jazirah arab, tetap
pada pendiriannya bahwa kedatangan Nabi dan para sahabat adalah demi mengadakan
peperangan dengan mereka dan bukannya demi melaksanakan ibadah Umrah. Oleh
karena itu mereka mengutus Khalid bin Walid yang pada saat itu belum masuk
Islam bersama 200 pasukan kavaleri penunggang kuda untuk menghalangi kaum
muslimin agar mereka tidak bisa memasuki Makkah.
Maka karena adanya sepasukan berkuda yang
menunggunya di jalan yang akan dilewatinya, beliau pun memutuskan untuk
mengambil rute lain untuk masuk ke dalam kota Makkah dimana beliau berjalan
pada rute baru tersebut hingga sampai di daerah al-Hudaibiyyah. Rute baru ini
adalah rute yang ditempuh lewat bagian bawah sebelah kanan dari kota Makkah.
Sesampainya beliau di daerah
al-Hudaibiyyah, beliau memutuskan untuk mendirikan kemah dan beristirahat
disana, dan disaat beliau beristirahat inilah utusan-utusan suku Quraisy
berdatangan ke kemah beliau demi mengorek lebih dalam lagi tujuan dari
kedatangan beliau tersebut. Dimana mereka berpikir bahwa Rasulullah (Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam) memiliki tujuan lain dari kedatangannya tersebut walau
bukti-bukti telah dengan begitu jelasnya menunjukkan bahwa Nabi datang dengan
damai dan tidak ada sama sekali niat untuk memerangi suku Quraisy.
Utusan yang pertama adalah seseorang yang
bernama Budail bin Warqa’ al-Khuza’iy, sesampainya dia di perkemahan Nabi dan
para sahabat, Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) segera mengatakan
kepadanya bahwa beliau dan para sahabat sama sekali tidak memiliki niat untuk
memerangi suku Quraisy dalam perjalanannya kali ini, karena yang diinginkan
oleh beliau hanyalah mengadakan ibadah Umrah. Maka oleh karena itu beliau siap
untuk mengadakan perjanjian damai dan gencatan senjata dengan suku Quraisy.
Akan tetapi jika suku Quraisy tetap bersikeras untuk mengajak berperang, maka
beliau akan meladeni mereka hingga tidak tersisa lagi kecuali 2 pilihan yaitu:
1). Leher beliau putus, yakni beliau mati dalam peperangan tersebut, atau 2).
Allah (‘Azza Wa Jalla) menakdirkan sesuatu yang lain.
Mendengar pernyataan tegas dari Nabi
tersebut, suku Quraisy tetap belum puas, maka mereka mengutus utusan kedua yang
bernama Mikraz bin Hafsh. Sesampainya Mikraz di perkemahan kaum muslimin,
Rasulullah mengatakan kepadanya sebuah perkataan yang sama persis dengan apa
yang beliau katakan kepada Budail.
Akan tetapi suku Quraisy belum juga puas
hingga mereka kembali mengutus utusan ketiga yang bernama al-Hulais bin Ikrimah.
Sesampainya al-Hulais di perkemahan kaum muslimin dia disambut oleh para
sahabat yang sedang melantunkan lafadz-lafadz Talbiah yang isinya adalah
pujian-pujian bagi Allah (‘Azza Wa Jalla). Maka ketika dia mendengar
lantunan Talbiah tersebut, dia berkata: “Maha suci Allah, orang-orang seperti
mereka ini sama sekali tidak boleh dihalang-halangi dari rumah suci Ka’bah.
Apakah suku Lakhm, Judzam dan Himyar diperbolehkan untuk berhaji sementara anak
‘Abdul Muththalib dilarang untuk hanya sekedar mengunjungi Ka’bah?!. Sungguh
celaka suku Quraisy demi Tuhannya Ka’bah (yakni Allah (‘Azza Wa Jalla)).
Sungguh mereka ini hanya sekedar ingin melaksanakan ibadah Umrah!!”.
Maka ketika dia kembali ke kota Makkah, dia
segera memberitahu suku Quraisy bahwa Nabi dan para sahabat hanya ingin
melaksanakan ibadah Umrah dan tidak ada niat untuk berperang dalam diri mereka
melawan suku Quraisy. Ketika mendengar perkataannya tersebut, orang-orang
Quraisy berkata kepadanya: “Diamlah engkau arab badui, karena engkau tidak memiliki
ilmu mengenai tipu daya dan makar!!”.
Kemudian utusan yang terakhir adalah
seseorang yang bernama Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafiy, orang ini sangat tidak
beradab ketika berbicara dengan Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam),
dimana dia mengejek para sahabat sebagai sekumpulan orang rendahan yang
sewaktu-waktu mereka bisa saja meninggalkan Nabi sendirian menghadapi suku
Quraisy. Selain itu dia juga memegang janggut Nabi ketika dia sedang berbicara
dengan beliau, maka jelas ini adalah bentuk penghinaan darinya kepada manusia
semulia Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).
Akan tetapi walaupun sikapnya sangat kurang
ajar, dia mampu mengambil sebuah gambaran sempurna mengenai sikap para sahabat
ketika mereka duduk bersama Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).
Gambaran tersebut dia sampaikan kepada suku Quraisy sesampainya dia di
tengah-tengah mereka, dia berkata: “Wahai sekalian suku Quraisy!, sungguh aku
telah berjumpa dengan para raja dunia, Kisra, Kaisar dan Najasyi mereka semua
telah pernah kutemui. Dan demi Allah aku tidak pernah melihat seorang raja-pun
yang dimuliakan oleh pengikutnya sebaik pemuliaan para sahabat Muhammad kepada
Muhammad.
Demi Allah, jika dia meludah maka pasti
ludah tersebut tidak akan jatuh ke tanah, melainkan ludah tersebut akan jatuh
ke tangan salah seorang dari sahabatnya (untuk diambil berkahnya, dan bukan
untuk dipuja-puja ludah tersebut, karena yang membedakan antara ludah Nabi
dengan ludah kita sebagai manusia biasa adalah: karena ludah Nabi sangat
dipenuhi oleh keberkahan, oleh karena itu para sahabat saling berebut untuk
menampung ludah tersebut ditangan mereka).
Maka setelah orang tersebut mendapatkan
ludahnya, dia langsung mengoleskan ludah tersebut ke wajah dan kulitnya. Dan
jika dia memerintahkan sesuatu, maka mereka pasti akan bersegera melaksanakan
perintahnya tersebut. Dan jika dia berwudhu, maka mereka hampir saja saling
bunuh untuk mendapatkan air wudhunya.
Dan jika dia berbicara, maka mereka
langsung diam dan memelankan suara mereka. Mereka semua juga sama sekali tidak
berani untuk menatapnya secara langsung karena saking hormatnya mereka
kepadanya. Dan sungguh Muhammad ini telah mempersembahkan kepada kalian jalan
yang lurus dan benar, maka ikutilah ajakannya!”.
Dan pada malam harinya, ada sekelompok
pemuda yang berjumlah 70 atau 80 orang yang turun dari gunung Tan’im menuju
perkemahan kaum muslimin demi menggagalkan seluruh usaha-usaha yang menjurus
kepada perdamaian antara 2 pihak yakni suku Quraisy dan kaum muslimin. Akan
tetapi para sahabat berhasil menangkap mereka semua, dan ketika mereka dibawa
ke hadapan Nabi, beliau memutuskan untuk membebaskan mereka semua dan memaafkan
perbuatan mereka sebagai bentuk penegasan bahwa beliau benar-benar datang
dengan damai dan tidak berniat untuk berperang dengan suku Quraisy.
Setelah mendengar kabar mengenai
penyerangan tersebut, suku Quraisy pun semakin bertambah gentar terhadap kaum
muslimin, juga semakin menguatkan tekad mereka untuk mengadakan gencatan
senjata bersama Nabi dan para sahabat (Radhiyallahu ‘Anhum). Ini semua
sebagaimana yang dikisahkan dan dituliskan oleh syaikh Shafiyyur Rahman
al-Mubarakfuriy di dalam kitabnya yang berjudul Raudhatul Anwar fi Sirati
an-Nabiyyil Mukhtar Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Ini adalah sebuah kisah yang menjadi sebab
asal muasal dari terjalinnya hubungan antara Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam) dan Badzan sang gubernur Kisra bagi negeri Yaman.
Dan Insya Allah kisah mengenai apa saja
yang terjadi setelah malam penyerangan tadi akan berlanjut ke artikel
selanjutnya. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment