Thursday, August 5, 2021

SEJARAH YAMAN: KISAH SAIF BIN DZI YAZIN BERSAMA BANGSA PERSIA (BAG, 3).

 

Matahari Terbit, Gambar diambil dari Pixabay.com.

Bismillah…

Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.

Berkata Ibnu Ishaq ketika menceritakan perihal perjuangan yang dilakukan oleh Saif bin Dzi Yazin demi mendapatkan bantuan yang bisa membantunya untuk mengusir orang-orang Habasyah dari negerinya Yaman, beliau berkata: “Ketika masyarakat Yaman semakin menderita akibat perilaku semena-mena orang-orang Habasyah, keluarlah Saif bin Dzi Yazin dari Yaman menuju ke negeri Syam demi meminta bantuan dari Kaisar, konon orang ini dipanggil dengan sebutan Abu Murrah.

Sesampainya dia di istana Kaisar, dia langsung mengadukan seluruh perbuatan buruk yang dilakukan oleh orang Habasyah terhadap rakyat Yaman, dan dia juga meminta agar Kaisar berkenan membantunya dan membantu segenap rakyat Yaman untuk membebaskan diri dari cengkraman orang-orang Habasyah. Tidak cukup hanya dengan itu, dia juga mengiming-imingi Kaisar dengan janji bahwa jika Kaisar berkenan membantunya maka nanti jika rakyat Yaman berhasil membebaskan diri dari bangsa Habasyah, negeri Yaman akan tunduk kepada kekuasaan bangsa Romawi.

Akan tetapi sayangnya Kaisar sama sekali tidak mempedulikan Saif beserta seluruh janji-janjinya, maka dengan ini Saif terpaksa harus kembali ke tanah Yaman dengan tangan kosong”.

BACA JUGA:

SEJARAH YAMAN: KISAH SAIF BIN DZI YAZINBERSAMA BANGSA PERSIA (BAG, 2).

SEJARAH YAMAN: KISAH SAIF BIN DZI YAZINBERSAMA BANGSA PERSIA (BAG, 4).

Ibnul Atsir berkata mengenai penolakan Kaisar ini: “Karena sejatinya bangsa Romawi terkhusus Kaisar sendiri menganut agama yang sama dengan yang dianut oleh bangsa Habasyah, yakni agama Kristen”. (maka oleh karena itu kita bisa memahami penolakan Kaisar ini, karena persaudaraan atas dasar agama sejatinya lebih penting dari hanya sekedar iming-iming kekuasaan dunia).

Ibnu Ishaq melanjutkan: “Walau Saif mendapat penolakan dari Kaisar, dia sedikitpun tidak menyerah, karena setelah dia keluar dari negeri Syam dia segera berjalan menuju negeri al-Hirah yang berada di bawah pimpinan salah seorang gubernur Kisra yang bernama an-Nu’man bin al-Mundzir.

Sesampainya dia di hadapan an-Nu’man, dia segera mengadukan seluruh perlakuan-perlakuan buruk yang dilakukan oleh bangsa Habasyah terhadap dirinya dan segenap rakyat Yaman. Mendengar hal tersebut, an-Nu’man berkata: “Sesungguhnya diriku mempunyai hari khusus dalam satu tahun untuk bertatap muka dengan Kisra dan berbincang dengannya, maka tunggulah disini bersamaku hingga hari tersebut tiba”. Saif-pun setuju untuk menunggu disana bersamanya.

Kemudian ketika hari pertemuan tersebut tiba, keluarlah an-Nu’man bersama Saif menuju ke pusat negeri Persia. Sesampainya disana mereka segera masuk ke istana Kisra dan meminta izin untuk bertemu dengannya (dan tentu saja karena an-Nu’man adalah gubernur Kisra, dia dan Saif-pun di izinkan untuk masuk dan bertemu dengan Kisra).

Kisra sendiri setiap dia menerima tamu, dia akan duduk di singgasananya yang terdapat padanya mahkota kehormatannya. Mahkotanya sendiri berbentuk seperti timbangan yang sangat besar, yang dilebur padanya batu permata (Mirah Delima), Mutiara, dan Peridot menjadi satu dengan emas dan permata.

Karena teramat besar, maka mahkotanya digantungkan memakai rantai diatas singgasananya, leher Kisra sendiri tidak mampu untuk menahan berat dari mahkotanya tersebut. Oleh karena itu jika dia ingin duduk di singgasananya maka singgasana tersebut akan ditutupi dengan kain hingga Kisra duduk padanya dan memasang mahkotanya di kepalanya (dan mahkotanya masih tetap dalam keadaan tergantung), jika posisinya telah dirasa sempurna, barulah kain tersebut disingkap. Dan jika ada seseorang yang melihatnya ketika kain tersebut disingkap, niscaya orang tersebut akan langsung tunduk bersujud dihadapannya, dan hal inilah yang dilakukan oleh Saif bin Dzi Yazin ketika dia melihat Kisra”.   

As-Suhailiy berkata: “Berkata Ibnu Hisyam: “Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Ubaidah bahwa ketika Saif masuk menemui Kisra dia hanya menundukkan kepalanya dan tidak bersujud layaknya orang-orang yang lain. Melihat hal ini Kisra berkata: “Si dungu ini masuk melewati pintu yang ada dihadapanku dan sesampainya di sini dia hanya menundukkan kepalanya?”.

Para penjaga-pun segera menanyakan hal tersebut kepada Saif, dan Saif menjawab: “Sesungguhnya aku melakukan hal ini karena aku sedang tenggelam dalam kesedihan dan kegundah-gulanahan, dan karena sebab kesedihan itulah segala sesuatu menjadi sempit bagiku”. (begitu juga dengan keagungan yang dipancarkan oleh diri Kisra, seketika keagungan tersebut menjadi biasa-biasa saja di pandangan Saif lantaran dia telah tenggelam dalam kesedihan yang mendalam).

Ibnu Ishaq melanjutkan: “Setelah bangkit Saif segera berkata kepada Kisra (tentu saja dia bicara setelah an-Nu’man memperkenalkan dirinya kepada Kisra, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Jarir), dia berkata: “Wahai raja, kami telah dikalahkan di negeri kami sendiri oleh orang-orang asing!”.

Kisra bertanya: “Orang-orang asing yang mana?, apakah bangsa Habasyah atau bangsa Sind?”.

Saif menjawab: “Bangsa Habasyah. Sesungguhnya tujuan dari kedatanganku ini adalah untuk meminta bantuan darimu, dan jika kami telah terbebas dari cengkraman mereka maka negeri kami akan tunduk dibawah kekuasaanmu”.

Kisra berkata: “Negerimu itu jaraknya sangat jauh dan sangat sedikit pula kebaikannya (hasil-hasil alamnya). Dan aku sama sekali tidak bisa menyia-nyiakan tenaga tentara Persia untuk menjelajahi tanah arab, tidak ada alasan bagiku untuk melakukannya!”.

Setelah itu Kisra memerintahkan agar Saif diberi 10.000 dirham dan dipakaikan baju yang bagus, dan setelah menerima itu semua Saif segera keluar dari istana”.

Adapun Ibnul Atsir dan al-Muthahhir al-Maqdisiy mempunyai versi lain dari cerita mengenai pertemuan Kisra dengan Saif, Ibnul Atsir berkata: “Suatu hari Saif  mendapati Kisra sedang berkendara di luar istananya dan dia segera berdiri di depan hewan tunggangan Kisra mencegatnya agar berhenti sejenak, dia berkata kepada Kisra: “Sesungguhnya aku mempunyai harta warisan yang saat ini masih ada di tanganmu!”.

Kisra-pun segera turun dari hewan tunggangannya sembari memanggil Saif agar mendekat kepadanya, Kisra berkata: “Siapa kamu?, dan apa harta warisanmu?”.

Saif menjawab: “Aku adalah anak dari orang tua Yaman yang pernah meminta pertolongan kepadamu dan engkau berjanji untuk menolongnya, akan tetapi dia kemudian meninggal di depan pintumu. Maka janji itu sekarang adalah hak milikku dan harta warisanku!”.

Seketika Kisra teringat akan janjinya tersebut dan juga akan orang tua Yaman yang malang yang pernah ditemuinya, maka dia berkata kepada Saif: “Negerimu itu jaraknya sangat jauh dan sangat sedikit pula kebaikannya (hasil-hasil alamnya). Belum lagi jalan yang harus ditempuh sangatlah sulit, dan aku sama sekali tidak ingin menyia-nyiakan tenaga dan nyawa pasukanku (untuk menempuh perjalanan berbahaya seperti itu)!”. Setelah itu Kisra memerintahkan agar Saif diberi harta yang melimpah.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-Muthahhir al-Maqdisiy, akan tetapi ada sedikit perbedaan antara kedua cerita, dimana al-Muthahhir al-Maqdisiy mengatakan bahwa setelah Saif memperkenalkan diri, Kisra tetap melanjutkan perjalanannya hingga sampai di istana, dimana percakapan antara keduanya berlanjut di dalam istana tersebut. Dan setelah percakapan yang kurang lebih senada dengan yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnul Atsir diatas, dan juga setelah Kisra memberikan kepada Saif 10.000 dirham, pakaian-pakaian mewah, juga kendaraan untuk dipakai pulang ke Yaman, Kisra berkata kepada Saif: “Pulanglah engkau ke negerimu, karena sekarang engkau telah menjadi orang Yaman yang paling kaya!”.

Setelah itu sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq, al-Muthahhir al-Maqdisiy berkata bahwa Saif segera keluar dari istana sesudah mendapatkan semua harta diatas.

Apakah Saif telah kehilangan semangat juangnya setelah melihat gemerlap harta benda pemberian Kisra?, dan apakah gerangan yang akan dilakukannya dengan harta tersebut?.

Insya Allah cerita akan berlanjut di artikel selanjutnya. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Was-Salam.   

 

 

0 comments:

Post a Comment