Matahari Terbit, Gambar diambil dari Pixabay.com. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Berkata Ibnu Ishaq ketika menceritakan
perihal perjuangan yang dilakukan oleh Saif bin Dzi Yazin demi mendapatkan
bantuan yang bisa membantunya untuk mengusir orang-orang Habasyah dari
negerinya Yaman, beliau berkata: “Ketika masyarakat Yaman semakin menderita
akibat perilaku semena-mena orang-orang Habasyah, keluarlah Saif bin Dzi Yazin
dari Yaman menuju ke negeri Syam demi meminta bantuan dari Kaisar, konon orang
ini dipanggil dengan sebutan Abu Murrah.
Sesampainya dia di istana Kaisar, dia
langsung mengadukan seluruh perbuatan buruk yang dilakukan oleh orang Habasyah
terhadap rakyat Yaman, dan dia juga meminta agar Kaisar berkenan membantunya
dan membantu segenap rakyat Yaman untuk membebaskan diri dari cengkraman
orang-orang Habasyah. Tidak cukup hanya dengan itu, dia juga mengiming-imingi
Kaisar dengan janji bahwa jika Kaisar berkenan membantunya maka nanti jika
rakyat Yaman berhasil membebaskan diri dari bangsa Habasyah, negeri Yaman akan
tunduk kepada kekuasaan bangsa Romawi.
Akan tetapi sayangnya Kaisar sama sekali
tidak mempedulikan Saif beserta seluruh janji-janjinya, maka dengan ini Saif
terpaksa harus kembali ke tanah Yaman dengan tangan kosong”.
BACA JUGA:
SEJARAH YAMAN: KISAH SAIF BIN DZI YAZINBERSAMA BANGSA PERSIA (BAG, 2).
SEJARAH YAMAN: KISAH SAIF BIN DZI YAZINBERSAMA BANGSA PERSIA (BAG, 4).
Ibnul Atsir berkata mengenai penolakan
Kaisar ini: “Karena sejatinya bangsa Romawi terkhusus Kaisar sendiri menganut
agama yang sama dengan yang dianut oleh bangsa Habasyah, yakni agama Kristen”.
(maka oleh karena itu kita bisa memahami penolakan Kaisar ini, karena
persaudaraan atas dasar agama sejatinya lebih penting dari hanya sekedar iming-iming
kekuasaan dunia).
Ibnu Ishaq melanjutkan: “Walau Saif
mendapat penolakan dari Kaisar, dia sedikitpun tidak menyerah, karena setelah
dia keluar dari negeri Syam dia segera berjalan menuju negeri al-Hirah yang
berada di bawah pimpinan salah seorang gubernur Kisra yang bernama an-Nu’man
bin al-Mundzir.
Sesampainya dia di hadapan an-Nu’man, dia
segera mengadukan seluruh perlakuan-perlakuan buruk yang dilakukan oleh bangsa
Habasyah terhadap dirinya dan segenap rakyat Yaman. Mendengar hal tersebut,
an-Nu’man berkata: “Sesungguhnya diriku mempunyai hari khusus dalam satu tahun
untuk bertatap muka dengan Kisra dan berbincang dengannya, maka tunggulah
disini bersamaku hingga hari tersebut tiba”. Saif-pun setuju untuk menunggu disana
bersamanya.
Kemudian ketika hari pertemuan tersebut
tiba, keluarlah an-Nu’man bersama Saif menuju ke pusat negeri Persia. Sesampainya
disana mereka segera masuk ke istana Kisra dan meminta izin untuk bertemu
dengannya (dan tentu saja karena an-Nu’man adalah gubernur Kisra, dia dan
Saif-pun di izinkan untuk masuk dan bertemu dengan Kisra).
Kisra sendiri setiap dia menerima tamu, dia
akan duduk di singgasananya yang terdapat padanya mahkota kehormatannya. Mahkotanya
sendiri berbentuk seperti timbangan yang sangat besar, yang dilebur padanya
batu permata (Mirah Delima), Mutiara, dan Peridot menjadi satu dengan emas dan
permata.
Karena teramat besar, maka mahkotanya
digantungkan memakai rantai diatas singgasananya, leher Kisra sendiri tidak
mampu untuk menahan berat dari mahkotanya tersebut. Oleh karena itu jika dia
ingin duduk di singgasananya maka singgasana tersebut akan ditutupi dengan kain
hingga Kisra duduk padanya dan memasang mahkotanya di kepalanya (dan mahkotanya
masih tetap dalam keadaan tergantung), jika posisinya telah dirasa sempurna,
barulah kain tersebut disingkap. Dan jika ada seseorang yang melihatnya ketika
kain tersebut disingkap, niscaya orang tersebut akan langsung tunduk bersujud
dihadapannya, dan hal inilah yang dilakukan oleh Saif bin Dzi Yazin ketika dia
melihat Kisra”.
As-Suhailiy berkata: “Berkata Ibnu Hisyam: “Telah
menceritakan kepadaku Abu ‘Ubaidah bahwa ketika Saif masuk menemui Kisra dia
hanya menundukkan kepalanya dan tidak bersujud layaknya orang-orang yang lain. Melihat
hal ini Kisra berkata: “Si dungu ini masuk melewati pintu yang ada dihadapanku
dan sesampainya di sini dia hanya menundukkan kepalanya?”.
Para penjaga-pun segera menanyakan hal
tersebut kepada Saif, dan Saif menjawab: “Sesungguhnya aku melakukan hal ini karena
aku sedang tenggelam dalam kesedihan dan kegundah-gulanahan, dan karena sebab
kesedihan itulah segala sesuatu menjadi sempit bagiku”. (begitu juga dengan
keagungan yang dipancarkan oleh diri Kisra, seketika keagungan tersebut menjadi
biasa-biasa saja di pandangan Saif lantaran dia telah tenggelam dalam kesedihan
yang mendalam).
Ibnu Ishaq melanjutkan: “Setelah bangkit
Saif segera berkata kepada Kisra (tentu saja dia bicara setelah an-Nu’man
memperkenalkan dirinya kepada Kisra, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Jarir), dia berkata: “Wahai raja, kami telah dikalahkan di negeri kami
sendiri oleh orang-orang asing!”.
Kisra bertanya: “Orang-orang asing yang
mana?, apakah bangsa Habasyah atau bangsa Sind?”.
Saif menjawab: “Bangsa Habasyah. Sesungguhnya
tujuan dari kedatanganku ini adalah untuk meminta bantuan darimu, dan jika kami
telah terbebas dari cengkraman mereka maka negeri kami akan tunduk dibawah
kekuasaanmu”.
Kisra berkata: “Negerimu itu jaraknya
sangat jauh dan sangat sedikit pula kebaikannya (hasil-hasil alamnya). Dan aku
sama sekali tidak bisa menyia-nyiakan tenaga tentara Persia untuk menjelajahi
tanah arab, tidak ada alasan bagiku untuk melakukannya!”.
Setelah itu Kisra memerintahkan agar Saif
diberi 10.000 dirham dan dipakaikan baju yang bagus, dan setelah menerima itu
semua Saif segera keluar dari istana”.
Adapun Ibnul Atsir dan al-Muthahhir
al-Maqdisiy mempunyai versi lain dari cerita mengenai pertemuan Kisra dengan
Saif, Ibnul Atsir berkata: “Suatu hari Saif mendapati Kisra sedang berkendara di luar
istananya dan dia segera berdiri di depan hewan tunggangan Kisra mencegatnya
agar berhenti sejenak, dia berkata kepada Kisra: “Sesungguhnya aku mempunyai
harta warisan yang saat ini masih ada di tanganmu!”.
Kisra-pun segera turun dari hewan
tunggangannya sembari memanggil Saif agar mendekat kepadanya, Kisra berkata: “Siapa
kamu?, dan apa harta warisanmu?”.
Saif menjawab: “Aku adalah anak dari orang
tua Yaman yang pernah meminta pertolongan kepadamu dan engkau berjanji untuk
menolongnya, akan tetapi dia kemudian meninggal di depan pintumu. Maka janji
itu sekarang adalah hak milikku dan harta warisanku!”.
Seketika Kisra teringat akan janjinya
tersebut dan juga akan orang tua Yaman yang malang yang pernah ditemuinya, maka
dia berkata kepada Saif: “Negerimu itu jaraknya sangat jauh dan sangat sedikit
pula kebaikannya (hasil-hasil alamnya). Belum lagi jalan yang harus ditempuh sangatlah
sulit, dan aku sama sekali tidak ingin menyia-nyiakan tenaga dan nyawa
pasukanku (untuk menempuh perjalanan berbahaya seperti itu)!”. Setelah itu
Kisra memerintahkan agar Saif diberi harta yang melimpah.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Muthahhir al-Maqdisiy, akan tetapi ada sedikit perbedaan antara kedua
cerita, dimana al-Muthahhir al-Maqdisiy mengatakan bahwa setelah Saif
memperkenalkan diri, Kisra tetap melanjutkan perjalanannya hingga sampai di
istana, dimana percakapan antara keduanya berlanjut di dalam istana tersebut. Dan
setelah percakapan yang kurang lebih senada dengan yang disebutkan oleh Ibnu
Ishaq dan Ibnul Atsir diatas, dan juga setelah Kisra memberikan kepada Saif
10.000 dirham, pakaian-pakaian mewah, juga kendaraan untuk dipakai pulang ke
Yaman, Kisra berkata kepada Saif: “Pulanglah engkau ke negerimu, karena
sekarang engkau telah menjadi orang Yaman yang paling kaya!”.
Setelah itu sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Ishaq, al-Muthahhir al-Maqdisiy berkata bahwa Saif segera keluar dari
istana sesudah mendapatkan semua harta diatas.
Apakah Saif telah kehilangan semangat
juangnya setelah melihat gemerlap harta benda pemberian Kisra?, dan apakah
gerangan yang akan dilakukannya dengan harta tersebut?.
Insya Allah cerita akan berlanjut di
artikel selanjutnya. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment