Gambar oleh ELG21 dari Pixabay. |
Bismillah…
Alhamdulillah Wash-Shalatu Was-Salamu ‘Ala
Rasulillah.
Kedatangan utusan raja-raja Himyar ke
Madinah terjadi setelah kembalinya Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)
dari daerah Tabuk. Kisah mengenai kedatangan utusan ini telah diceritakan oleh
syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuriy di dalam kitabnya…
Beliau berkata: “Setelah Nabi (Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam) tiba dari daerah Tabuk, datanglah seseorang yang bernama
Malik bin Murrah ar-Rahawiy, dia datang sembari membawa surat yang ditulis oleh
raja-raja Himyar.
BACA JUGA:
SEBUAH KISAH MENGENAI PARA UTUSAN RAKYATNAJRAN.
SURAT RASULULLAH (SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM) YANG BELIAU PERUNTUKKAN BAGI RAJA-RAJA HIMYAR.
Para raja tersebut adalah: al-Harits bin Abdi Kilal, Nu’aim bin Abdi Kilal, an-Nu’man Qail Dzi Ru’ain, juga terdapat surat yang berasal dari pemimpin suku Ma’afir dan Hamadan. Mereka semua ini telah memeluk agama Islam, maka karena keislaman mereka inilah mereka mengirim Malik bin Murrah untuk membawa surat mereka ke Madinah sekaligus memberitahu Rasulullah akan keislaman mereka.
Maka setelah Nabi membaca surat mereka,
beliau langsung menulis surat balasan yang isinya adalah penjelasan mengenai
syariat-syariat Islam, apa saja yang boleh dilakukan sekaligus balasannya dan
juga apa saja yang tidak boleh dilakukan sekaligus konsekuensinya. Beliau juga
memberikan jaminan keamanan (dzimmah) bagi yang belum memeluk Islam.
Kemudian untuk lebih memantapkan lagi
keislaman mereka, Nabi tidak hanya mengirimkan surat yang berisi penjelasan
mengenai syariat-syariat Islam, akan tetapi beliau juga mengirim dua orang
utusan menuju negeri Yaman untuk mengajari rakyat Yaman secara langsung mengenai
ajaran-ajaran Islam.
Utusan pertama adalah sahabat Mu’adz bin
Jabal bersama serombongan sahabat yang lain. Mereka diperintahkan untuk pergi
menuju daerah pegunungan Yaman tempat tinggalnya suku as-Sukun dan as-Sakasik.
Tugas beliau adalah menjadi pemimpin dalam peperangan, juga sebagai petugas
yang mengumpulkan bayaran sedekah (bagi yang muslim) dan bayaran jizyah (bagi
yang belum memeluk Islam).
Adapun tugas utama beliau di daerah
tersebut adalah menjadi imam sholat lima waktu.
Utusan kedua adalah sahabat Abu Musa
al-Asy’ariy, beliau diutus menuju daerah dataran rendah Yaman, menuju daerah
Zabid, Ma’rib, juga daerah pesisir.
Sebelum mereka berdua berangkat, Nabi (Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam) berkata kepada mereka: {“Permudahlah dan jangan mempersulit,
berilah kabar gembira dan jangan menakut-nakuti, bekerja samalah dan jangan
berselisih”}.
Mu’adz sendiri tetap tinggal di Yaman
melaksanakan tugasnya hingga meninggalnya Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam). Adapun Abu Musa al-Asy’ariy, beliau masih sempat menemui
Rasulullah pada saat beliau berhaji yang dinamakan haji tersebut sebagai Haji
Wada’ (haji perpisahan)”.
Imam Bukhari (nomor hadits 4347) dan Imam
Muslim (19-30, 31) masing-masing dari mereka berdua meriwayatkan sebuah hadits
yang dibawakan oleh sahabat Abdullah bin Abbas, dimana dalam hadits tersebut
beliau menceritakan mengenai wasiat Rasulullah kepada Mu’adz bin Jabal sebelum
dia berangkat ke Yaman.
Haditsnya sebagai berikut: [Dari Abdullah
bin Abbas (Radhiyallahu ‘Anhuma) beliau berkata: “Rasulullah (Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam) bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau
mengutusnya ke Yaman: {“Sungguh dirimu nanti akan mendatangi suatu kaum yang
mereka itu adalah Ahlu Kitab. Maka jika engkau telah sampai di tengah-tengah
mereka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak di sembah
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka menurutimu
dalam mengucapkan persaksian tersebut, maka setelah itu kabarilah mereka bahwa
Allah telah mewajibkan atas mereka sholat lima waktu dalam sehari semalam. Jika
mereka menurutimu untuk melaksanakan sholat lima waktu tersebut, maka kabarilah
mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka untuk bersedekah, yang dimana
sedekah ini akan diambil dari orang-orang kaya untuk kemudian diserahkan kepada
orang-orang miskin. Jika mereka menurutimu untuk membayar sedekah, maka
berhati-hatilah engkau dari mengambil harta terbaik mereka, dan waspadalah
terhadap doanya orang yang terdzalimi, karena sungguh sama sekali tidak ada
penghalang antara doa mereka dengan Allah!!”}].
Berkata syaikh Abdullah bin Abdirrahman
al-Bassam di dalam kitabnya yang berjudul Taisirul ‘Allam fi Syarhi ‘Umdatil
Ahkam ketika beliau menjelaskan mengenai kandungan hadits diatas (penjelasan
ini bisa di lihat pada buku beliau halaman 327), beliau berkata: “Nabi (Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam) mengutus Mu’adz bin Jabal menuju negeri Yaman sebagai
seorang penyeru, seorang guru, juga seorang qadhi. Maka sebelum Mu’adz
berangkat, beliau memberitahunya terlebih dahulu mengenai dasar-dasar dakwah
sekaligus hikmah.
Awal-mula beliau memberitahunya mengenai
keadaan masyarakat yang akan di datanginya, karena setiap masyarakat itu
memiliki cara tersendiri untuk berkomunikasi dengan baik kepada mereka.
Beliau mengkhabarinya bahwa masyarakat yang
akan di datanginya kali ini adalah masyarakat yang dipenuhi oleh Ahlu Kitab
(Yahudi dan Nashrani), dimana mereka ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu
dan hujjah yang bisa mereka gunakan untuk adu argumen. Ini semua agar Mu’adz
bersiap-siap terlebih dahulu jika ingin mendakwahi mereka.
Kemudian beliau memerintahkan Mu’adz agar
mendakwahi rakyat Yaman dimulai dari yang terpenting.
Dan ajaran Islam yang terpenting adalah 2
kalimat syahadat, hal tersebut dikarenakan keduanya adalah pondasi yang tidak
akan bisa berdiri sebuah bangunan tanpa keduanya.
Ibadah sendiri tidak akan diterima jika
belum mengucapkan 2 kalimat syahadat tersebut.
Kemudian beliau memerintahkannya untuk
mengajak rakyat Yaman melaksanakan ibadah yang terpenting kedua setelah 2
kalimat syahadat, ibadah tersebut adalah shalat lima waktu. Tentunya seruan ini
dilakukan jika rakyat Yaman telah bersedia mengucapkan 2 kalimat syahadat.
Kemudian setelah itu hendaknya Mu’adz
menjelaskan kepada rakyat Yaman akan wajibnya zakat setelah mereka melaksanakan
dengan rutin shalat lima waktu, dimana zakat ini adalah temannya shalat, jika
shalat adalah ibadahnya anggota badan, maka zakat adalah ibadahnya harta.
Hendaknya juga Mu’adz menjelaskan kepada mereka bahwa tujuan dari di
syariatkannya ibadah zakat ini adalah untuk mewujudkan kebiasaan saling
membantu di dalam tubuh ummat Islam. Oleh karena itulah zakat ini hanya diambil
dari orang-orang kaya untuk kemudian diserahkan kepada orang-orang miskin.
Kemudian setelah itu beliau menjelaskan
kepada Mu’adz bahwa hendaknya dia mengambil jalan tengah dalam megumpulkan
bayaran zakat dari rakyat Yaman setelah mereka patuh untuk melaksanakan ibadah
zakat ini dengan rutin.
Jalan tengah ini adalah agar jangan
sekali-kali Mu’adz mengambil harta terbaik yang dimiliki oleh rakyat Yaman
untuk dijadikan sebagai pembayar zakat, akan tetapi hendaknya dia mengambil
bayaran zakat ini dari harta pertengahan mereka saja (yakni harta yang
biasa-biasa saja). Karena hakikat dari di syariatkannya ibadah zakat ini adalah
agar kaum muslimin bisa saling bantu membantu dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Dan karena Mu’adz ini nantinya akan menjadi
pemuka dan pemimpin rakyat Yaman, maka Nabi takut jika nanti Mu’adz akan
berbuat dzalim dan semena-mena terhadap rakyatnya, maka oleh karena itu beliau
memperingatinya agar jangan sekali-kali berbuat dzalim terhadap rakyat.
Itu semua demi menghindari adanya seorang
rakyat yang terdzalimi, karena jika ada diantara mereka yang terdzalimi dan
kemudian dia berdoa kepada Allah agar menghukum orang yang mendzaliminya, maka
pasti doa orang ini akan dikabulkan dengan segera oleh Allah (‘Azza Wa Jalla),
karena Dia adalah Sang Maha Pengabul doa orang yang terdzalimi. Wallahu
A’lam Bish-Shawab.
Insya Allah kisah selanjutnya mengenai
utusan rakyat Yaman akan saya ceritakan pada artikel selanjutnya.
Was-Salam.
0 comments:
Post a Comment