Gambar oleh Son Hoa Nguyen dari Pixabay. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala Rasulillah.
Berkata syaikh Shafiyyur Rahman
al-Mubarakfuriy ketika bercerita mengenai kedatangan utusan rakyat Najran ke
Madinah demi menemui Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam): “Najran
adalah sebuah daerah yang sangat besar yang berbatasan dengan negeri Yaman,
panjang daerah Najran ini bisa kita capai kedua ujungnya jika kita berkendara
dengan kecepatan penuh.
Najran mencakup di dalam daerah teritorinya
sebanyak 73 desa dan perkampungan, di dalamnya juga terdapat 120.000 pejuang
(yang siap membela daerah mereka jika diserang oleh musuh). Dimana ke-120.000
pejuang ini semuanya beragama Nashrani.
BACA JUGA:
KEDATANGAN UTUSAN SUKU-SUKU ARAB KE KOTAMADINAH.
KEDATANGAN UTUSAN RAJA-RAJA HIMYAR DAN DI UTUSNYA MU’ADZ BIN JABAL KE YAMAN.
Dan pada suatu hari, Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) mengirimkan sebuah surat kepada para pendeta Najran yang isinya adalah ajakan dan seruan agar mereka bersedia memeluk agama Islam (sebagai satu-satunya agama yang sah pada saat itu hingga akhir zaman).
Maka ketika surat ini sampai ke tangan para
pendeta Najran, mereka pun membacanya dan seketika mereka terkejut (entah
karena apa, tapi yang pasti adalah bahwa reaksi mereka ini adalah reaksi yang
sama dengan yang ditunjukkan oleh masing-masing dari pendeta negeri Habasyah
dan Romawi ketika mereka membaca surat yang dikirimkan oleh Rasulullah).
Ketika mereka telah selesai membaca surat
tersebut, mereka segera mengadakan sebuah musyawarah bersama para petinggi
Najran juga bersama masyarakat secara umum demi mendapatkan solusi terbaik
(“akan apa yang harus mereka lakukan terhadapa seruan untuk masuk Islam ini?”).
Setelah musyawarah diantara mereka usai,
mereka sepakat untuk mengirimkan beberapa orang utusan menuju ke kota Madinah
tempat Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam). Utusan mereka ini terdiri
dari 60 orang lelaki.
Maka berangkatlah ke-60 orang tersebut
menuju Madinah sembari memakai pakaian yang terbuat dari katun atau linen yang
bergaris, dan dilapisi pada bagian luarnya oleh jubah yang terbuat dari sutra,
selain itu mereka juga memakai cincin-cincin yang terbuat dari emas.
Sesampainya mereka dihadapan Nabi (Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam), Nabi hanya terdiam ketika melihat penampilan mereka
tersebut dan enggan untuk berbicara dengan mereka (hal ini dikarenakan dalam
agama Islam para kaum lelaki dilarang untuk memakai cincin yang terbuat dari
emas, dan sepertinya Nabi ingin lebih mempertegas larangan ini kepada para
sahabat yang saat itu hadir bersama beliau menyambut kedatangan utusan dari
Najran tersebut).
Melihat bahwa Nabi hanya terdiam yang
padahal para utusan dari Najran tersebut telah ada dihadapan beliau, para
pembesar sahabat pun paham akan makna tersirat dari diamnya Nabi ini, maka
mereka segera mengisyaratkan kepada segenap utusan Najran tadi agar segera
merubah pakaian yang mereka kenakan juga menanggalkan semua cincin-cincin emas
mereka. Maka para utusan tadi segera melepas dan mengganti seluruh perhiasan
mereka.
Setelah mereka kembali kepada penampilan
layaknya masyarakat umum, Nabi pun bersedia untuk berbicara dengan mereka,
dimana beliau langsung mengajak mereka untuk memeluk Islam, akan tetapi
ternyata mereka enggan untuk memeluk Islam dengan alasan: “Kami ini lebih
dahulu masuk Islam dari kalian”. (hal tersebut dikarenakan mereka para penganut
agama Nashrani, dimana agama inilah satu-satunya agama yang sah sebelum agama
Islam muncul).
Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)
menimpali perkataan mereka dengan berkata: {“Kalian bukanlah seorang muslim
karena 3 alasan berikut ini: Pertama, karena kalian menyembah salib. Kedua,
karena kalian memakan daging babi. Ketiga, karena kalian mengatakan bahwa Allah
mempunyai seorang anak”}.
Mereka berkata: “Kalau begitu siapa kiranya
yang bisa menyamai dan menyerupai Isa?, dia dilahirkan tanpa adanya seorang
ayah”.
Maka Allah (‘Azza Wa Jalla)
menurunkan ayat berikut ini untuk menjawab argumen mereka, Allah berfirman
dalam surat Ali Imran, ayat 59 – 61: {“Sesungguhnya perumpamaan
(penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari
tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!”. Maka jadilah sesuatu itu
(59) Kebenaran itu dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau (Muhammad)
termasuk orang-orang yang ragu (60) Siapa yang membantahmu dalam hal ini
setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil
anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istrimu, kami
sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita ber-mubahalah agar laknat Allah
ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”}”.
Mubahalah adalah: suatu kesepakatan yang
dibuat oleh kedua pihak yang saling berbeda pendapat agar masing-masing dari
mereka berdoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan
laknat kepada pihak yang berdusta.
Syaikh Shafiyyur Rahman melanjutkan:
“Setelah ayat ini turun, Nabi segera membacakannya kepada para utusan Najran
sekaligus mengajak untuk bermubahalah.
Mendengar ayat dan ajakan tersebut, mereka
pun meminta kepada Nabi sebuah kesempatan agar mereka bermusyawarah terlebih
dahulu diantara mereka sebelum memberikan jawaban.
Nabi pun setuju untuk memberi mereka waktu
bermusyawarah, maka mereka segera berkumpul dan berkata: “Jika dia benar
seorang Nabi dan kita bersedia untuk saling melaknat dengannya, maka bisa
dipastikan dia akan menang sementara kita semua akan binasa!”. Maka mereka pun
sepakat untuk tidak menerima tantangan Nabi dan lebih memilih untuk membayar
jizyah, dan Nabi pun setuju atas hal ini…
…Dan setelah para utusan Najran tadi
sepakat untuk membayar jizyah, Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) pun
menjadikan mereka sebagai ahlu dzimmah (yakni orang-orang kafir yang dijamin
keamanan nyawa dan hartanya oleh ummat Islam, para ahlu dzimmah ini juga sangat
dilarang untuk di ganggu terlebih lagi di bunuh, dan bagi siapa saja yang berani
membunuh mereka, maka Nabi telah mengancamnya dengan suatu ancaman yakni tidak
akan bisa mencium bau surga dari jarak perjalanan 40 hari. Jika mencium bau
surga saja tidak bisa, maka bagaimana dengan memasukinya?).
Selain itu, Nabi juga menjamin keamanan
mereka dan juga menjamin kebebasan dalam beragama (siapa yang ingin masuk
Islam, maka silahkan. Dan siapa yang tetap ingin memeluk agama Nashrani, maka
silahkan).
Dan setelah mendapatkan berbagai jaminan
dari Nabi ini, mereka berkata kepada beliau: “Kirimkanlah bersama kami
seseorang yang terpercaya”. Maka Nabi pun mengirim bersama mereka sahabat Abu
Ubaidah Amir bin al-Jarrah (Radhiyallahu ‘Anhu), dan semenjak itulah
sahabat Abu Ubaidah ini dijuluki sebagai orang terpercaya ummat Islam.
Ketika rombongan Najran tadi telah pulang,
ternyata di tengah jalan ada 2 orang dari mereka yang masuk Islam, dan dengan ini
mulailah cahaya Islam masuk ke dada-dada rakyat Najran hingga nantinya ada lagi
sekelompok orang yang masuk Islam diantara mereka”. Wallahu A’lam
Bish-Shawab.
Insya Allah kisah mengenai kedatangan
utusan rakyat Yaman akan saya ceritakan pada artikel selanjutnya.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment